Perdamaian Dunia Dalam Perspektif Sufistik

KHM. Luqman Hakim, MA

Harus dibaca juga..

Pergolakan dunia zaman akhir telah menggugah kesadaran, betapa harapan dan keputusasaan berdiri sejajar untuk saling mengalahkan. Bahkan pada detik-detik tertentu mereka yang memiliki harapan akan masa depan pun, merasakan keletihan psikologis dalam membangun sejarah dunia ini, dan pada saat yang sama mereka yang liar dengan kegelapan jiwanya terbakar oleh cahaya sejarah yang menjadi keniscayaan manusia, sebagian menyadari dan sebagian semakin memasuki lorong sempit kegelapannya.

KHM Luqman HakimPencarian-pencarian harapan — tentu saja — akan berujung pada Peran peran Ilahi dalam keagamaan. Tetapi sejarah agama juga menampakkan gerakan-gerakan tokoh-tokohnya yang munafik dan menjualbelikan agama dengan sejarah yang berdebu dan kotor. Yang tampak gelap dalam jubah malam, ternyata adalah terang dalam pancaran cahaya. Begitu juga yang tampak terang dengan kilauan cahaya, terkadang menyembunyikan kegelapan yang pengap. Inilah yang seringkali merobek jubah sejarah yang agung, mejadi compang camping, dan bahkan berakhir dengan sebuah pertempuran yang memuakkan.

Tuhan, Agama, Manusia, dan Alam, sepertinya sedang mencari formula besar untuk bangunan besar keluarga manusia. Bangunan yang bias menampung berbagai kepentingan, kebijakan, dinamika, pluralitas, kesatuan, keterpaduan, harmoni dan pertumbuhan dari generasi ke generasi. Agama hadir untuk memberi inspirasi, sekaligus menjadi refrensi arsitektur bangunan sejarah, agar dialektika antara agama dan sejarah, antara Kehendak Ilahi (Iradah) dan Realita (Qudrat) tidak terputus. 

Sebagaimana fakta-fakta sejarah hari ini, begitu berat kita rasakan untuk bangkit mencetak kembali tinta biru, di atas kanvas yang telah ternoda. Semuanya merasakan goresan tentang ummat manusia  yang sedang berada di pinggir jurang kehancuran. Tebing-tebing yang dikira menyelamatkan harapan hidupnya, sebentar lagi runtuh oleh sifatnya sendiri yang tak berdaya dalam sejarah.

Ketika kita melihat nurani rakyat yang terjajah, terasa perdamaian adalah kemerdekaan yang dicapai. Saat manusia bergolak dengan konflik etnis, suku, agama, budaya, perdamaian adalah harmoni kesatuan dalam keragaman. Ketika kita saksikan pererangan dan pertumpahan darah, maka perdamaian adalah  kesepakatan yang adil antar pihak dan kepastian hukum di masa depan. Perdamaian lalu bermakna penghargaan, penghormatan, penegakan keadilan, kasih sayang, kepedulian, pengorbanan, kemerdekaan, pemaafan,  dan permohonan ampunan.  

Itulah sekilas mosaic  perdamaian yang buram dalam cermin kita sendiri. Maka, ketika kita kembali dalam kesadaran akan ketakberdayaan sejarah kita, sifat kita akan memasuki refleksi paling fundamental, sifat fitrah, Tuhan dan masa depan. Perdamaian belum terwujud manakala tetap — sekadar — didasari kepentingan humanism belaka, tanpa adanya sikap beragama yang total.

Agama sudah disampaikan melalui kebenaran-kebenaran ayatnya, seminar dan kongres perdamaian manusia terselenggara dimana-mana, bahkan jeritasn memilukan tak henti-hentinya memanggil kita untuk membebaskan mereka. Tetapi kenapa hingga saat ini sejarah harus mengulangi tragedinya? Benarkah agama memilki konsep dan tujuan perdamaian?  Mengapa ayat-ayat agama juga mengandung unsur perang dan damai? Sejauhmana fondasi-fondasi agama — secara teologis dan praksis — membangun perdamaian? Apa yang menjadi jarak dan dinding antara esensi agama dengan praktek beragama? Sejauhmana globallisasi mengantisipasi konflik-konflik kemanusiaan, konflik internasional, dan lokal?

 Ilmu-ilmu perdamaian rupanya tidak berdiri sendiri. Namun harus melibatkan berbagai disiplin ilmu secara fakultatif, karena akan menyangkut kebijakan public di masa depan. Perdamaian sangat berhubugan erat dengan Ilmu agama, tafsir-tafsir keagamaan dari kitab-kitab suci, begitu juga keterlibatan ilmu-ilmu sosial dan politik, ilmu komunikasi dan media massa, ilmu hokum dan diplomasi internasional, ilmu fisika dan kebijakan industry teknologi, ekologi, industri pertahanan, dan ilmu ekonomi pembangunan. 

Peradamaian dan  Paradigma Sufism.

Dalam konteks inilah, agama — dalam hal ini Islam — secara normatif membagi dua wilayah besar bagi konstelasi perdamaian. Wilayah pertama berhubugan dengan Doktrin Agama yang berakar pada Tauhid. Wlayah kedua berhubugan dengan praktek beragama secara umum, dan secara khusus bagi perdamaian. Allah Swt, adalah Awal dan Akhir, dalam titik pandang fundamental seorang muslim, mukmin dan muhsin.

Doktrin Tauhid akan menyadarkan kembali fitrah manusia, bahwa ia adalah Khalifah di muka bumi, wakil Tuhan,  dan pembawa amanah kemanusiaan (sebagai hamba)  bagi tegaknya Hak-hak Ketuhanan. Pada saat yang sama ia harus menepis segala hal secara mendasar factor-faktor yang ingin merubah posisinya sebagai manusia: Seperti merubah dirinya menjadi binatang global yang mengekploitasi bumi  melalui ambisi hewaniyahnya, lalu didukung dengan kekerasan, kekejaman, dan kebuasan-kebuasannya untuk saling menumpahkan darah. Suatu kegilaan manusia modern yang dipertontonkan secara dramatis dalam teater penyimpangan psikhologis.

Kesepakatan global harus mengembalikan definisi dan posisi manusia berada antara Tuhan dan semesta lainnya. Tanpa definisi tersebut, kehidupan akan berlangsung liar tanpa pertanggungjawaban. Konsep tentang “hamba” dengan “kehambaannya” harus diserasikan kembali pada doktrin-doktrin agama dan kemanusiaan, sebagai bagian utama dari upaya kemelut manusia modern yang tragis tersebut. Apakah ia benar-benar menjadi hamba Allah Swt, atau ia telah tereduksi jatidirinya menjadi hambanya hawa nafsu, hambanya syetan, atau hambanya alam semesta.

Karena itu, Teologi Peradamaian mesti mengangkat harkat kehambaan ini menjadi dasar kemanusiaan yang sejati, baru disanalah kesedaran baru menegakkan Hak-hak Kertuhanan dalam manifestasi kekhalifahannya. Tanpa menyelesaikan polemic teologis tersebut, perdamaian yang kita cita-citakan tidak lebih dari grafik statistic yang kering, sewaktu-waktu akan menjadi wabah yang menakutkan bagi ummat manusia.

Dalam konsterlasi peradamaian yang kita cita-citakan, Islam memberikan tawaran-tawaran universal, tidak sekadar nilai-nilai yang — disana bisa berselaras denga nilai-nilai luhur agama lain —, namun sangat berhubungan dengan kehidupan individu-individu, sebagai neclues social  yang kelak mempengaruhi peradaban manusia.  

Dalam ajaran Islam  secara konseptual terbagi menjadi tiga dimensi yang saling berkelindan — kelak kita akan melihat, apakah perdamaian sebagai tujuan atau perdamaian sebagai akbat dari praktek doctrinal agama.

Dimensi pertama: Al-Islam. 

Dalam praktek al-Islam sesungguhnya mengandung ajaran  yang secara horisontal mengatur hubungan-hubungan sosial, politik, ekonomi, pendidikan, pertahanan, diplomasi internasional, dan seluruh elemen-elemen pendukung seperti ilmu pengetahuan teknologi, dalam rangka membangun peradaban yang damai. Gerakan peradaban eksoterik (syari’at) ini bisa dipandang, dari segi pendidikan adalah upaya-upaya besar manusia dalam menempuh Jalan Tuhan yang Lurus, sehingga tertib kemanusiaan menjadi kebudyaan yang adil dan seimbang. Hal ini akan terwujud manakala didasari oleh dimensi kedua; Al-Iman.

Tetapi, dalam merancang upaya perdamaian, dengan hanya bertumpu pada factor kepentingan eksoterisme agama, justru malah sering berujung konflik baru, karena unsur-unsur syariat belaka hanyalah tubuh tanpa roh, kerangka tanpa nyawa, yang sangat menakutkan bagi peradaban, disebabkan oleh manipulasi-manipulasi atas Nama Tuhan untuk ekploitasi bahkan destruksi kemanusiaan itu sendiri. Inilah yang kelak sering kita saksikan wajah yang mengerikan dalam “Kesombongan Beragama”.

Kita juga sering diperlihatkan sebuah tatanan yang rapi, adil dan penuh disiplin, tetapi pada saat yang sama ada rasa kehilangan akan cinta dan kasih saying, kehilangan kesahajaan, kehilangan harmoni pemaafan dan kekeluargaan, serta hilangnya makna perbedaan dan kebjaksanaan yang arif,  semata karena dasar hubungan-hubungan itu hanyalah formalitas aturan hokum yang dipaksakan atas nama Tuhan.

Karena itu seluruh upaya pembersihan terhadap hambatan perdamaian yang selalu muncul dalam karakterstik kehidupan individu dan sosial harus disingkirkan (Takhally) di tahap ini. Sikap desruktif seperti kemusyrikan, kemunafikan, kezaliman, ambisi-ambisi duniawi, iri dan dengki, kesombongan, egoism, hedonism, materialism, adikuasa, supremasi individu, golongan, maupun kebangsaan, saling mencurigai dan buruk sangka, sikap riya’, popularitas, gengsi, membangun permusuhan, kebencian, pegkhianatan, intrik, keras kepala dan liar, yang secara keseluruhan adalah sifat kebinatangan, sebagai factor utama  yang menghambat perdamaian dunia.

Dimensi kedua: Al-Iman

Iman sangat mendasari motivasi dan keberangkatan hidup manusia menuju Tuhannya. Wilayah batin manusia (psikologi) menjadi amat penting bagi terbangunnya hubugan-hubungan kemanusiaan dari hati ke hati. Dimensi ini menuntut keteguhan iman seseorang agar sampai pada tahap yaqin, sehingga proses dan goal perdamaian adalah bagian insterumental yang paling mendasar, yang didasari oleh ketulusan, keikhlasan, dan kedamaian jiwa.

Dalam dimensi Iman inilah peradamaian terurai dalam seluruh wilayah kehidupan, karena dinamika kehidupan yang bergerak termotivasi oleh kekuatan teologis, bahwa seluruh tuntutan batin manusia secara esensial adalah wujud perjalanan menuju Tuhannya. 

Pada tahap inilah, apabila  seluruh aspek destruktif terhadap jiwa manusia telah disingkirkan, maka kita semua bertanggungjawab membangun asitektur indah bagi perdamaian melalaui kekuatan-kekuatan jiwa yang dalam. Pendidikan adalah fondasi utama untuk menjadi instrument tegaknya kemuliaan dan harkat manusia. Pendidikan jangan sampai terjerembab pada ideology materialism, hedonism, pragmatisme dan hewanisme yang hanya mengejar karir sosial ekonomi, politik, dan profesi, yang bisa.  memperburuk nasib ummat manusia akhir zaman.

Silabus perdamaian haruslah dibangun secara total, khususnya melalui ajaran agama, dengan pendekatan keimanan yang Sufistik. Agenda-agenda pendidikan baik secara formal maupun non formal sudah harus bekerja keras membangun karakter manusia utama yang memilik tanfggung jawab di hadapan manusia dan Tuhannya. Karakteristik keikhlasan, ketulusan jiwa, kedamaian hati, pengendalian nafsu, rasa syukur, kepasrahan, kesahajaan, kesabaran, tolerasni, cinta dan kasih saying, kepedulian social, memaafkan dan memohonkan ampunan orang lain, saling mendoakan, baik sangka, menebar cahaya kebajikan, yang secara total sebagai manifestasi keimanan kita kepada Allah Swt, memang demikian kiprah peradaban manusia menuju kepadaNya yang dihiasi (Tahally) Akhlak Agung nan mulia.

Dimensi Iman inilah syarat mutlak bagi dasar pengembangan karakter, yang kelak perdamaian akan terwujud dengan sendirinya. Dalam posisi inilah, Perdamaian bisa dipandang sebagai akibat logis dari dialektika pendidikan dan kebudayaan. 

Manusia mana pun di muka bumi, tidak bisa membayangkan terjadinya perdamaian tanpa iman. Karena seluruh gerakan anti perdamaian dan gerakan pembusukan kemanusiaan, adalah gerakan atheism dan hipokrisme apa pun symbol yang digunakan, termasuk symbol agama dan simbol kemakmuran. Ketika manusia berharap damai jiwanya, damai kampung halaman dan negerinya, damai kehidupan internasionalnya, ia tetap berpegang pada apa yang diyakini. Dan Iman kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah jawaban atas kegundahan dan keterbelahan psikhologi mereka. Orang beriman selalu berada di jalan damai.

Dimensi Ketiga: Al-Ihsan

Dalam Islam, Ihsan merupakan bentuk asketik puncak, namun di dalamnya menyimbolkan nuansa-nuansa supra vertikal dan supra horizontal dalam naungan Cahaya Ilahi, yang digambarkan, “Hendaknya engkau beribadah seakan-akan melihatNya, dan jika engkau tidak melihatNya, Dia (senantiasa) melihatmu.” Sampai pada tahap, bahwa yang dimaksud Damai itu adalah Sang Maha Damai, Allah itu sendiri.

Ihsan yang mengakar pada kata “hasanah” yang berarti kebajikan, nyatanya, kebajikan itu harus kita pohon pada Allah, “Ya Tuhan berikan kami kebajikan di dunia, dan kebajikan di akhirat, dan lindungi kami dari siksa neraka.”

Kebajikan itu bukan kebahagiaan, tetapi kebahagiaan itu adalah akibat kebajikan. Di dalam kebajikan ada nilai-nilai perdamaian, dan kebajikan yang dipinta ummat manusia, sampai kebajikan di akhirat. Konsep syurga yang damai, merupakan manifestasi dari kebajikan di akhirat.  Sedangkan siksa neraka, sesungguhnya adalah hijab (tirai) yang mengalangi hubugan antara manusia dengan Tuhannya, baik neraka di dunia maupun neraka di akhirat.

Para Sufi membangun perdamaian dari dimensi paling dalam, relung rahasia yang menjadi pusat gravitasi kehiduan kosmik manusia. Tanpa hadirnya Allah Swt, sebenarnya dunia adalah neraka dengan seiksaan demi siksaan. Maka, proses dehumanisasi sesungguhnya wujud dari siksaan itu, yang melemparan manusia pada lorong gelap tanpa harapan.  Sebab, indahnya syurga dunia, tetapi tanpa Tuhan, sesungguhnya adalah neraka jahanam. Sebaliknya, pedihnya kehidupan dunia, carut marut peperangan, pertumpahan darah dan penidasan yang kita saksikan, sesungguhnya adalah syurga, jika Allah hadir di sana. Apa yag tampak dalam pergolakan yang memuakkan, sesungguhnya adalah hadirnya Tuhan ketika membakar sampah-sampah kemanusiaan. Tetapi, sungguh, Kasih SayangNya mendahului murkaNya.

Implentasi dari nilai luhur ini, bahwa perdamaian itu dating dari Allah Swt, sebagai anugerah kebajikan pada ummat manusia, dan amanah yang harus diemban dengan cara berserasi dan berselaras denganNya, menuju padaNya, bersamaNya dan hanya bagiNya.

KebersamaanNya pada manusia, melahirkan kesadaran bahwa manusia senantiasa memandangNya, lalu bermaujud dalam cahaya kasih sayangNya, bagi seluruh semesta. Kesadaran in akan memantulkan peningatan kualitas iman seseorang dan mentranformasi pada aktivitas alam pikiran, pengetahuan, kebudayaan dan peradaban.  Inilah yang disebut dengan Peradaban yang Bercahaya. Dan itulah yang dilakukan para Sufi, mengajak membangun paradigm peradaban dari Tuhan. Bukan dari rekayasa manusia.

Simbol-simbol dan wacana perdamaian yang diusung para Sufi, adalah melanjutkan missi yang dibawa oleh Rasul Saw, bahwa secara eksitensial kehadirannya  di muka bumi adalah Rahmat bagi ummat manusia. Ia hadir sebagai symbol Rahmat yang actual, dan karenanya, ia tidak pernah lepas dari Tuhannya. Ia juga menjadi Asma’ dan SifatNya dalam struktur peradaban yang hidup, tetapi hidup bersamaNya dalam selubung kemanusiaannya.

Seluruh dunia mesti memasukkan nilai-nilai perdamaian dalam dunia pendidikan sejak dini. Departemen-departmen yang berkaitan harus bekerja keras untuk menyusun silabi pendidikan perdamaian di sekolah-sekolah sampai perguruan tinggi. Generasi kita harus tumbuh dengan wajah-wajah merdeka, degan kualitas moral yang berintegritas pada kemanusiaan.

Sekadar merumuskan secara dini, agar peradamaian bukan sekadar kekuatan moral yang bergerak, makaa kita — sebagai penghantar — perlu membangun rumusan yang erat hubungannnya dengan pendidikan perdamaian, agar lebih jelas gagasan yang hendak kita capai di masa depan, khususnya melalui pendidikan:

Topik Utama: 
Peserta didik akan fokus pada kasus-kasus umum dan kasus khusus dalam resolusi konlik.

Latar Belakang: 
Mengenal telaah kasus-kasus konflik baik internasional maupun lokal. 

Spiritualitas-Mistikal-Sufistik: 
Langkah awal membangun konvergensi antara spritualitas yang ada dalam wahyu-wahyu Ilahi bagi perdamaian. Apa yang menjadfi titik ontologism bagi perdamaian.  

Akidah: 
Hubungan antara keimanan dan keyakinan terhadap paradigm perdamaian.

Filosofi: 
Kearifan-kearifan yang menjadi dasar fundamental untuk membangun epistemology, aksiologi dan humaniora, penegakan Hak Asasi Manusia.

Ideologi: 
Rumusan-rumusan ideologis dari berbagai agama, budaya, sastra dan kearifan local tentang perdamaian. Nilai-nilai Tasawuf misalnya, bisa menjadi tema-tema ideologis dalam kerangka ini.

Disiplin Ilmu Pendukung: Hubungan utama dengan suatu disiplin ilmu, bagaimana selama ini disiplin ilmu tersebut mendukung atau tidak peduli dengan praktek perdamaian. Hasil-hasil riset sosiologis, antropologis dan temuan-temuan ilmu pengetahuan eksakta.

Hambatan-hambatan: 
Apa yang menjadi penghambat terwujudnya perdamaian. Dalam konteks ini berbagai segi disilplin kehidupan perlu diangkat untuk melihat hambatan utama, hambatan strategis, dan hambatan praktekal. Termasuk apa hubungan antara sifat-sifat tercela manusia (madzmumat) dengan hambatan perdamaian. Begitu juga habatan-hambatan ideology modern, seperti materialism, hedonism, imperialism, harus dijadikan objek factual untuk melihat titik-titik hambatan.

Kompetensi: 
Apa yang seharusnya menjadi kompetensi pihak-pihak yang berkaitan dengan kebijakan public, agar kebijakannya berselaras dengan keadilan, kemerdekaan dan persamaan, dan memiliki penguatan terahadap iman.

Langkah-Langkah Strategis: 
Rumusan potensi-potensi dari seluruh elemen yang bisa menumbuhkan situasi damai: Seperti intsitusi pemerintah pengambil kebijakan, parlemen, LSM, media massa, maunpun potensi kearifan local seperti  kebudayaan sillaturahim; Halal bil Halal; aktivitas kesenian, kebudayaan ritual jamaah dzikir; pengajian; ormas-ormas keagamaan, dll.  

Rekomendasi-rekomendasi

Next Post

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Top Stories

ADVERTISEMENT

Login to your account below

Fill the forms bellow to register

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.