Macan dari Negeri Berber
“Wawasan tasawufmu terlalu menakjubkanku”, ungkap Syaikh Abdul Hadi Muhammad al-Kharsah, ulama besar asal Damaskus, kepada salah seorang cendekiawan sederhana dari Republik Arab Aljazair yang mayoritas penduduknya berasal dari bangsa Berber, ialah Prof. Dr. Muhammad bin Brikah al-Hasani. Kehebatan Ibnu Brikah di bidang tasawuf juga diakui banyak ulama terkemuka lainnya seperti Syaikh Muhammad al-Ya’qubi, Syaikh Abdurrahim Jad al-Azhari, dan lain-lain. Bukan suatu yang berlebihan bila penulis kali ini memperkenalkan sosok Ibnu Brikah kepada segenap pembaca yang insya’allah tidak akan menyesal mengenal kehebatannya.
Tidak hanya lahir dari keluarga berdarah Nabi, ia juga dikaruniai didikan mulia dan lingkungan bersih hingga dapat menghafal al-Qur’an 30 juz, enam kitab hadits mu’tabar, dan matan-matan para ulama terdahulu sejak berusia muda. Spesialisasi yang ditekuninya kemudian adalah di bidang tasawuf dengan sebuah konsentrasi mengkolaborasikan antara metode klasik dan metode modern dalam pendidikan spiritual, hingga berhasil meraih gelar doktor di bidang filsafat kontemporer dari Universitas Aljazair. Anugerah Tuhan pun masih berlimpah kepadanya; ia bukan sekedar pengamat tasawuf yang berwawasan menakjubkan sebagaimana pengakuan Syaikh al-Kharsah di atas, tapi ia juga pengamal setia Tarekat Qadiriyah sekaligus mursyidnya yang telah berjasa besar membawa umat Islam di Aljazair ke spirit Islam yang indah mempesona.
Karena wawasan yang luas dan pengamalan yang tulus, ia dikenal mampu dengan mudah memahamkan para penuntut ilmu hal-hal yang selama ini susah dipahami dalam ilmu tasawuf dan filsafat, khususnya yang termaktub dalam kitab-kitab klasik Syaikh Abdul Karim al-Jili, Syaikh Muhyiddin bin Arabi, dan lain-lain. Daya memahamkan dengan mudah dan memuaskan itu dapat dibuktikan dengan jelas melalui ceramah-ceramahnya maupun artikel-artikel dan buku-bukunya. Bahasa yang renyah, gaya yang segar, dan pemaparan argumen yang tajam, itulah ciri khasnya saat berceramah maupun berkarya tulis.
Menurut banyak sumber, Prof. Dr. Muhammad bin Brikah mampu membuat tasawuf tersajikan dengan hangat dan lezat di hati, indah dan menawan di mata, sedap dan enak di telinga, renyah dan mudah dicerna logika, hingga puas dan kenyang di jiwa. Bagi penulis, keistimewaan itu disebabkan etikanya yang tinggi, dan itulah esensi tasawuf yang sesungguhnya, maka sudah lumrah bila seorang spesialis tasawuf sekaliber Ibnu Brikah memiliki etika yang setinggi ilmunya.
Apa lagi kebolehan yang dimiliki Ibnu Brikah?. Ternyata ia juga menguasai banyak bahasa; Prancis, Inggris, Spanyol, dan Itali. Hal itu kemudian memudahkannya menelaah filsafat-filsafat Barat dan berdialog dengan banyak tokoh agama sedunia, serta menjadi pembicara penting di banyak konferensi internasional keagamaan di negara-negara Asia, Afrika, maupun Amerika. Tak terkecuali Mesir sebagai negeri para nabi, ia menjabat sebagai anggota tim pengajar di Sufi Akademi Kairo, dan presentator di muktamar internasional yang diselenggarakan di ACC (al-Azhar Conference Center) dengan tema Sufism: An Authentic Way Of Reform.
Jika pembaca ingin mengetahui silsilah nasabnya, maka ia adalah Muhammad bin Amir bin Mu’ammar bin Ahmad bin Mabruk bin Brikah bin Ahmad bin Ibrahim bin Su’ud bin Ibrahim bin Amir bin Utsman bin Ishaq bin Ali bin Abu Zaid bin Ali bin al-Mahdi bin Shafwan bin Yasar bin Musa bin Musa bin Salman bin Yahya bin Musa bin Muhammad bin Isa bin Ibrahim bin Isa bin Idris al-Ashghar bin Idris al-Akbar bin Abdullah al-Kamil bin al-Hasan bin Imam al-Hasan bin Siti Fathimah az-Zahro’ binti Sayyidina Rasulillah Saw.
Di antara karya penting Ibnu Brikah adalah Tasawuf Islami, Simbol Kerajaan Tuhan (500 halaman) dan Ensiklopedia Tarekat-Tarekat Sufi (32 jilid) yang diterbitkan di Darul Hikmah Aljazair. Dalam karya berharga itu Ibnu Brikah menyebutkan, di atas permukaan bumi ini terdapat lebih dari 300 tarekat sufi, dan Aljazair termasuk salah satu dari sekian banyak negara yang berkembang padanya tarekat-tarekat tersebut, khususnya Qadiriyah, Syadziliyah, Rifa’iyah, Naqsyabandiyah, Khalwatiyah, dan Tijaniyah. Selain itu, melalui karya tersebut, Ibnu Brikah mencoba memahamkan setiap pembaca yang budiman tentang esensi dan urgensi tasawuf dan tarekat beserta sejarah, sumber, argumen, tokoh-tokoh, dan tradisi-tradisinya. Tak ketinggalan ia menegaskan bahwa gerakan wahabisme lah yang merusak akal umat Islam selama ini, dan mencemarkan kharisma Islam dengan mencetak para teroris atas nama Islam.
Dan sebagai salah satu prisai guna menangkis pedang-pedang kesesatan, khususnya kesesatan teologi, maka Tarekat Bilqaidiyah Hibriyah di Aljazair turut berkontribusi dengan mengadakan seminar-seminar dan pengajian-pengajian internasional secara rutin dan menampilkan para ulama pilihan dari berbagai negara sebagai pembicara dan penceramah, misalnya Prof. Dr. Ahmad Umar Hasyim dari Mesir, al-Habib Ali al-Jifri dari Yaman, dan lain-lain. Nah, sudah tentu Prof. Dr. Muhammad bin Brikah tak ketinggalan menambah keberkahan acara-acara tersebut dengan inspirasi-inspirasinya yang sangat memukau nurani, dan bisa disimak langsung di Youtube.
Kemudian, pada bulan Oktober 2011 lalu, Ibnu Brikah diwawancarai Jaringan Islam Online seputar tasawuf dan perkembangan tarekat-tarekat sufi di negeri Aljazair. Untuk mengenal lebih dekat ideologi Ibnu Brikah yang penuh kecerdasan, baik intelektual maupun spiritual, mari kita simak saja interview-nya.
Mengapa belakangan ini eksistensi tarekat-tarekat sufi di Aljazair semakin kuat?
Pertama, wahabisme cukup merajalela di Aljazair. Itulah yang justru membuat umat -yang sadar- berkeluh kesah dan berbondong-bondong kembali ke jalan tasawuf yang moderat, indah, damai, tentram, aman, dan sentosa.
Kedua, fakta menyatakan bahwa terekat-tarekat sufi lah yang paling berjasa atas revolusi dan reformasi politik di Aljazair. Maka sudah barangtentu tarekat-tarekat sufi mempunyai kharisma yang luar biasa di hati rakyat Aljazair.
Ketiga, secara institusi, tarekat-tarekat sufi dilindungi oleh lembaga-lembaga yang berwewenang. Dan oleh karena lembaga-lembaga tersebut tidak mengoptimalkan program-programnya, maka terdoronglah untuk kembali mengkoordinir semaksimalnya tarekat-tarekat yang ada.
Keempat, karena kemerdekaan Aljazair meliputi aspek politik, media, dan juga agama, maka komunitas sufi sebagai kaum mayoritas di Aljazair tidak mendapat halangan apapun untuk membentangkan sayap mereka.
Keempat sebab di atas lah yang memudahkan taraket-tarekat sufi berhasil melakukan unjuk gigi dan memenangi persaingan dengan aliran-aliran lain yang hanya sibuk berteokrasi dan mencuri popularitas melalui masjid-masjid, adapun tarekat-tarekat sufi hanya sibuk membangun manusia yang berjiwa bersih; yang ikhlas mengabdi kepada Tuhannya, dan tulus mencintai selainnya.
Ada yang mengatakan bahwa tarekat-tarekat sufi itu menjadi kuat semata-mata karena didukung, dilindungi, dan difasilitasi oleh Pemerintah, sebab Pemerintah yakin, orang-orang tasawuf tidak dikhawatirkan akan melawan Pemerintah sebagaimana yang dikhawatirkan pada gerakan-gerakan seperti IM, HT, dan lain-lain. Benarkah?
Masih banyak lagi isu lain yang menyebar seputar hal ini. Namun yang sama sekali tidak dapat dipungkiri adalah, realita bahwa tasawuf lah satu-satunya kunci stabilitas segalanya; hati, individu, sosial, tak terkecuali stabilitas politik dan negara. Bukan hanya rakyat jelata yang merasa nyaman dengan tasawuf, Pemerintah pun tenang menjalankan kewajiban-kewajibannya bila dibimbing dengan baik (bukan diganggu) oleh para ulama ahli tasawuf.
Bagaimana tentang peran para pemuda? Apakah jiwa-jiwa sufi mereka juga dapat dibangkitkan? Ataukah orang-orang berusia lanjut saja, adapun para pemudanya dikuasai aliran-aliran lain?
Tasawuf tidak layu atau loyo. Alhamdulillah, ratusan ribu pemuda dari penduduk Aljazair lebih cenderung kepada aliran-aliran tasawuf, bahkan ratusan juta pemuda di dunia lebih tertarik bertasawuf daripada berteriak-teriak dan membuat kerusuhan sebagaimana yang dituntun aliran-aliran lain. Jumlah tarekat-tarekat sufi sangat banyak melebihi 300 tarekat, sedangkan Tarekat Tijaniyah saja pengikutnya melebihi 350 juta muslim sedunia, belum lagi tarekat-tarekat lain seperti Qadiriyah, Syadziliyah, Rahmaniyah, Khalwatiyah, dan lain-lain. Semuanya memiliki ratusan juta pengikut. Bila digabungkan, maka orang-orang tasawuf di atas permukaan bumi ini jumlahnya milyaran bahkan trilyunan. Saya yakin, kedepan, bilangan itu semakin bertambah cepat dan dahsyat!.
Para pemuda pun banyak yang memilih tasawuf sebagai jalan kehidupan. Sebab mereka sedang mencari keseimbangan jiwa dan belum menemukannya. Pastilah tasawuf yang akan menjawab semua tanda tanya mereka. Dan secara otomatis di akhir zaman yang serba mudah dan bebas ini, mereka akan penasaran dengan kehidupan lain yang lebih nyaman, ialah tasawuf yang merupakan intisari agama langit. Tak heran, semua orientalis yang pada akhirnya memeluk agama Islam, mereka menganutnya setelah mengkaji tasawuf sebagai permata indah yang tersimpan.
Saya yakin, masa depan Aljazair akan dikuasai tarekat-tarekat sufi, karena tasawuf lah tempat kembali orang-orang yang sesat jalan dan kehilangan cahaya Islam. Melalui majelis-majelis dzikir, selawat, fikih, tafsir, hadits, dan lain-lain di bawah naungan tarekat-tarekat sufi, kita optimis dengan keselamatan anak-anak kita dan generasi muslim selepas kita.
Sejak dulu hingga detik ini, virus-virus pemikiran salafi menyebar dengan cukup kuat di tubuh umat Islam. Apakah anda tidak khawatir cita-cita itu menghadapi banyak rintangan dan kesulitan?
Sebelumnya, istilah “salafi” amat sangat tidak tepat sekali. Semua golongan mengaku berkiblat pada salaf shalih. Salaf shalih bukanlah aliran pemikiran, melainkan orang-orang mulia di zaman dahulu kala dan telah silam dengan keberkahannya. Mungkin yang anda maksud adalah golongan wahabi atau golongan pecinta hadits. Bagi saya pribadi, wahabi bukanlah musuh atau lawan, akan tetapi sebatas aliran pemikiran yang mengkaji teks-teks hadits dan kulit agama Islam secara kurang mendalam, yang justru akan menambah motivasi kita untuk kembali membenahi diri sendiri dalam rangka menghayati Qur’an dan Hadits secara kontekstual dan substansial, serta mengembalikan citra tasawuf kepada otentitasnya yang nyaris pudar dari sebahagian tarekat belakangan ini.
Memang, golongan wahabi menyebar dengan cepat, sebabnya adalah kemudahan tema yang diwacanakan serta analisa yang ditawarkan terlalu gampang karena semata-mata berhubungan dengan kulit, bungkus, atau kaleng. Namun demikianlah keniscayaan variasi umat Islam; ada yang menjadikan agama sebagai jembatan menuju tahta perpolitikan, ada yang menjadikannya sebagai acuan hidup beragama ala kadarnya dengan penuh keterbatasan, dan ada juga (tasawuf) yang menjadikannya sebagai jalan pembangunan manusia seutuhnya melalui pendidikan spiritual yang telah dirumuskan para ulama tasawuf dahulu dan sekarang.
Dihadapan aliran sufi, lantas mengapa aliran wahabi mempunyai daya saing yang signifikan di antara semua aliran yang ada?
Sudah saya katakan tadi, ideologi yang mereka tawarkan terlalu simpel. Bagi orang awam yang buta agama, ketika dibacakan sebuah teks hadits tertentu, ia akan mengikutinya secara langsung tanpa berpikir panjang seputar konteks, kaidah bahasa, latar belakang, penafsiran ulama, dan lain sebagainya. Sebab, kesederhanaan akalnya mengatakan, agama Islam adalah apa yang dituntun Qur’an dan Hadits, itu saja. Dan karena hadits telah berbunyi demikian maka itulah dogma Islam yang wajib dipatuhinya.
Berbeda dengan aliran lain yang harus mengajak terlebih dahulu calon pengikutnya ke ruang studi dan riset yang serius. Aliran seperti ini tentu tidak diminati umat jelata yang buta huruf dan buta agama. Aliran seperti ini hanya mampu merangkul komunitas intelek saja. Yah, kasarnya, orang-orang yang mengikuti wahabi hanyalah orang-orang bodoh saja. Saya tidak memungkiri, dalam golongan wahabi ada orang-orang intelek dari kalangan mahasiswa bahkan dosen, akan tetapi mereka sedikit sekali jumlahnya.
Buktinya, para teroris Aljazair yang berani melawan negaranya dengan senjata api di perang dekade hitam silam rata-rata dari golongan wahabi yang sekali lagi buta agama. Namun alhamdulillah, tidak sedikit dari mereka bertaubat dan kini hidup tenang di bawah naungan tarekat-tarekat sufi.
Selain kedunguan para pengikut, golongan wahabi cepat berkembang juga disebabkan media informasi yang mudah dan laju. Sejumlah da’i nganggur mengarang buku kecil kemudian dicetak banyak untuk dijual di masjid-masjid atau bahkan dibagi cuma-cuma. Kostum khas mereka pun dijual di depan masjid-masjid. Ditambah lagi dengan merekam suara sendiri lalu dijual dalam bentuk kaset, CD, atau file Real Player di internet. Tak ketinggalan stasiun-stasiun televisi buat pamer kefasihan berbahasa Arab. Semua sarana itu diborong habis-habisan untuk memperbanyak pengikut. Wajarlah bila pemikiran mereka dapat memasuki rumah-rumah dan mempengaruhi keseharian khalayak dengan semudah-mudahnya. Namun sayang, tidak akan pernah mampu mengalahkan yang diam tapi menghanyutkan!
Demikianlah jawaban-jawaban Prof. Dr. Muhammad bin Brikah, yang di interview lain bersama Jaringan Syuruq Online ia mengingatkan, kaum sufi mencintai Ahlul Bait dan mengagumi para Sahabat serta memuliakan istri-istri Rasul tanpa pengecualian. Tidak seperti golongan Syi’ah yang hatinya masih bernoda kebencian, dan oleh sebab kebencian itulah mereka tidak memiliki jejak historis yang patut disyukuri sepanjang perkembangan Islam. Memang benar apa yang dinyatakan Prof. Dr. Muhammad Rasyad Abdul Aziz Dahmisy, mantan Dekan Fakultas Studi Islam dan Arab Universitas al-Azhar Mesir, bahwa tasawuf memiliki peranan terbesar dalam penyebaran agama Islam di banyak negara. Orang-orang tasawuf lah yang berhasil mendekatkan hati kepada agama Allah melalui keseharian dan perilaku yang mulia serta kehidupan sederhana yang betul-betul mencerminkan Islam secara esensial dengan kemudahan dan keindahannya.
[Ditulis oleh: Abdul Aziz Sukarnawadi | Sumber: www.aziznawadi.net]