Ma’rifatullah yang Benar (2)
Syekh Ahmad Ar-Rifa’y
Yahya bin Mu’adz ra. berkata, “Ma’rifat itu adalah:
• Kedekatan qalbu pada Yang Maha Dekat.
• Untaian Ruh pada Sang Kekasih, dan
• Menyendiri dari segalanya bersama Sang Diraja Yang
Mengijabah.
Dzun Nuun ra. berkata, Ma’rifat adalah:
• Pensunyian rahasia batin dari segala hasrat,
• Meninggalkan adab kebisaaan,
• Penentraman qalbu kepada Allah Ta’ala tanpa bergantung
selainNya. Sebagian Sufi mengatakan, “Perilaku ma’rifat
itu gila, rupanya tolol, maknanya membingungkan.”
Sang ‘arif disibukkan dengan ilmunya Allah Ta’ala jauh
dari segala sebab akibat. Bila para makhluk melihatnya,
mereka malah membodoh-bodohkan. Ia selamanya berada di
medan keagungan, tolol diantara para makhluk. Bahkan jika
mereka memandangnya, mereka pun menganggapnya gila.
Karena totalitas dirinya fana karena cintanya pada keagungan
Allah Ta’ala, sibuk, jauh dari segala selain Dia. Bila makhluk
memandangnya, mereka akan mengusirnya.
Tak seorang pun bisa mengungkapkan tentang ma’rifat Billah
Ta’ala. Karena ma’rifat itu datang dariNya, begitu jelas, dan
kepadaNya kembali.
Sang ‘arif jika berada dalam pandangan Allah Ta’ala, senantiasa
abadi di hamparan Ilahi tanpa diri dan tanpa sebab.
Dia telah mati, namun hidup, Ia hidup namun mati, Ia terhijab
namun tersingkapkan, Ia tersingkapkan namun terhijab. Anda
melihatnya dalam kelinglungan di pintu perintahNya, lunglai di
medan kebajikanNya, dan senantiasa meraih petunjuk di bawah
keindahan tiraiNya, fana di bawah kuasa hikmahNya, dan abadi
di atas hamparan kasih kelembutanNya.
Orang-orang ‘arif jiwanya fana di bawah keabadianNya dan
KuasaNya dari segala daya dan upaya. Anda melihat mereka
itu senantiasa abadi dalam DayaNya dan KekuatanNya, dan
mereka terhanguskan dari eksistensi dan ikhtiar mereka di
bawah kebesaran UluhiyahNya. Mereka hanya mengikuti Sang
Diraja bukan kekuasan mereka. Rasa butuhnya mereka hanya
padaNya, rasa cukup mereka hanya padaNya, kemuliaan mereka
hanya bersamaNya, rasa hina mereka hanya bagiNya.
Ma’rifat yang benar
Diriwayatkan bahwa Nabi Dawud as. diberi wahyu Allah
Ta’ala, “Hai Dawud! Kenalilah Aku, dan kenalilah dirimu!” Lalu
Dawud as. bertafakur, hingga berkata, “Oh Tuhanku, aku telah
mengenalMu, melalui Maha TunggalMu, Maha Kuasa, Maha
Baqa’Mu, dan aku mengenal diriku dengan segala kelemahan
dan fana-ku.” Allah Ta’ala berfirman: “Sekarang engkau telah
ma’rifat kepadaKu.”
Dalam hadits disebutkan, “Bila kalian mengenal Allah dengan
ma’rifat yang benar, niscaya engkau akan diberi pengetahuan
yang membuat dirimu tidak pernah bodoh selamanya, dan bukitbukit pun senantiasa mengamini doa-doamu.”
Hanya saja tak seorang pun mampu sampai pada pangkal
final ma’rifatnya, karena Allah Ta’ala Maha Agung dari sekadar
sebagai final proyeksi ma’rifat seseorang.
Imam Ja’far ash-Shodiq ra. berkata, “Seseorang tidak meraih
ma’rifat yang hakiki sepanjang ia masih memandang selain Dia.”
“Ma’rifat itu adalah terbangnya qalbu ke kemah-kemah
kemesraan dan cinta. Hentakan perjalanan menembus hijab
Keagungan dan QudratNya.”
Inilah perilaku orang yang kedua telinganya tuli dari segala
kebatilan, dan kedua matanya buta dari memandang segala
syahwat kesenangan, dan lisannya bisu dari berucap segala yang
kotor.
(Dari Buku Menjelang Ma’rifat, karya Syekh Ahmad Ar-Rifa’y, diterbit Cahaya Sufi Jakarta, ditranslate oleh KHM Luqman Hakim)