Prie G.S. 42 th – Budayawan
Zaman yang tengah mengalami perubahan dan degradasi sebenarnya merupakan lahan subur untuk merangkum bermacam pengalaman manusia dalam membudaya, menjadi
semacam susunan pengertian yang dapat dipahami, dikuasai dan dibawa kepada cita-cita agung; pembebasan manusia. Ya, paradigma pembebasan manusia yang tidak seutuhnya mengacu dari masa pencerahan (aufklarung) di Eropa atau pada masa kebangkitan revolusi dunia atau pada perjalanan proses modernisasi yang tengah kita jalani, yang telah membuat masyarakat lepas dari individu-indidividunya dan individu-individu tercerabut dari eksistensinya sebagai manusia, dan, ah!, berujung pada pemenjaraan manusia di kegelapan global. Kegelapan global yang pada akhirnya membuat manusia semakin maniak dan mendorong bangsa-bangsa yang ada di dunia untuk senantiasa diliputi dalam ketegangan sejarahnya masing-masing, termasuk bangsa dari negara-negara berkembang macam Indonesia kita.
Tapi beruntunglah kita, bangsa Indonesia, negeri ini memiliki bakat-bakat besar, local genius dan nilai-nilai yang dapat dijadikan pijakan hidup berbangsa. Setidaknya begitu, Prie GS, Budayawan asal Semarang melihat potensi besar bangsa ini dapat dijadikan pilar utama bagi fenomena kebangkitan bangsa yang lama hanyut dalam kepekatan global. Kepercayaannya terhadap tesis al-Ghazali yang mengatakan, “Jika kehidupan sosial masih berjalan, betapapun rendah mutunya, itu bukti bahwa di dalamnya masih dihuni oleh lebih banyak orang baik,” menuntunnya untuk melihat konser carut marut dan duka nestapa bangsa ini sebagai fakta, bukan problem, yakni fakta yang tak terpisahkan dari eksistensi manusia dan kesanggupan manusia untuk mengembangkan akal budinya secara utuh.
Sama seperti ketika suami RR Sri Murdiastuti ini melihat konser carut-marut dan duka nestapa bangsanya sebagai fakta dan bukan problema, pengalaman patah hati yang beberapakali dituainya sejak duduk dibangku SMP (Sekolah Menengah Pertama), dilihatnya pun sebagai fakta yang kemudian mengantarkan nya pada jalan kemestian, yakni jalan ruhani, dunia para sufi. “Saya beruntung sering jatuh cinta di usia yang amat dini. Maka saya mengenal patah hati juga sejak amat dini. Sejak SMP saya sudah biasa patah hati. Setiap patah hati, saya sedih sekali. Setiap sedih sekali, hanya Tuhan yang menemani. Maka saya jadi seperti ketagihan bersedih,” begitu kata Prie GS pada Cahaya Sufi yang sejurus kemudian disambut dengan gelegak tawa khas nya.
Jika dalam dunia sufi kita mengenal adanya struktur “organisasi langit” yang dibagi dalam beberapa tingkatan dengan jumlah dan tugas anggota yang berbeda satu sama lainnya, seperti al-ghawts, al-awtad, al-quthb, al-abdal atau al-janba’, Budayawan Sufi dengan dua anak ini telah dikukuhkan (setidaknya oleh rekan-rekan sekerjanya) untuk merawat yang telah lewat, mengingat yang terlupa dan menjaga soal-soal sederhana. Salah satu anggota dari “organisasi langit”-kah ia ?
Wallaahu A’lam! Yang pasti jalan kemestian yang dipilihnya seolah telah menjadi jembatan lintasan panjang yang memberinya regukan-regukan gagasan, menemukan jati dirinya dan, ini yang terpenting!, mendapatkan keintiman bersama Tuhan.
Lalu apa lagi pandangannya tentang fakta-fakta lain yang dihadapi bangsa ini? Apa persepsinya tentang dunia sufi dan doa? Dimana letak kesamaan antara berdoa dan berpoligami? Kurang lebih tiga pekan lalu, melalui Email, Prie GS menjawab pertanyaan-pertanyaan yang disodorkan Cahaya Sufi. Meski terlihat singkat, pembaca akan mendapatkan banyak tetirah didalamnya.