Sastra dan Sufi Menikmati Seratus Cinta Tuhan

Padahal saat itu dia minum arak, ya?
Lha iya. Saya tidak tahu apakah dia terpengaruh dengan bongso Abu Nuwas, penyair anggur yang kemabukan dengan Allah itu, metaforanya kemabukan biasa, ya khamr itu (menurut versi Sutardji, red). Jadi gambaran yang paling jelas, mabuk Allah ya dengan mabuk khamr, dimana orang mabuk itu lupa segala macam. Demikian pula mabuk Allah itu lupa segala macam. Dia hilang ingat, karena mabuk Allah. Abu Nuwas disebut penyair anggur karena metaforanya anggur saja, dia dikenal itu. Dimana kemudian belakangan dia menjadi sufi, karena dia mere-nungkan, memikirkan, kontemplasi tentang kemabukan itu dengan mabuk Allah. Lha sama halnya, kalau sastrawan sering bikin sajak sufi, lama-lama dia akan terpengaruh juga. Tapi kan tasawuf itu bukan ilmu, bukan ungkapan, pikiran, tapi laku.

Harus dibaca juga..

Sehingga ada perbedaan antara orang yang bicara sufi, bicara spiritualitas, dengan orang-orang sufi. Para sufi boleh dikata, karya sastranya, kalau boleh dianggap karya sastra, itu dampak. Ada yang mungkin karena keahliannya dalam teknik perpuisian, dia bisa meniru Rumi, tapi akan tampak dari perilakunya. Kalau perilakunya tidak sufistik, berarti rekaan dalam karyanya, bukan penghayatan. Itu bisa kita rasakan. Misalnya kita baca karya Rabi’ah, ini bukan rekaan, lihat kamus, nggolek kata-kata yang indah, cari sajak yang pas, ya ndak. Tapi memang muncul tulus dari sanubari.

Kalau kaitan antara kesenian dengan tasawuf. Misalnya Sutardji, ia kan secara prinsipil tidak ahli tentang tasawuf, tetapi dari karyanya bisa kita lihat betul-betul mabuk Allah. Artinya, bagaimanapun juga jalan kesenian itu, dalam artian jalan spiritual tanpa melalui sebuah kaidah spiritualitas dalam Islam yang disipliner, juga banyak yang menjebak. Ada para sastrawan yang awalnya mencari diri, Tuhan, eksistensi, tapi mereka akhirnya terjebak pada nihilisme sekular.

Tapi orang seperti Sutardji punya dasar keislaman. Cuma dalam proses pencarian hakikat Allah, melalui liku-liku. Sekarang kalau anda lihat Sutardji, sholatnya tahajudnya, tidak pernah lagi minum-minum. Karena kalau dia ditanya, ngapain minum-minum, ya untuk mabuk. Nah dia berkata, “Saya sekarang ingat dosa saya saja sudah memabukkah, tidak perlu lagi minuman keras“, ha..ha..ha. Nah itu perjalanannya.

Tapi dia dituntut oleh pengertian yang lebih awal bahwa dia seorang muslim mempunyai Gusti Allah, dsb. Ini yang tidak cukup diterima seperti orang awam. Dah, cukup, kenal Gusti Allah itu Pengeran, habis itu sembahyang, selesai.
Dia dituntut oleh dirinya sendiri untuk mencari, sebenarnya apa Gusti Allah itu? Nah pencariannya yang intens itulah menciptakan puisi-puisi yang penuh dengan nuansa sufi. Jadi bukan ndak punya modal apa-apa.

Modalnya itu fitrah ya Pak Yai?
Dia memang dari keluarga muslim, orang Islam. Tapi dalam prosesnya kan macam-macam. Ada yang jadi bajingan dulu baru jadi ustadz, masuk penjara dulu baru jadi da’i, ada berandalan jadi wali. Kalaupun tidak muslim paling tidak dia beragama. Seperti Rendra puisinya sangat religius meskipun dia belum masuk Islam.

Kalau bicara soal puisi cinta, mahabbah. Kami baca beberapa puisi Pak Yai tentang mahabbah. Menurut pengalaman Pak Yai, bagaimana sich agar bisa menulis puisi yang cintanya itu betul-betul sudah melampaui daging, cinta terhadap Gusti Allah?
Jadi Tuhan itu kan memiliki seratus cinta. Satu diantara seratus itu dikasihkan makhluknya, dibagi cintanya itu kepada cintanya anak pada orang tua, cinta istri pada suami, cinta ayam sama kuthuknya, kuda dengan anaknya. Nah cinta kita diawali dengan mencintai ibu kita, istri, saudara, hamba-hamba Allah.
Lalu kita bisa bayangkan bagaimana cintanya Allah yang 99 itu? Satu saja dibagi sekian banyaknya sampai meluap-luap kayak gitu. Nah ini yang kadang tidak disadari kita. Kita yang hanya dibagi satu, seolah memiliki seluruhnya. Seperti orang yang nggegeri  I’d jum’at, I’d sabtu, itu pikirannya mengidentifikasikan dirinya dengan Gusti Allah.

Seolah kalau dia ndak senang berarti Gusti Allah ya ndak senang, kalau gregeten berarti Gusti Allah gregeten, ha..ha..ha Nah ini yang ndak dimengerti.
Kalau untuk cinta, harus melalui pengenalan. Tidak kenal lalu cinta, itu namanya cinta Platonis atau al-hubbul ‘udzri, seperti cintanya Imam Busirri kepada Kanjeng Nabi itu hubbul ‘udzri, karena dia tak kenal Kanjeng Nabi sebelumnya. Maka kalau ingin cinta sejati harus pengenalan dulu. Baru setelah kenal, cinta kita bisa sejati. Tidak seperti umumnya orang Islam ini, mencintai Gusti Allah seperti dia mencintai isterinya yang tidak dia kenal, jadi dikawinkan orang tuanya begitu saja.

Cinta tapi ndak kenal. Suatu hari isterinya dibelikan rok span warna merah menyala, seharga satu juta. Sama isterinya dibuat ngelapi sepeda. Kenapa? Kan dia ndak kenal, bahwa isterinya itu paling ndak suka rok span merah menyala.

Maka Nabi kita mengenalkan Allah lewat perilakunya, al-Qur’an, mengenalkan supaya kenal. Terus kemudian orang-orang ini tambah lama kan tambah malas, terbiasa instan, akhirnya terus yang daging-daging saja, yang gampang.

Cintanya ya cinta daging, ibadahnya ibadah daging. Seperti sekarang orang yang menyatakan cinta kepada Allah, itu tidak berani mengatakan seperti Rabi’ah al-‘Adawiyah, “Kalau aku menyembah Mu, memuja Mu karena takut neraka, masukkanlah aku neraka.

Kalau aku memuja Mu karena kepengen surga, haramkan surga bagiku”. Apa berani orang sekarang? Itu cinta yang luar biasa. “Tapi kalau aku mencintai Mu karena aku ingin menatap wajah-Mu, jangan halangi wajah-Mu dariku”. Jadi ini memang cinta luar biasa, tidak ingin surga, takut neraka, tapi karena betul-betul cinta ingin memandang Allah. Sekarang sekadar nulis saja orang ndak berani, kuatir nek temenanan, ha..ha..ha Tapi ia memang gandrung betul. Karena Rabi’ah pengenalannya dengan Allah sudah sangat-sangat pribadi.

Next Post

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Top Stories

ADVERTISEMENT

Login to your account below

Fill the forms bellow to register

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.