Asy-Say’rani
Seorang murid hendaknya tidak harus memperhatikan penampilan lahirnya, seperti pakaian dan lain-lain kecuali sekadar memenuhi kebutuhan primer. Maka barangsiapa melihat penampilan lahir maka ia akan terputus dari perjalanan spiritualnya.
Tuan Guru Ahmad bin ar-Rifa’i —rahimahullah— melihat seorang fakir sufi yang mengatur pakaiannya dengan rapi dan mengenakan serbannya juga begitu rapi, lalu tuan guru berkata: “Wahai anakku, ini telah keluar dari jalan (tarekat) keinginan (murid).”
Dianjurkan agar gamis si murid tidak sampai turun di bawah tumit dan selalu bersih, dimana bagian lengannya agak lebar, dan memilih selain warna putih. Bisa berwarna hijau, biru atau hitam dan lain-lain. Sementara baju yang berwarna putih hanya dikenakan di hari jumat agar tidak cepat kotor, terutama bila ia bekerja untuk melayani orang lain atau untuk dirinya sendiri. Hal itu dimaksudkan untuk mengurangi keterkaitan si murid dengan dunia dan menoleh kepada dunia serta memperindah pakaiannya. Sementara pakaian warna putih cepat sekali kotor sehingga perlu untuk dicuci dan sudah mesti membutuhkan sabun cuci yang akan membutuhkan banyak uang, yang akibatnya memerlukan kerja atau meminta kepada orang lain dengan cara menunjukkan kondisinya atau dengan ucapannya. Akhirnya ia makan dengan agamanya, maka seakan-akan beribadah kepada Allah dengan ibadah yang ia pakai dan ia makan. Sebab andaikan tidak dengan ibadah yang dilihat orang dengan mengenakan pakaian tersebut tentu ia tidak akan dimuliakan. Semua itu hanya akan memutus perjalanan spiritualnya dan membuka pintu menghadap dunia.
Pada prinsipnya, segala sesuatu yang bersifat duniawi yang disukai oleh nafsu si murid akan memutuskannya dengan Allah Azza wa Jalla. Maka seorang murid harus bersabar atas kotoran yang melekat di pakaiannya atau robek sampai kotoran hatinya bisa bersih. Apabila kotoran di hatinya sudah bersih maka ia diperintah untuk membersihkan pakaiannya dan mengenakan pakaian yang putih, agar seimbang dengan batinnya sebagai ungkapan syukur atas nikmat yang diberikan, bukan tujuan untuk menuruti kesenangan nafsu. Sementara mengenakan pakaian wol yang cukup mahal tidak akan menjadikan seorang murid sukses dalam menempuh tarekat kaum sufi, sekalipun gurunya termasuk tokoh para wali.
Demi Allah, pada tahapan awal saya mulai menempuh tarekat kaum sufi, saya hanya mengenakan pakaian bertambal dan serban dengan tali serta sandal baru. Sementara orang-orang datang kepadaku memberi pakaian yang cukup mewah dan makanan yang lezat, tapi saya menolaknya, karena takut menggangguku untuk mengingat Allah Azza wa Jalla. Lalu bagaimana dengan murid yang berusaha keras untuk mendapatkan barang-barang duniawi tersebut?
Sebagaimana kisah yang kami terima, bahwa asy-Syibli ketika ada sesuatu dan pakaiannya yang menjadikannya terkagum, maka ia segera pergi ke perapian untuk membakarnya. Kemudian ditanya, “Mengapa engkau tidak menyedekahkannya ke orang lain.” Ia menjawab, “Apa yang menyibukkan hatiku maka juga akan menyibukkan hati orang lain.”
Sementara itu al-Yafi’i —rahimahullah— berusaha menjawab tentang kasus tersebut, bahwa tindakan seperti itu dianggap bagian dari mencari alternatif yang paling ringan risikonya dan dua hal yang sama-sama berbahaya. Sebab hilangnya seluruh dunia dianggap lebih ringan bagi mereka daripada lupa akan Allah Swt. Ini sama dengan kasus andaikan ada seseorang, tenggorokannya tersumbat oleh sesuatu, kemudian tidak menemukan makanan atau minuman apa pun untuk membantu melancarkan saluran makanan yang tersumbat ini kecuali hanya ada khamar (arak), maka ia boleh menggunakan khamar yang haram ini untuk melancarkan saluran makanan, demi melindungi nyawanya agar tidak mati. Maka demikian pula orang yang khawatir agamanya hancur, maka ia berusaha mengorbankan dunianya lebih dahulu demi menjaga keselamatan agamanya.
Para guru sufi mengatakan: Kalau memang harus mengenakan pakaian-pakaian yang bagus, maka hendaknya mengenakan pakaian yang sedang dan sederhana, tidak terlalu tipis yang bisa tampak kulitnya atau terlalu kasar. Demikian pulajangan mengenakan pakaian-pakaian yang biasa dikenakan orang-orang yang tolol dalam beragama, seperti pakaian-pakaian yang ada garis-garisnya kuning atau merah. Ini hanya sekadar menyesuaikan dengan adat kebiasaan yang berlaku. Kaum sufi mengatakan, bahwa pakaian-pakaian seperti di atas bukan berasal dari harta haram. Sementara harta yang haram akan menghentikan perjalanan spiritual murid. Nabi juga pernah mengenakan selimut bercorak kuning dan bergaris. Ini menunjukkan bahwa hal itu boleh asal dari harta yang jelas halal.
Mereka mengatakan: Hikmah yang bisa diambil dan penyesuaian pakaian murid dengan pakaian kaum fakir hanyalah berusaha meniru mereka. Sebab ketika berusaha meniru mereka, ia akan kuat dalam perjalanan spiritualnya. Kaum sufi mengatakan, barangsiapa meniru kaum sufi dalam kondisi luar, maka diharapkan bisa meniru mereka dalam kondisi batin, sehingga si murid bisa “mencuri” semua sifat-sifat kaum sufi dalam waktu yang relative singkat.
Syekh Najmuddin al-Bakri mengatakan: Para salaf saleh menganjurkan agar gamis salah seorang murid ada sakunya. Sementara mereka tidak menyukai celana yang terlalu kombor, dimana kalau misalnya disingsingkan akan kelihatan bagian pahanya. Mereka juga tidak menyukai bila seorang murid memasang ciri-ciri atau simbol-simbol di pakaiannya yang menunjukkan identitas kaum sufi, seperti menambal pakaiannya dengan kain yang tidak sewarna dengan pakaian aslinya. Sementara apa yang dilakukan para salaf saleh dalam menambal pakaian mereka hanyalah karena sangat terpaksa. Mereka tidak menemukan pakaian yang jelas halal secara utuh kecuali sangat langka, sehingga salah seorang dari mereka menambal pakaiannya dari tambalan pipih yang berwarna-warni, sehingga pakaiannya berwarna-warni. Inilah penyebab utama yang menjadikan pakaian mereka bertambal. — Dan hanya Allah Yang Mahatahu.
Seorang murid apabila telah masuk dalam pengambilan sumpah (janji) tarekat kaum sufi, hendaknya mengubah kondisi pakaiannya yang secara adat menyalahi kondisi pakaian kaum fakir sufi. Mereka mengatakan, bahwa seorang murid harus melakukan tiga hal: (1) Mengubah pakaian; (2) Mengubah persahabatan dalam menghindari orang-orang yang membuatnya lupa Allah; (3) Memperhitungkan pernafasannya, sehingga ia lebih berhati-hati untuk tidak menyia-nyiakan setiap hembusan nafas yang keluar untuk tidak digunakan selain ketaatan. Dalam riwayat lain disebutkan, berusaha kurang ramah kepada setiap orang yang ingin mengganggunya sehingga ia lupa Allah Azza wa Jalla. Dari sikap ini maka semua orang akan menjauhinya.
Kaum sufi menganjurkan kepada murid agar meniru simbol-simbol luar kaum sufi, agar simbol-simbol batin mereka pindah kepadanya. Dalam ungkapan ulama disebutkan, “Muruah adalah berakhlak dengan akhlak orang-orang yang sepadan dengannya sesuai dengan waktu dan tempat.” Mereka mengatakan, bahwa mengubah kondisi yang sudah sesuai bisa menodai muruah. Misalnya seorang hakim mengenakan pakaian petani akan mengurangi nilai muruah seorang hakim. Dalam suatu pepatah disebutkan, “Makanlah apa yang anda sukai —yakni dari yang halal— dan berpakaianlah dengan pakaian yang biasa dipakai oleh orang-orang yang sama dengan anda.”
Seorang murid hendaknya selalu giat dan rajin, sehingga tidak pernah melemparkan dirinya dalam kemalasan di saat kapan pun. Hendaknya ia lebih berhati-hati jangan sampai menjalankan shalat sunah dengan duduk sementara ia masih mampu berdiri. Atau ingin mendapatkan sesuatu sementara ia tetap duduk di tempat atau merangkak sampai ke tempat di mana kebutuhannya berada. Contoh bentuk kemalasan yang lain adalah seperti ketika ia diutus gurunya untuk pergi ke pasar misalnya, lalu ia bertanya kepada sang guru, “Tolong dilihat lagi, apa tidak ada kebutuhan lain, supaya saya tidak keluar ke pasar berkali-kali?” dan kata-kata semisal. Ini merupakan bentuk kemalasan, dimana ia khawatir lelah dan bukan karena khawatir menghindari fitnah. Maka barangsiapa melakukan seperti contoh-contoh bentuk kemalasan di atas berarti ia orang yang lemah dan tidak layak masuk ke dalam tarekat kaum sufi.
Dan diantara bentuk-bentuk kemalasan adalah meminta kendaraan yang bisa dinaiki ketika ia diutus oleh sang guru untuk memenuhi suatu keperluan, sementara secara adat ia masih bisa berjalan sampai pada tujuan dengan membawa apa yang diperlukan di pundaknya atau di tangannya. Semestinya seorang murid justru akan melihat bahwa suatu kelelahan yang didapatkan karena melayani kebutuhan orang-orang fakir sufi adalah suatu kemuliaan. Apabila seorang guru melihat seorang murid sudah mulai cenderung pada keringanan dan santai, maka tidak sepantasnya meletakkan sang murid untuk melakukan pekerjaan tersebut. Sebaiknya ia diperintah untuk bekerja, sebab masing-masing orang akan dipermudah pada apa yang diciptakan Allah untuknya. — Dan hanya Allah Yang Mahatahu.
Seorang murid juga harus banyak menundukkan kepalanya, baik ketika sedang duduk atau ketika sedang berjalan. Ia harus tidak banyak menoleh dan mengurangi pandangannya yang berlebihan. Kalau menurunkan tutup kepala di depan wajahnya sekiranya ia hanya bisa melihat ke arah langkah kakinya tentu akan lebih menolongnya. Kaum sufi mengatakan, bahwa ini merupakan latihan untuk membiasakan murid selama ia belum bisa melihat segala sesuatu untuk menjadi pelajaran. Tapi apabila ia melihatnya sebagai pelajaran hidup (i’tibar) maka tidak diperintah untuk selalu menundukkan kepala kecuali karena alasan malu kepada Allah Swt., dan bukan alasan lain. Sementara itu Anas bin Malik selalu mengenakan pakaian jenis mantel yang bertudung kepala, baik musim kemarau atau penghujan, dimana ia mengatakan bahwa apa yang dilakukan ini demi untuk menutupi mata agar tidak melihat terlalu berlebihan.
Para salaf saleh apabila salah seorang dari mereka ditanya tentang sifat-sifat teman duduknya ia tidak tahu, lalu bagaimana dengan sifat-sifat gurunya! Tidak ada seorang pun yang bisa melakukan adab seperti ini sebagaimana yang dilakukan oleh para pengikut tarekat an-Naqsyabandiah di India dan negara-negara non-Arab lainnya. Sang murid hanya mengambil apa yang dari gurunya, kemudian ia tidak lagi pernah memandang wajah gurunya sampai ia mati. Dalam adab seperti ini terdapat suatu rahasia tersendiri. Ini barangkali sang guru menampakkan (tajalli) kepada murid kebesaran yang ada di batinnya karena Allah Azza wa Jalla, sedangkan sang murid tidak kuat, sehingga ia meninggal! Ini sebagaimana yang terjadi pada diri Syekh Abu Yazid al-Bisthami bersama seorang murid yang mengatakan kepadanya, “Maksudku ingin bisa melihat Allah Azza wa Jalla!” Pada suatu hari al-Bisthami berkata kepada muridnya, “Engkau tidak akan kuat melihat Allah kecuali setelah kuat melihatku dalam kondisi sadar sekiranya terjadi penampakan diri (tajalli) dalam hati.” Kemudian sang murid berkata, “Tentu aku kuat untuk melakukannya.” Suatu hari al-Bisthami keluar dalam kondisi lupa, maka hanya sekadar tatapan mata sang murid ke wajah al-Bisthami pada saat itu pula sang murid mati! Kemudian ia ditanya tentang kasus kematian sang murid tersebut, maka ia menjawab, “Sesungguhnya aku menampakkan keagungan Allah Azza wa Jalla yang terselinap di batinku akhirnya ia pingsan!”
Demikian pula yang terjadi pada Syekh Abdul Majid, saudara kandung Syekh Abdul Ali bersama Syekh Ahmad al-Badawi, yang pada suatu han Syekh Abdul Majid berkata kepadanya, “Tuan guru, maksudku agar tuan bisa mengangkat tutup wajah tuan sehingga aku bisa melihat wajah tuan guru.” Sang guru, Ahmad al-Badawi menjawab, ‘Wahai Abdul Majid setiap pandangan akan membunuh!” Abdul Majid berkata, “Diriku untuk hal itu sangat baik.” Akhirnya al-Badawi menyingkapkan tutup yang ada di wajahnya, pada saat itu pula Abdul Majid pingsan hingga mati karena melihat wajah sang guru. Demikianlah sebagaimana yang diceritakan Tuan Guru Muhammad asy-Syanawi kepadaku.
Syekh Muhyiddin Ibnu al-’Arabi mengisahkan: Bahwa Syekh Abu Ya’za al-Maghribi setiap kali ada mata orang yang menatap ke wajahnya mesti buta pada saat itu pula. Syekh Abu Ya’za mi termasuk tokoh ulama yang memiliki ilmu warisan dan Rasulullah (wiratsah). Diantara orang yang pandangan matanya pernah menatap ke wajah Syekh Abu Ya’za adalah Syekh Abu Madyan. Ketika Syekh Abu Madyan buta, maka Syekh Abu Ya’za memerintahkan agar mengusap matanya dengan pakaian Abu Ya’za. Kemudian Abu Madyan menuruti perintahnya, akhirnya Allah memberikan kesembuhan.
Syekh al-Junaid mengatakan: Saya bersahabat dengan Syekh Sari as-Saqathi sampai beliau wafat, tapi saya tidak pernah melihat apakah jenggotnya sudah memutih ataukah masih hitam.
Syekh Syihabuddin, yang lebih terkenal dengan panggilan Mazin al-Azhari pernah bercerita kepadaku: Bahwa ia melayani Syekh Muhammad ‘Anan bertahun-tahun, tapi ia tidak pernah melihat wajahnya. Demikian pula sang guru tidak pernah melihat wajah muridnya, Syekh Mazin kecuali setelah ia diberi tahu orang lain —sebagaimana yang baru saja kami sebutkan di muka— Dan hanya Allah Yang Mahatahu.