Ahmad Shodiq, MA-Dosen Akhlak & Tasawuf, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ivan Illich dalam buku monumentalnya, Deschooling Society, mensyaratkan penghapusan sistem
sekolah, demi terbebasnya potensi kreatif manusia. Dalam potensi itu, manusia bisa mengalami pencerahan, yang sejak terbangunnya pendidikan formal, telah terbrangus, menjadi robot yang cetakan mesin pendidikan.
Ya, sebuah warna kontras, antara fungsi pendidikan sebagai penemuan kembali fitrah manusia, dengan formalisme sistem yang membuat manusia semakin jauh dari hakikat diri. Apakah seradikal itu? Ya, dan ini soal lain. Yakni soal bagaimana proses menjadi manusia yang fitri itu terhambat. Macet. Terkhusus sistem pendidikan akhlak kita. Sebuah pendidikan nan sumir, karena akhlak begitu abstrak, eufimis, dan sering hipokrit. Bicara akhlak adalah bicara moral, yang setiap kita melongok ke ruang kuasa, baik pemerintah, sekolah, bahkan agama, seakan menjadi jual-bualan yang membuat kita pesimis, apakah sebegitu parah akhlak masyarakat kita?
Lalu kitapun menengok ke pesantren, tentu sebelum sistem sekolah itu mengotakkanya dalam silabus formal, yang mengikis mozaik tradisi keilmuan Islam. Adalah fiqh-sufistik, sebuah korpus keilmuan yang menyatukan antara ketaatan terhadap hukum Islam, dengan pendalaman batiniah tasawuf. Ia bahkan sejak gelombang kedua Islamisasi awal abad ke-19, telah membentuk corak budaya dari warga muslim kita. Di pesantren, pendidikan akhlak diajarkan bukan hanya level teoritis, tetapi praktis, sehari-hari, membentuk sub-kultur yang berbeda dengan hedonisme masyarakat luar pesantren. Ia terlembaga, tidak dalam kurikulum formal, tetapi dalam tradisi wirid, keberanian mengutamakan motivasi keilahian diatas tarikan ego, menjadikan standar minimalis bagi materi, dan maksimalis bagi spiritualitas. Dan setelah itu, tidak perlu nilai : C, untuk mata pelajaran akhlak.
Dalam kaitan ini, Ahmad Shodiq, dosen akhlak dan tasawuf di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, akan menceritakan kisah sedih pendidikan akhlak dalam sistem pendidikan kita. Ia merupakan dilema, antara jauhnya standar akhlak menurut kualitas hidup sufi, dengan angkuh sistem pendidikan. Dilema sistemik ini dipersedih oleh fakta bahwa para gurupun ternyata jauh dari standar akhlak, dalam sebuah ruang kelas, dimana para murid hanya mencari coretan nilai, atau sebatas titik absensi. Apakah begitu parah wajah sistem pendidikan akhlak kita, dan masihkah ada kesempatan memperbaikinya? Berikut wawancara Cahaya Sufi dengan dosen yang akhirnya membuat pengajian rutin di rumah, dengan para mahasiswanya.
Bagaimana penerimaan tasawuf di ruang pendidikan kita, pak?
Ada kecenderungan beberapa mahasiswa yang anti tasawuf. Kemungkinan karena ada unsur ideologi Wahabi atau salafi yang anti tasawuf. Itu karena tasawuf memang tidak langsung bisa dijelaskan, apalagi pada masa-masa awal kita menjelaskan, pasti ada yang menyangsikan.
Apakah ia merupakan realitas yang bisa dipahami?
Itu kan yang sering dipertanyakan. Anak-anak yang kritis kadang mengambil posisi kontra dulu. Tapi setelah pertemuan tiga sampai empat kali, kecenderungannya menjadi mereda, kemudian akomodatif, dan cenderung memahami.
Menyikapi keadaan ini?
Saya lebih menggunakan pendekatan persuasif, lebih mencari cara yang rasional. Karena menurut saya, perubahan akhlak itu tidak mungkin terjadi tanpa melalui rasionalisasi. Kecuali kalau kita menggunakan metodologi robbani, intuitif. Kalau itu kerjanya para masyayikh, mursyid, dan orang yang belum mencapai walayah (kewalian) saya kira kalau kita tidak akan mampu seperti itu.
Kalau dalam dunia akademis, maka harus melalui rasionalisasi. Karena sesungguhnya, jika ada perilaku salah, itu pasti karena konstruk batin yang salah. Karena menurut Imam al-Ghazali, akhlak itu gambaran keadaan batin (‘ibaaratun an al-hayatin nafsih) yang sudah tertanam mendalam (raasikhun) dimana semua perilaku menyandar pada keadaan yang mendalam itu (tashduuru fiihal af’al) yang kemunculannya secara gampang (bisuhuulatin wa yusrin). Karena sadah mengalami internalisasi yang lama, sehingga perilaku itu menjadi kebiasaan yang tidak disadari lagi, maka ia muncul sebagai bentuk perilaku negatif atau positif. Ketika ada perilaku negatif, persoalannya bukan memarahi, tetapi lebih kita pahami, bahwa ini adalah tampilan dari kondisi dalam yang harus dibenahi secara intens. Oleh karena itu keadaan batin ini nggak akan berubah selama sikap batin orang tidak berubah. Dari sini, perubahan harus dimulai dari sisi wacana, selayak Imam al-Ghazali yang selalu taqdiimul ‘ilmi.
Maksudnya perubahan wacana?
Ya dalam arti, berbagai konsep tentang kebaikan dan keburukan menurut murid harus di dekonstruksi dulu. Nah dekonstruksi ini tidak perlu mencaci-maki, tetapi lebih mendudukkan persoalan baik-buruk secara proporsional menurut dasar agama. Ketika itu dijelaskan, dia bisa mengerti, apa sebenarnya kebaikan dan alasan mengapa orang berbuat baik. Kenapa orang harus tunduk pada aturan Allah, dan kenapa orang harus mengikutinya.