Masalah Ryan menurut kacamata sufi

Assalamu’alaikum Wr. Wb
Masalah yang akhir-akhir ini mengguncang tanah air adalah pembunuhan berantai di Jombang dengan tersangka Ryan Cs.
Menurut pandangan sufi bagaimana menyikapinya? Sedangkan berita yang beredar di media massa kadang hanya mengada-ada bahkan jauh dari fakta psikologi seseorang. terima kasih
Wasalamu’alaikum Wr. Wb
–  Indaria Gunawan /superboss678@yahoo.com

Harus dibaca juga..

Jawab:
Heboh sadisme ala Ryan merupakan  fenomena setiap zaman, mulai zaman kuno dulu. Manusia itu sendiri pernah diprediksi para Malaikat memiliki potensi menumpahkan darah (sadisme, perang, saling mengadu kekerasan). Sekaligus juga memiliki potensi merusak planet bumi.

Itulah perlunya agama, pendidikan, dan organisme kehidupan yang saling mendukung. Siapa pun yang melakukan kekerasan tanpa dasar yang diridhoi oleh Allah Ta’ala, maka pada saat yang sama ia sedang kehilangan imannya, terhijab oleh nafsunya, sehingga – walau pun ia beragama dengan tekun – dirinya dikendalikan oleh nafsu kebinatangan, kebuasan dan kesyahwatannya.

Ada beberapa kualifikasi munculnya karakter seperti itu, yang muncul sebagai pemicunya:

Nafsu yang mencapai tingkat penyimpangan luar biasa dalam diri manusia, sehingga ia sulit mengendalikannya. Seringkali muncul di luar kesadaran dirinya, karena yang bersangkutan memang membiarkan faktor pemicunya hidup dan cenderung dinikmatinya. Ia merasa puas kalau membunuh, memperkosa, menyakiti orang lain, atau puas jika orang yang dibenci itu celaka. Apakah penyakit ini bisa disembuhkan? Bisa! Melalui terapi khusus sufistik yang bisa mengembalikan kesadaran fitrahnya secara utuh.
Jika nafsu seperti ini mengidap pada seorang pemimpin, ia akan sangat berbahaya bagi umat manusia, karena ia akan terus menghancurkan dan berperang dengan haus darah yang maniak. Perlawanan terhadap nafsu ini sebagai “Perang besar” yang paling berat.
Syetan. Unsur Syaithoniyah bisa menempel dalam diri manusia maupun Jin, yang berposisi diantara karakter, sifat dan nafsu itu sendiri. Syetan itu bukan nafsu, bukan sifat, bukan karakter, namun ia berada di segitiga kegelapan yang mendorong terus menerus untuk masuk ke wilayahnya sehingga manusia terhijab dari Allah swt. Syetan disebut sebagai musuh bersama para hamba Allah swt. Namun syetan memang tidak bisa memasuki radar kaum Mukhlashin (orang-orang yang dianugerahi keikhlasan dalam beribadah oleh Allah swt.) dan orang-orang yang benar-benar menjadi hamba Allah. Bukan hambanya nafsu, bukan hamba dunia, bukan hamba makhluk, bukan hamba khayalan, ego dan ambisinya. Syetan adalah tentara yang dikendalikan oleh Iblis. Ketika Iblis berzina dengan hawa nafsu di pasar duniawi, maka lahirlah ribuan bahkan milyaran syetan. Pendidikan “Ikhlas” akan menjadi terapi khusus dalam perlawanan syaithoniyah ini.

Ilmu-ilmu yang berkolaborasi dengan Jin-Syetan, sangat berpengaruh dalam kepribadian orang yang memegangnya. Karena itu dalam dunia sufi dilarang memakai khadam Jin walau pun Jin itu muslim. Sebab akan menimbulkan hijab antara dirinya dengan Allah swt. Karena pada saat yang sama ekspressi ubudiyahnya bukan demi Allah, tetapi demi pemanjaan nafsunya, apakah yang bersembunyi dibalik kekuatan-kekuatan dalam ayat suci maupun wirid-wirid khusus untuk mendapatkan kesaktian dan kedigdayaan. Sereligius apa pun seseorang, jika memiliki khadam Jin Muslim, tetap saja ada kesombongan, nafsu dan egoisme di dalam hatinya.
Tradisi bermaksiat, hobi dugem, memanjakan kesenangan, meremehkan perintah dan larangan agama, bisa membuat hati seseorang mengeras, lalu ia akan sulit ditembus oleh petunjuk, kebajikan maupun nasehat. Watak hatinya keras, lalu berubah jadi keras kepala yang ekstrim. Terapi taubat akan menjadi pembuka gerbang kesadarannya. Sebab jika dibiarkan, ia akan menjadi manusia yang rentan dengan keputus asaan, menjadi peragu, menjadi sangat lemah oleh pengaruh, dan peka terhadap pemicu nafsu.
Lingkungan keluarga konflik sejak dalam kandungan, bisa jadi pemicu tumbuhnya watak konflik dan kepribadian belah (ganda dalam diri). Karena itu agama menganjurkan berdoa, berwudlu, berdzikir ketika seseorang hendak melakukan hubugan suami isteri. Karena dari sanalah bahan baku regenerasi manusia tumbuh.

Sedangkan mengenai sifat anda yang pendiam, tentu harus dibedakan dengan orang yang berusaha untuk diam atau berdiam diri. Orang yang keras maupun orang yang lembut, sama sekali tidak ada hubungannya dengan derajat manusia di sisi Allah Ta’ala. Abu Bakar as-Shiddiq begitu lembut nan perkasa, namun Umar bin Khoththob sangat keras. Dua-duanya mulia disisi Allah Ta’ala. Orang yang banyak bicara maupun orang pendiam, akan dinilai oleh allah Ta’ala dari segi apakah bicaranya bermanfaat bagi diri dan orang lain, atau diamnya bermanfaat bagi diri dan orang lain.

Diam lebih baik dari pada bicara terhadap hal-hal yang tak berguna. Bicara lebih baik jika Allah swt, mendorongnya untuk bicara. Bicara karena allah, dan diam karena Allah swt.
Berkatalah karena dorongan Allah Ta’ala, bukan karena dorongan nafsu. Sebuah kebenaran yang disampaikan dengan dorongan nafsu, akan kehilangan barokah dan manfaatnya.

Jika anda bicara pada orang lain, anda merasa senang jika oranglain bisa meng”iya”kan kata-kata anda, maka pertanda anda didorong oleh nafsu anda. Namun jika anda bicara, dan anda senang karena Allah meng”Iya”kan hati anda, itu pertanda anda terhindar oleh dorongan nafsu.

Next Post

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Top Stories

ADVERTISEMENT

Login to your account below

Fill the forms bellow to register

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.