Assalamu’alaikum Wr. Wb
Pak Usatd, Saya ingin menanyakan tentang Ibu saya yang selalu, menambah nambahkan omongannya (pandai bersilat lidah) dari mulut ke mulut. Kalau di omongin
takut dosa, tambah lagi mudah tersinggung orangnya.
Wasalamu’alaikum Wr. Wb
– Rasid /rasid@yahoo.com
Antara jenggot dan larangan ibuku
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Pak ustad aku ingin jalani sunnah Rosul yaitu melihara jenggot tapi ibuku tidak suka lihat orang berjenggot terutama aku.
Pak apa yang harus aku lakukan ikut perintah ibu memotong jenggot atau tetap pada pendirian saya tidak mau memotong jenggot? atas jawabannya terimakasih.
Wasalamu’alaikum Wr. Wb
– Mamo gonjales /mamogomjales@yahoo.com
Jawab:
Memelihara jenggot bagi lelaki memang salah satu sunnah Rasul bagi yang punya jenggot. Tetapi apa sesungguhnya dibalik sunnahnya itu? Karena Rasulullah saw, mencintai kebersihan dan kerapian. Jenggotnya juga hanya sebatas kepal tangan, tidak lebih. Sebab tradisi orang Arab jenggotnya panjang-panjang, dan jika dicukur bersih malah dianggap tidak jantan.
Unsur kerapian dan keserasian ada dibalik sunnah tersebut. Bagi anda yang jenggotnya kalau dipelihara malah kelihatan tidak serasi, ya jangan memelihara jenggot. Atau sebaliknya jika dari segi bilogisnya memang tidak akan tumbuh jenggot jangan mencari obat penumbuh jenggot, malah menimbulkan hal-hal berlebih. Dan hal-hal yang berlebihan justru dilarang oleh Allah swt.
Nabi pakai jubah, karena tradisi di Arab sebelum datangnya Islam adalah berjubah. Apakah anda akan pakai jubah kemana-mana di Indonesia ini, sementara tradisi dan kerapian di sini pakai celana. Nah, meniru Nabi itu, bukan meniru tekstual dan formalnya, tetapi meniru akhlaq dan amaliyah, baik lahir dan batinnya. Orang pakai jubah, dalam hatinya muncul perasaan supaya disebut sebagai orang ahli ibadah saja sudah takabur dan riya’. Seluruh pahalanya malah terhapus.
Saya sarankan anda mengikuti perintah ibumu. Karena Nabi juga bersabda, Ibumu…Ibumu..Ibumu.. baru ayahmu…. Toh soal jenggot bukan wajib, dan soal sunnahnya pun harus dipertimbangkan menurut situasi dan kondisi. Jangan ambil kesimpulan hukum dari “gebyah uyah” atau pukul rata, tanpa tahu pranata ushuliyah dan furu’iyahnya.