Siapa Sufi Sejati?
Kang Soleh sudah tiba di kedai itu sebelum para pelanggan Cak San tiba. Ia merenung pengajian Mursyid semalam mengenai siapa sebenarnya Sang Sufi sejati itu. Tiba-tiba tubuhnya menggigil kencang. Ingatannya menerawang jauh ke cakrawala langit. Ia mengingat-ingat betapa kata Sang Mursyid sangat menghujam. Beliau mengatakan:
“Tanda-tandanya Sufi sejati antara lain: Hatinya terbang dengan sayap-sayap rindu. Pilar-pilarnya tegak di atas Jalan Allah Ta’ala, bersama Allah Ta’ala, bagi Allah Ta’ala, dengan penuh penantian yang elok dan telungkup di remuk redam jiwanya. Menghadap kepada Sang Diraja tanpa sedikit pun berpaling dariNya karena melihat kerajaanNya, disamping lari dari makhluk, karena dendam rindu dan manisnya asmaradahana bersama Robbul ‘alamin.
Kembali kepada Allah Ta’ala, berpegang teguh padaNya, menetap bersamaNya, tanpa berpaling kepada makhlukNya.
Hampir-hampir qalbunya bicara serba langit, pengetahuannya selalu Robbaniyah, hasratnya hanyalah Tunggal, ruhnya hidup, takdirnya penuh cahaya dan makna makna rahasia yang hanya kembali pada Ke-EsaanNya.
Seluruh hasrat kehendaknya adalah kehendak yang dikehendaki Allah Ta’ala, penuh syukur baik secara lahir maupun batin agar tidak terjerumus dalam samudera kekafiran. Hati dan lisannya terus berdzikir kapan dan dimana pun berada, agar tidak terlelapkan kealpaan.
Ia pun tahu bahwa Tuhannya Melihatnya, dan dari tingkat yang luhur Dia melindunginya. Dan sungguh, di bawah kebesaran pandanganNya terhanguskan oleh keparipurnaan KuasaNya, tenggelam dalam kebeningan waktuNya di lautan anugerahNya, dengan gugurnya segala kemanisan, kecuali kemanisan bersama Cinta Tuhannya.
Ia istiqomah dalam ‘ubudiah tanpa sama sekali melihat ubudiyahnya. Hatinya kosong dari aktivitas selain Allah, disertai kepasrahan hatinya kepada Allah Ta’ala.
Ia sangat tawadlu kepada mu’min sejati, senantiasa terhampar dalam karpet kesusahan, hingga kegelisahan itu sirna ketika al-Yaqin (kematian) tiba dengan ampunan dan ridloNya.
Ucapannya adalah ungkapan qalbunya, yang membenarkan ucapan dan tindakannya, bukan seperti apa yang difirmankan olehNya, “Kenapa kamu sekalian bicara hal-hal yang tidak pernah anda lakukan…?”
Ia bersyukur atas nikmat yang tampak sedikit, sabar atas banyak cobaan, rela atas ketentuan Allah Ta’ala, langgeng dalam menjaga hati bagi Allah Ta’ala dengan argument kebenaran. Tak pernah takut pada selain Allah, tidak pernah berharap selain Allah, dan tidak berhasrat kecuali pada Allah, karena ia tahu tak ada yang membahayakan dan memberi manfaat, tak ada yang yang menghilangkan dan mempertahankan, tak ada yang memuliakan dan menghinakan, kecuali hanya Allah semata, tiada kawan bagiNya.
Ia terus khawatir dengan akibat buruk di akhir hayatnya. Namun ia terus sibuk dengan Sang Pencipta takdir, sementara manusia umumnya sibuk dengan takdir itu sendiri. Ia sibuk dengan Sang Pengatur, sementara publik lebih sibuk dengan aturan.
Ia duduk di hamparan bakti disertai rasa malu, bersandar pada karpet sutra kefakiran dan rasa butuh. Ia termuliakan dengan kamar taqarrub dan musyahadah.
Meminum dengan gelas cinta dan kemesraan. Begitu panjang membisu, begitu kuat menahan diri, begitu kokoh melawan nafsu, begitu semangat untuk berpisah dengan kesantaian, tanpa sama sekali berpaling pada kinerja qalbunya.
Ia merasa terus kosong atas kemashlahatan dirinya. Ia tinggalkan santai dan senang-senang. Dan paling ditakuti adalah kegentaran yang timbul antara dirinya dan Kekasihnya.
Ia menjadi manusia terbaik, dan bagi manusia yang lain, bahkan paling taqwa. Paling jujur, paling bersih, paling cerdas, paling hati-hati.
Ketika memandang dunia ia memandang dengan mata penuh pelajaran. Dan memandang nafsu dengan mata penuh kehinaan. Dan memandang akhirat dengan mata kegembiraan. Memandang Robb dengan mata penuh kebanggaan.
Dalam istiqomahnya bagaikan bukit yang gagah, tak tergoyangkan badai, dan tidak ingin mencari yang lain, tidak pernah curiga atas bagian yang dianugerahkan.
Dirinya kosong dari upaya mengabdi kepada makhluk, merdeka dengan khidmah kepada Robbul ‘alamin, sama sekali tidak kontra terhadap bencana dariNya, dan tidak memilih selain Dia.
Jiwanya suci dari segala kesalahan dan dosa. Hatinya bebas dari segala kealpaan dan lalai. Rahasia batinnya tidak rela padai segala hal selain Dia Azza wa-Jalla Subhanahu waTa’ala.
Makanannya adalah makanan orang sakit. Tangisnya adalah tangisan sangsai dukalara. Hatinya tidak pernah berserah kecuali kepadaNya, tidak pernah memasrahkan
kecuali padaNya, tidak bersyukur kecuali padaNya dan tidak meraih kebutuhan kecuali dariNya.
Ia bermesraan dengan Allah Ta’ala dalam segala situasi kondisi jiwanya, dan memutuskan hanya kepada Allah Ta’ala dalam segala amalnya.
Dzikrullah adalah ucapannya dalam semua ucapan, ia biarkan pilihan hanya kepada Yang Maha Agung. Tidurnya sedikit, dukanya panjang, badannya kurus, bahagianya hanyalah Sang Maha Diraja Nan Mulia. “Cukuplah Allah bagi kami dan Dia sebaik-baik tempat berserah diri.”
Semua kata-kata indah itu dicatatnya dalam buku kecil dalam saku Kang Soleh. Catatan yang menjadi pelipur laranya, sekaligus pengobat rindunya pada Sang Kekasih.
Pardi pun tiba, dan membuat kisah-kisah lucu seputar makelaran di pasar sepedanya. Kang Soleh hanya tersenyum, dan tertawa lebar ketika Pardi bercerita tentang seorang Kakek yang menjual sepedanya melebihi harga sebuah mobil, karena saking antiknya sepeda tua itu.
“Darimana ia dapat speda itu, Di?” Tanya Kang Soleh.
“Hehehe… Katanya dari merampas penjajah Jepang…”
Kang Soleh hanya geleng kepala, sembari tertawa keras.
(KHM Luqman Hakim)