Mimpi Kaum Sufi

Syeikh Abul Qosim Al-Qusyairy
Allah swt. berfirman:
”Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan dunia dan di dalam kehidupan di akhirat.” (Q.S. Yunus: 64). Dikatakan, “Yang dimaksud ayat tersebut adalah mimpi yang baik

Harus dibaca juga..

(ar-Ru’yal Hasanah) yang dilihat oleh seseorang atau diperlihatkan padanya.”
Riwayat dari Abu Darda’ r.a. yang berkata, “Aku bertanya kepada Nabi saw. tentang ayat, “Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan dunia dan di dalam kehidu pan di akhirat,” maka Nabi saw. bersabda, “Tak seorang pun bertanya padaku tentang ayat tersebut sebelum kamu. Ayat tersebut adalah mimpi yang baik, yang dilihat oleh seseorang atau diperlihatkan padanya.” (H.r. Tirmidzi, Thabrani dan Ahmad. Hadis ini menurut Tirmidzi tergolong hadis hasan).
Riwayat dari Abdullah bin Mas’ud yang berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Mimpi itu datangnya dari Allah, sedangkan mimpi lamunan itu datang dan setan.” (H.r. Bukhari).

Sabdanya pula:
“Barangsiapa bermimpi melihat aku, maka dia benar-benar melihatku. Sebab setan tidak bisa menyerupaiku.” (H.r. Tirmidzi).

Makna hadis tersebut adalah bahwa yang dimaksud adalah mimpi yang benar. Takwilnya juga benar. Sedangkan mimpi seperti itu merupakan bagian dari karamah.
Perwujudan mimpi itu adalah bisikan jiwa yang masuk dalam hati, dan kondisi-kondisi ruhani yang tergambar dalam imajinasi. Sebab seluruh perasaan tidak tenggelam dalam tidur. Lantas orang menduga seakan-akan ia dalam keadaan terjaga, dan melihat dengan sebenarnya. Padahal itu semua adalah proyeksi atau gambaran yang tertanam dalam hati mereka. Ketika rasa fisik telah hilang dari mereka, yang tertinggal adalah obyek-obyek imaji yang diketahui melalui rasa dan bersifat langsung. Kondisi seperti itu sedemikian menguat di benak pemiliknya. Pada saat terjaga kondisi-kondisi tersebut melemah karena terdominasi oleh kondisi-kondisi inderawi yang ada dalam kenyataan,  serta  munculnya   pengetahuan langsung. Contohnya, seperti orang yang disinari oleh lampu di tempat yang gelap gulita. Apabila matahari terbit, cahaya matahari  akan  mengalahkan cahaya lampu tersebut, sehingga cahaya lampu terserap oleh cahaya matahari. Bagi orang yang berada dalam kondisi tidur, dia seperti orang yang berada di bawah  cahaya  lampu  tadi. Sedangkan orang yang terjaga seperti orang yang berada di siang hari. Orang  yang  terjaga  akan  iingat apa yang tergambar saat tidurnya, termasuk hal-hal atau peristiwa yang datang dalam hatinya di saat tidur. Kadang-kadang yang datang tadi dari sisi setan, kadang-kadang dari desakan-desakan nafsu, kadang pula dari malaikat, dan malah terkadang merupakan pengetahuan langsung dari Allah swt, yang pada mulanya kondisi-kondisi tersebut dikreasikan dalam hatinya. Dalam hadis disebutkan, “Mimpi yang paling benar di antara kalian adalah yang paling benar ucapannya.”

 

Ketahuilah, tidur itu bermacam-macam: Ada tidur lalai dan tidur biasa, keduanya tidak terpuji, bahkan tercela. Sebab tidur seperti itu adalah saudara kematian. Dalam beberapa hadis yang diriwayatkan menegaskan, “Tidur merupakan saudara kematian.” Allah swt. juga berfirman, “Dan Dia-lah yang menidurkan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan di siang hari.” (Q.s. AlAn’aam: 60).
Firman-Nya pula:
“Allah memegang jiwa (orang ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya.”
(Q.s. Az-Zumar: 42).
Dikatakan, “Bila dalam tidur itu ada suatu kebaikan, jelas bahwa di surga pun ada tidur.”
Dikatakan pula, “Ketika Allah swt. mempertemukan tidur kepada Adam as. di surga, pada saat itulah Hawa keluar. Dan setiap bencananya selalu muncul ketika Hawa muncul.”

Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata, “Ketika Ibrahim as. berkata kepada Ismail as, ‘Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi, bahwa aku menyembelihmu” (Q.s. Ash-Shaffaat: 102), maka Ismail as. berkata, “Wahai ayah, inilah balasan orang yang tidur (lupa) Kekasihnya. Seandainya engkau tidak tidur, pasti engkau tidak diperintah menyembelih anak”

Dikatakan, “Allah swt. menurunkan wahyu kepada Daud as, ‘Sungguh berdusta, orang yang
mengaku mencintai-Ku, namun ketika malam telah gelap, ia tertidur lelap.”
Tidur itu merupakan kebalikan ilmu. Karenanya asy-Syibly berkata, “Sekali terlelap, dalam kehidupan seribu tahun, adalah sesuatu yang buruk.” Katanya pula, “Allah swt. Tampak padaku dan berfirman, ‘Siapa yang tidur, dia alpa, siapa yang alpa, dia terhalang.’ Sejak saat itu asy-Syibly bercelak dengan garam, sehingga tak pernah dilanda tidur. Dalam konteks inilah para Sufi mendendangkan syairnya:
Mengherankan sekali bagi pecinta
Bagaimana dia tidur
Sedang tidur bagi pecinta
sungguh dilarang.

Disebutkan, “Murid, makannya ketika lapar, tidurnya ketika sangat kantuk, dan bicaranya ketika terpaksa.”
Dikatakan, “Ketika Adam as. tidur dalam keadaan hadirnya hati, dikatakan padanya, ‘Inilah Hawa, agar engkau bisa tentram kepadanya. Inilah balasan orang yang tidur di kala hadir.”
Dikatakan, “Bila engkau dalam keadaan hadir, janganlah tidur. Tidur dalam keadaan hadir berarti beradab yang buruk. Bila gaib hati Anda, berarti Anda tergolong mereka yang menyesal dan mendapat bencana. Sedang orang yang tertimpa bencana tidak bisa dilanda tidur.”

Next Post

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Top Stories

ADVERTISEMENT

Login to your account below

Fill the forms bellow to register

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.