Trending pemberitaan hari-hari ini masih soal pemerkosaan anak, kasus racun sianida, dan pergumulan politik di tubuh Partai Golkar dan PPP. Semuanya berhubungan dengan syahwat, emosi dan hasrat-hasrat.
Ibnu Athaillah as-Sakandary pernah menegaskan, bahwa fenomena lahiriyah sesungguhnya akibat dari pancaran bathiniyah. Bila yang terjadi dalam kehidupan social kita, adalah muara-muara buih yang memuakkan kehidupan berbangsa ini, sesungguhnya itulah fakta batin kita. Fakta kotorang yang sedang menyembul di permukaan.
Pendidikan akhlak begitu gampang kita serahkan pada institusi, pada lingkungan dan situasi-situasi jahat yang terabaikan oleh para elit, para penguasa, dan para pejabat yang berwenang di wilayah masing-masing. Kalau mereka harus berteriak, adalah paska kejadian, seperti orang yang sedang berjalan di trotoar, namun alamj fikirannya melayang, baru sadar ketika saling bertubrukan satu sama lain.
Di wilayah buih yang berbau busuk itu, tidak ada yang berani menyentuhnya, karena mereka akan terciprat najis criminal dan hujatan. Keprihatinan yang muncul malah dijadikan komodita politiik dagang sapi, sampai pada tahap rekayasa yang busuk untuk kekuasaan.
Sebagai fakta, para Sufi harus tetap bersabar dan ridho, tetapi secara idea, para Sufi akan tetap berjuang membersihkan buih-buih kejahatan itu dari dalam diri manusia. Karena Perjuangan Akbar bukan pada perjuangan menang dan kalah dalam kekuasaan, apalagi berlomba senjata, atau buar-buar semburat padang pasir di Timur Tengah yang berbau anyir darah dan bom pertempuran.
Perjuangan Besar adalah membersihkan diri sendiri dengan perlawanan tegas pada nafsu-nafsu kita. Nafsu kita kita biarkan terlalu lama menjadi musuh yang semakin kuat, tanpa ada akademi pendidikan nafsu, tanpa ada kurikulum pembersihan jiwa, tanpa silabus penyucian qalbu.
Padahal itulah akar dari Pohon Keimanan kita, jika akar telah membusuk, pohon dan ranting segera berguguran. Peradaban kita luluh lantah, dan hanya disesaki oleh desas desus dan kejahatan.
Bangsa kita, apalagi para pemimpin kita, sudah lama tidak punya ruang tafakkur, waktu untu merenung, apalagi melawan dirinya sendiri. Kenestapaan yang menumpuk dalam sampah peradaban kita, berujung dari sana. Masya Allah.
KHM Luqman Hakim