KH. Mustofa Bisri – Kyai dan Seniman
“Bagaimana aku bisa menyanyi?
Aku tak mampu meski menyanyikan lagu duka
Aku tak bisa mengadukan duka pada duka
Mengeluhkan luka pada luka
Senar gitarku putus
Dan aku tak yakin mampu menyambungnya lagi
Dan langitpun seolah muak dengan lagu-lagu bumi yang sumbang
Ah maaf sayang, aku tak bisa lagi menyanyi
Bersamamu atau sendiri
Entah jika tiba-tiba Nabi Daud datang
Membawa seruling ajaibnya..”
Bait sajak diatas, adalah sesobek luka dari KH Mustofa Bisri (Gus Mus) dalam sajak Aku Tak Bisa Lagi Menyanyi. Sajak yang ditulis sebagai tangisan atas berisik burung-burung, mendendangkan apa saja, setelah merasa bebas merdeka (era Reformasi ’98) itu, sebenarnya merupakan kerinduan, dan cinta dari seorang kyai, penyair, dan kesendirian yang merasa asing sepi ditengah gejolak politik, yang membuatnya tak bisa menyanyi lagi.
Tentu bagi seorang hamba, kesendirian adalah saat teristimewa untuk “menyanyi” dengan-Nya. Ada melodi yang tiba-tiba mengalun, bersamaan dengan kesedihan manusiawi, dan tiba saja sang hamba ingat, trenyuh, dan rindu pada Khalik. Kenapa yang melintas Dia? Itulah anugerah bagi para penyair dan sufi. Erat sangat kaitan, antara cinta pada Yang Tak Terbatas, dengan lekuk goresan sajak, yang membuat para pembaca puisi tersebut, tiba saja terseret dalam kerinduan numinous itu.
Apakah memang selalu, bahasa sufistik membahasa dalam sajak? Apakah memang sastra bisa menjadi jalan bagi para penempuh, untuk lebih memperuncing rasa gundah transenden, rasa galau fitrah, sebagai makhluk yang tertitipi cinta Ilahiyah? Lalu bagaimana ketika sisi lain, Islam adalah agama hukum (religion of law), dimana penafsiran para sufi penyair sering menerobos batas fiqhiyah yang oleh para hakim diikat secara kuat dalam tekstualisme kitab suci? Berikut ini wawancara Cahaya Sufi dengan budayawan dan Romo Yai, pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang tersebut.
Seperti kita tahu, sebagian sufi adalah penyair, dan sebagian penyair adalah sufi. Menurut Pak Yai, kenapa hal ini bisa terjadi?
Yang pertama karena spiritualitas, tasawuf itu kaitannya dengan ruh, jiwa, kalbu. Seni sastra kaitannya dengan dzau’, yang berkaitan dengan kalbu, ruh, dan jiwa. Ada kesamaan sumber disana, karena kebersihan para sufi, sehingga sebetulnya dia tidak njarak bersastra-sastra, tapi otomatis apa yang diucapkan menjadi sastra.
Jadi orang menjadi sastrawan dalam pengertian membuat karya sastra, tentu tidak lepas dari kepribadian si sastrawan itu sendiri.
Sastrawan yang hanya bergelimang dengan daging akan mengeluarkan sastra daging, tapi kalau orang yang bergelimang dengan kalbu, dia akan menciptakan karya yang kalbu.
Kedua, karya sastra itu hasil perenungan. Nah seorang sufi penggaweannya memang merenung. Dia merenungkan kekuasaan Allah, merenungkan sifat-sifat sampai hakikat Allah. Ketika sufi itu dalam keadaan sangat intens dalam perenungan itu, lalu muncullah desakan dari dalam untuk menciptakan karya sastra.
Sebab saya lihat seniman, baik sastra maupun lukis itu ada yang modelnya tidak dipikirkan tapi dia desakan dari dalam, sehingga pelukis seperti Affandi, kalau melukis tidak jam-jaman, menitan saja.
Jadi kayak orang zadab, jret-jret! Kadang pakai tangan, kadang di potlot catnya.
Ada Zawawi Imron, dia hanya menuliskan gejolak hatinya saja. Dan kalau para sufi hampir semuanya begitu, seperti Rabi’ah al-Adawiyah, itu gejolak hatinya saja yang dikeluarkan. Kerinduannya kepada Allah. Maka kalau kita lihat, Rabi’ah, Hassan Basri, Rumi, itu jalannya keindahan, dan yang direnungkan keindahan paling puncak yaitu Allah. Keindahan yang paling indah, pusat keindahan.
Itu kalau proses sastra sebagai akibat proses batin. Kalau sebaliknya bagaimana Pak Yai. Kalau seorang seniman, ia memang seorang penulis. Apakah memang proses penulisan itu menjadi wahana meditasi, jalan spiritual yang dengan sengaja dia jadikan jalan menuju kesufian?
Ada dua perbedaan ya. Ada orang yang didorong oleh kesufian lalu menciptakan karya sastra, seperti Rabi’ah, Rumi, dsb.
Ada yang penyair-penyair kepingin bersufi-sufi. Karena tertarik dengan dunia sufi, lalu dia sufi. Ada yang dia tidak sufi, tapi ternyata apa yang dia ungkapkan itu sufistik. Seperti kita baca sajak-sajaknya Sutardji Calzoum Bachri, waktu gendeng-gendengnya, sajaknya sangat sufistik.