Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag, wakil Dekan II di fakultas FISIP UIN Jakarta.
Tawuran antara para siswa dengan para wartawan merupakan puncak dari rusaknya dunia pendidikan Negara ini. Sebelum ini, tawuran sesama pelajar sebelumnya telah menjadi
tradisi rutin para pelajar di Jakarta. Kenapa semua itu bisa terjadi, padahal dulu para pelajar sangat menghormati para guru mereka. Salah siapa semua ini? Para pengajar atau murid itu sendiri yang salah? Apa saja yang mempengaruhi semua itu dan bagaimana solusi pemecahannya?
Berikut petikan wawancara antara Media Cahaya Sufi dengan ibu Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag, wakil Dekan II di fakultas FISIP UIN Jakarta.
Melihat fenomena ini, ada apa sebenarnya dengan dunia pendidikan kita?
Kalau melihat perkembangan dunia pendidikan yang seperti itu, kita tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Semua juga ikut bersalah baik dari gurunya maupun orang tua murid itu sendiri. Karena tingkah laku atau akhlak dari para pelajar tidak bisa diletakkan hanya di pundak para guru. Melainkan melibatkan semua unsur. Baik dari lingkungan sekolah, keluarga dan factor external lah yang sangat berpengaruh untuk perkembangan jiwa para pelajar.
Untuk di sekolah kan di ajarkan mata pelajaran agama, apakah itu tidak ada pengaruhnya sama sekali?
Pelajaran agama ya… katanya sembari tertawa. Coba bayangkan saja mata pelajaran agama itu sendiri cumin 2 sks diajarkan, lebih kurang 2 jam dalam satu minggu. Nah apakah cukup untuk membentengi tingkah laku mereka. Padahal godaan dunia semakin lama semakin universal. Sedang disekolahan dimadrasah yangnota bene diajarkan lebih banyak tentang mata pelajaran seperti Sejarah Islam dan Akhlaq saja, kadang masih banyak lubang disana-sini.
Maksudnya dengan lubang disana-sini?
Ya sudah jelas, bahwa pengaruh lingkungan itu lebh besar terhadap tingkah laku para pelajar. Coba mereka kalo punya masalah jarang sekali curhat kepada orang tua, maupun guru. Mereka lebih percaya kepada teman dari orang tua atau guru yang menjadi pembimbing. Iya kalo pengaruh positif yang ia dapatkan, namun kalo melihat gejalanya kebanyakan negatifnya yang mempengaruhi mereka.
Yang paling utama adalah tauladan dan perilaku para guru itu sendiri. Ada pepatah yang mengatakan , “guru kencing berdiri, maka murid kencing berlari”. Disini bukan mencari kesalahan para guru atau peran orang tua. Namun jika para guru tidak memberikan tauladan yang baik, maka para murid pun tidak akan menghormati guru bahkan kepada orang lain pun akan cuek. Untuk itu dibutuhkan guru yang benar-benar guru, bukan guru sebagai profesi.
Bagaimana pandangan dunia tasawuf untuk memperbaiki ini?
Tasawuf ya… Untuk masa peralihan seperti mereka yang sedang giat-giatnya mencari jati diri agaknya terlalu dalam. Namun tidak menutup kemungkinan itu bisa mempengaruhi perilaku mereka kalo kita coba terapkan. Namun sebagian kecil dasarnya saja kita bahas.
Pandangan tasawuf yang tidak kalah pentingnya untuk diaktualisasikan pada dunia pendidikan modern ini,adalah masalah psikoligis, adab dan akhlaq. Yaitu psikoligis dalam proses transmisi keilmuan antara guru dan murid, suatu yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan seseorang untuk menguasai suatu ilmu. Artinya dengan pengetahuannya, seseorang dapat menghayati ilmunya dengan baik dan dapat mengamalkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari.
Seorang murid harus menjaga kondisi psiklogis dirinya dan psikologis gurunya. Dia harus m empersepsikan gurunya dengan baik mencintai dan mengagungkan, serta berprasangka yang baik dengan gurunya, dan menjaga persepsi guru terhadap dirinya supaya baik.
Dengan dasar pemikiran itu tadi maka, adab (etika) sangat penting diaktualisasikan dalam dunia pendidikan modern. Seperti hormat, rendah diri dihadapan guru, ta’dhim (menjunjung tinggi martabat guru) dan khidmah (melayani kepentingan guru) murid terhadap guru. Demikian motifasi dan spirit transfer ilmu guru kepada murid dengan niat yang tulus dan doa-doa yang baik harus senantiasa mengalir kepada murid. Dengan rasa sayang yang tulus terhadap murid maka ilmu sang guru akan di tangkap dengan baik oleh afeksi murid.
Bagaimana sikap murid kepada guru dan sebaliknya?
Adab kepada guru, merupakan ajaran yang prindip dalam ajaran islam, bahkan syarat dalam riyadhah seorang murid. Hal yang sedemikian ini karena diyakini bahwa hubungan antara guru dan murid melestarikan tradisi sunnah di masa Nabi. Kedudukan murid menempati peran sahabat dan guru sebagai Nabi dalam hal bimbingan (irsyad) dan pengajaran (ta’lim).
Menjaga etika guru dan murid ini dapat dianalogkan dengan mengisi air. Jiwa guru sebagai wadah ilmu, sedangkan jiwa murid sebagai wadah air, yang akan menerima air dari sang guru. Maka menjaga akhlaq adalah mengatur posisi wadah ainyar guru (perasaan dan hati guru) dan wadah airnya murid (perasaan dan hati murid) yang dikenal dengan istilah afeksi, agar jiwa murid dapat terisi jiwa guru.
Adab kepada guru ini tersimpul dara rasa cinta seorang murid terhadap gurunya, dengan sebenar-benarnya cinta. Hormat dan ta’dim berarti meninggikan posisi guru sebagai wadah ilmu, sedangkan meremehkan berarti merendahkan posisi dari wadah ilmu tersebut.
Intinya bahwa keikhlasan, kejujuran, suri tauladan, serta akhlaq dan adab, akan membentuk karakter dari para murid. Jika kesemua itu diabaikan oleh para guru maka cita-cita untuk menjadikan murid yang berbakti dan berakhlaq baik bagaikan api jauh dari panggang. (Fatchan)