Mario Teguh, 50 thn – Konsultan & Motivator
Stephen R. Covey dalam The Seven Habits of Highly Effective People melihat ada kontras yang tajam hampir di semua literatur motivasi dalam 150 tahun belakangan ini, yang
berfokus pada apa yang disebut Etika Karakater (Characer Ethic) dan Etika Kepribadian (Personality Ethic). Etika Karakater (Character Ethic) sebagai dasar keberhasilan (seperti integritas, kerendahan hati, kesetiaan, pembatasan diri, keberanian, keadilan, kesabaran, rajin, kesederhanaan dan kesantunan), dan mengajarkan bahwa orang hanya dapat mengalami keberhasilan yang sejati, kebahagiaan yang abadi jika mereka belajar dan mengintegrasikan prinsip-prinsip ini ke dalam karakter dasar manusia dianggap sebagai bagian dari pendekatan kepribadian yang manipulatif.
Dalam padangan R. Covey, Etika Karakter macam ini hanya mendorong orang untuk membuat orang lain menyukai mereka, atau berpura-pura tertarik terhadap hobi orang lain untuk mendapat apa yang diinginkan dari orang tersebut, atau untuk menggunakan “penampilan kekuasaan”. Etika Karakter sekedar lips service saja; penggerak dasarnya adalah teknik mempengaruhi dengan cepat, strategi kekuasaan, keteramplian berkomunikasi, kepandaian beretorika dan sikap positif.
Sedang Etika Kepribadian (Personality Ethic) pada dasarnya menenempuh dua pendekatan: satu adalah teknik hubungan manusia dan masyarakat, dan yang satu lagi adalah sikap mental positif (SMP). Sebagian dari filosofi ini diekspresikan di dalam pepatah yang mendatangkan ilham seperti, “Sikap anda menentukan ketinggian posisi anda,” “Senyum menghasilkan banyak teman dari pada kerutan pada dahi,” dan “Apapun yang dapat dipahami dan diyakini oleh benak manusia itu pasti dapat tercapai.”
Lalu apa sebenarnya motivasi dan kegunaannya bagi kehidupan manusia? Benarkah kehadiran Motivator ditengah masyarakat disamping memberi semangat, ia juga menstimulus kecerdasan? Lantas, kecerdasan macam apa yang didorong motivator dari para klien ? Adakah Tuhan dan agama di Dunia Motivasi ? Dimana sesungguhnya titik temu antara Dunia Motivasi dengan Dunia Sufi ?Apa arti kesuksesan sejati ? Banyak hal dan hikmah yang akan kita temukan dibalik jawaban-jawaban yang dipaparkan oleh Super Talk, Mario Teguh, motivator yang tulisan-tulisannya dapat kita baca di surat kabar harian Media Indonesia setiap Selasa dan Kamis. Motivasi-motivasinya yang renyah juga dapat kita nikmati setiap Rabu di Radio Delta Fm 99,1 dan Jum’at di Radio Pro2 Fm 105 jam 7 – 8 pagi. Berikut wawancara Cahaya Sufi bersama Mario Teguh:
Mengingat laku sebagian saudara sebangsa saat ini, kita terpaksa mengingat kembali tesis Francis Fukuyama tentang The Law Trush Society. Begitu rendah kepercayaan kita satu sama lainnya dan kemarahan, benar-benar telah didudukkan sebagai ujung tombak komunikasi kita. Karena itu kepatuhan terhadap peraturan menjadi begitu rendah. Dan ujung dari semua ini ialah karena satu sama lain dari kita telah saling tidak percaya. Apakah bangsa ini telah patah arang dan kehilangan motivasi?
Banyak orang yang salah mengartikan motivasi. Motivasi oleh sebagian orang hanya dipahami sebagai sebuah tranfusi semangat dari satu atau dua orang kepada orang lainnya. Tapi sebetulnya pengertian motivasi lebih dari sekedar itu. Motivasi itu harus ada dibangun pada diri sendiri dan menjadi kemampuan yang memperbesar dirinya sendiri seiring dengan berjalannya waktu. Sebagai motivator, tugas kita hanya memberikan formula-formula yang bisa di internalisasi oleh klien untuk menjadi satu mekanisme penyemangatan diri mereka sendiri. Nah kalau formula-formula itu sudah menginternalisasi dan menjadi mekanisme penyemangatan sendiri, mereka tidak lagi terlalu bergantung pada suasana-suasana bersemangat yang biasanya malah kadang-kadang agak palsu.
Formula yang anda tawarkan seperti Emotional Question (EQ) nya Daniel Goldman, begitu?
Kira-kira begitulah. Tapi saya mengistilahkannya dengan Emotional Intelegents atau Kecerdasan Emosi.
Jabarannya seperti apa?
Banyak cara yang ditawarkan orang dalam melatih responcibility seorang klien. Ada orang yang dilatih untuk berespon agresif terhadap stimuli. Ada juga yang berlatih merespon dengan cara melarikan diri. Ada pula yang menggunakan pendekatan bersembunyi atau mencari pembenaran diri pada apapun. Pada pendekatan yang terakhir ini apapun dibenarkan sebagai dukungan terhadap kebenaran diri karena mendapat serangan dari lingkungan. Nah paradigma ini yang biasanya dibangun dalam budaya. Sehingga muncul budaya kalau tidak setuju diam saja, nanti kalau sudah keterlaluan baru kita bereaksi. Nah ini mengakibatkan sekelompok orang untuk diam selama tidak setuju dan kalau sudah tidak tahan baru bereaksi dengan reaksi yang lebih agresif dan anarkis.
Kecerdasan emosi itu bukan semata kemampuan seseorang mengendalikan emosi pada tempat dan waktu tertentu. Dalam Kecerdasan Emosi seseorang dibekali semacam peta baku yang menjadi “rujukan” untuk respons terhadap spekuli, atau respons terhadap hubungan. Seorang anak yang sudah memiliki Peta Kecerdasan Emosi tidak akan berespons negatif ketika dihina sebab dalam dirinya sudah ada peta bahwa hanya orang yang rendah saja yang marah ketika direndahkan orang lain. Seseorang yang sudah memiliki Peta Kecerdasan Emosi tidak akan berespons negatif ketika dikatakan bodoh oleh pihak lainnya sebab dalam Peta Emosi yang dimilikinya ada petunjuk bahwa hanya orang bodoh saja yang mengatakan orang lain bodoh. Kalau secara kolektif bangsa ini di isi oleh individu-individu yang bereaksi positif terhadap apapun yang terjadi dilingkungan kita, yakinlah kehidupan berbegara dan berbangsa ini akan lebih damai dan syahdu.
Jadi, penyemangatan yang kita bicarakan adalah penyemangatan yang memiliki muara pada pengertian-pengertian baik dan positif, bukan dari acara hingar bingar seperti musik keras atau teriak-teriak atau loncat-loncat atau melalui obat atau minuman yang membantu artificial kita untuk merasa kelihatannya seperti bersemangat. Penyemangatan yang demikian ini sesaat saja sifatnya.