Dari catatan-catatan refleksi Anda yang kami punya, tampaknya Anda sangat memahami betul a,b,c nya realitas masyarakat baik masyarakat dalam bentuk hari ini maupun dalam penjelmaaan dihari yang sudah. Apa yang melatar belakangi Anda ?
Saya lahir sebagai orang Jawa. Tapi tergoda betul saya untuk mendiami konteks yang lebih Indonesia. Lepas dari keragaman budayanya, manusia Indonesia sebetulnya berhak menemukan sebuah kedaulatan besarnya sebagai bangsa. Itu dimungkinkan ketika bangsa ini sanggup mengkuratori sejarah. Ada bakat-bakat besar di sana, penemuan besar, local genius, kearifan lokal, dan jika seluruh nilai-nilai itu menjadi pijakan hidup berbangsa, saya tidak membayangkan, betapa luar biasa kekuatan bangsa ini. Comot satu saja, kearifan masyarakat Badui misalnya. ”Jangan memotong yang panjang, dan jangan menyambung yang pendek.” Itu menakjubkan. Cuma karena senang menyambung yang pendek dan memotong yang panjang, Indonesia banyak sekali kehilangan nilai-nilainya sebagai bangsa. Ada banyak posisi yang diisi orang yang salah. Yang pendek di paksa memanjang. Ada kependekan yang salah tempat. Ada penjarahan yang diatas namakan kebijakan dan sebagainya. Tapi masa lalu Indonesia tidak seluruhnya berisi catatan kelam. Maka membayangkan Indonesia ke depan, juga harus dengan perasaan lebih gembira, jika titik tolaknya adalah nilai-nilai terbaik kita.
Anda melihat keunikan di dua jenis masyarakat diatas? Bisa Anda jelaskan?
Masyarakat Indonesia hari ini, adalah masyarakat yang terbelah. Terbelah oleh masa lalu yang penuh benalu di satu sisi, dan masyarakat pewaris kearifan masa lampau di sisi yang lain. Siapa yang lebih besar dari keduanya? Saya tidak tahu. Tetapi saya mempercayai tesis Al Ghazali: jika kehidupan sosial masih berjalan, betapapun rendah mutunya, itu bukti bahwa di dalamnya masih dihuni oleh lebih banyak orang baik. Karena ketika kejahatan jauh lebih besar jumlahnya, kehidupan akan macet. Jadi, dasar pemikiran ini membuat saya optimistik. Orang baik masih jauh lebih banyak kita miliki. Korupsi di Indonesia memang besar sekali. Tetapi itu cuma karena koruptor yang ”sedikit” itu, keterlaluan sekali. Tetapi jika nyaris separo dari bangsa ini saja adalah koruptor, habis sudah riwayat kita. Nyatanya tidak! Kita masih banyak memiliki jauh lebih banyak orang baik tetapi barangkali kekurangan pengikat yang baik.[pagebreak] Konon, setiap orang memerlukan ruang pribadi, personal space, sebagai syarat yang penting untuk kesehatan mentalnya. Mungkinkah itu dimiliki mengingat tingkat kepadatan penduduk bangsa kita, terutama di kota-kota besar Indonesia, yang semakin membengkak ini?
Kesehatan fisik dan mental manusia, amat ditentukan oleh kesehatan tata ruangnya. Kota boleh menjadi padat, tetapi tidak harus bahwa yang padat itu pasti tidak sehat. Jalan raya boleh ramai, tapi tidak berarti yang ramai itu harus ruwet. Ancaman tata ruang sebetulnya bukan pada kepadatan atau kelonggaran, tetapi penghayatan kita yang keliru kepada ruang. Tak berarti yang longgar itu sehat, dan yang padat itu sakit. Orang desa yang sehari-hari ada di tengah keluasan sawah juga bisa beringas memukuli anak dan istrinya. Ada manusia kota yang berjubelan di rumah-rumah bedeng, malah bisa tertawa-tawa begitu lepasnya.
Bukankah kepadatan penduduk akan membuat orang lupa untuk tertawa?
Kepadatan memang beresiko. Tetapi di mata hukum, resiko adalah sesuatu yang terukur. Di mata manajeman, yang banyak dan sedikit sama saja. Di mata filsafat kemarin dan esok adalah hari. Di mata spritualis, bencana dan keberuntungan sama saja. Jadi pokoknya adalah, apakah negara memiliki manajemen risiko yang baik terhadap sebuah perkembangan.
Untuk menjawab berbagai problem sosial, masyarakat kita membentuk komunitas-komunitas kecil yang baru yang masing-masing anggotanya memiliki identitas sendiri dan dapat menjadi wadah untuk partisipasi inisiatif dan tanggungjawab local, mungkinkah?
Penting sekali membentuk inisiatif-inisiatif masyarakat, apapun caranya. Karena kemiskinan yang paling berbahaya adalah kemiskinan inisiatif. Luar biasa peran inisiatif ini bagi kemakmuran sebuah bangsa. Di Bangladesh, cuma karena inisiatif seorang Muhammad Yunus, tiba-tiba dunia mengenal bank orang miskin, Grameen Bank. Di Peru ada Hernando de Soto yang merangkul kemiskinan ke dalam sistem negara.
Mutu manusia amat ditentukan oleh mutu persepsinya. Persepsi itulah akar dalam memberi pemaknaaan. Semakin dalam segala sesuatu dimaknai, semakin dalam pula nilai-nilainya. Saya pernah nyaris diserempet mobil. Dan di Indonesia kelakuan semacam itu tak perlu dibuat kaget karena saking banyaknya. Tetapi ketika penyerempet itu saya maknai sebagai suami yang sedang panik karena istrinya hendak melahirkan, kemarahan saya selesai di tingkat ini.
Bukankah pembicaraan tentang harmoni atau keserasian, sedang masyarakat kita yang sudah terjebak dalam faham materialisme global?
Memahami harmoni cuma secara intelektual, akan juga cuma menghasilkan harmoni intelektual. Harmonis semacam itu amat berharga, tetapi bukan yang paling berharga. Itulah kenapa Al Capone bisa menonton opera sambil menangis haru, sehabis ia memukul kepala teman bisnsinya dengan tongkat baseball sampai mati. Antara yang artistik dan yang sarkastik di dalam diri orang ini, masih gaduh bertumbukan. Seorang juragan bisa saja terhanyut mendengar musik klasik, tetapi sekaligus juragan yang bakhil membayar keringat karyawan. Itulah harmoni intelektual. Dengan harmoni spiritual, paradoks itu akan dijinakkan.