Sudah cukup populer di kalangan orang, bahwa Abu Yazid al-Bisthami pernah mengungkapkan kata-kata syathahiyat sebagaimana berikut. Namun kami tidak tahu, apakah hal itu memang benar dari Abu Yazid atau tidak?
Dikisahkan, bahwa Abu Yazid pernah mengisahkan: Suatu ketika Dia (Allah) mengangkatku, kemudian Dia memberhentikan aku di depan-Nya. Lalu Dia berkata padaku, “Wahai Abu Yazid sesungguhnya makhluk-Ku ingin sekali melihatmu!’.”
Maka aku katakan, “Hiasilah aku dengan Wahdaniyyah (kemahaesaan)-Mu, kenakan padaku pakaian Ananiyyah (keegoan)Mu dan angkatlah aku menuju pada Ahadiyyah (keesaan)-Mu, sehingga apabila makhluk-Mu melihatku mereka akan mengatakan, ‘Kami telah melihatmu!’ sehingga Engkau adalah Engkau yang itu, dan aku bukanlah aku yang di sini!”
Jika ucapan ini benar dari Abu Yazid, maka al-Junaid —rahimahullah— telah mengatakan dalam kitab yang menafsirkan ucapan AbuYazid —rahimahullah— dimana ia mengatakan: Ini adalah ucapan orang yang tidak dikenakan pakaian hakikat-hakikat wajd tafrid (penauhidan) dalam kesempurnaan tauhid yang benar. Maka ia merasa cukup dengan apa yang sudah dikenakan padanya dan tidak perlu pada apa yang dimintanya.
Permintaan Abu Yazid hanyalah menunjukkan, bahwa ia sangat dekat dengan apa yang ada di sana. Sedangkan orang yang dekat dengan sebuah tempat bukanlah ia kenyataan yang ada di tempat itu dan berdiam di dalamnya.
Sedangkan ucapannya, “Kenakan aku pakaian, hiasilah aku dan angkatlah aku.” maka hal itu menunjukkan pada apa yang telah ia temukan sesuai dengan ukuran dan posisinya.
Inilah apa yang ditafsirkan al-Junaid —rahimahullah— dimana ia telah menjelaskan tentang sifat kondisi spiritual Abu Yazid sesuai dengan apa yang ia katakan. Al-Junaid juga menjelaskan posisi spiritual Abu Yazid sesuai dengan apa yang ia isyaratkan.
Adapun apa yang ditemukan oleh mereka yang suka mencari kesalahan orang lain kemudian menghujat dan menyerang orang yang mengatakan sebagaimana yang diucapan Abu Yazid maka al-Junaid tidak menjelaskannya.
Berikut akan kami ungkapkan makna-makna ucapan itu sebagai jawabannya.
Ucapan Abu Yazid, “Suatu ketika Dia mengangkatku, kemudian Dia berhentikan aku di depan-Nya.” Maksudnya Dia jadikan aku ber-musyahadah dan menjadikan hatiku hadir di sisi-Nya. Sebab semua makhluk berada di sisi Allah, tak ada satu hembusan nafas pun dan lintasan pikiran yang hilang tanpa sepengetahuan Allah. Akan tetapi mereka berbeda-beda dan memiliki kelebihan sendiri-sendiri dalam kehadiran hati dan musyahadah mereka. Mereka berbeda dalam sifat-sifatnya sesuai dengan kotoran yang menyebabkan mereka terhalang untuk sampai ke sana karena adanya berbagai kesibukan yang menghambat dan pikiran-pikiran yang menghalanginya.
Diriwayatkan dan Nabi Saw., bahwa setiap kali beliau mau masuk shalat beliau mengatakan, “Aku berhenti di depan Sang Maharaja Yang Maha adikuasa.”
Adapun ucapannya, “Dia berkata padaku, dan aku katakan pada-Nya.” itu memberi isyarat pada munajat rahasia-rahasia hati dan kejernihan dzikir ketika hati sedang ber-musyahadah dan muraqabah kepada Sang Maharaja Yang Mahaadikuasa di sepanjang waktunya, malam dan siang hari.
Maka selanjutnya Anda kiaskan sendiri dengan apa yang telah kami jelaskan ini. Sebab semuanya antara yang satu dengan yang lain akan memiliki kesamaan.
Dan perlu Anda ketahui, bahwa seorang hamba yang yakin akan kedekatan Tuannya, sementara hatinya selalu hadir dan senantiasa memantau apa yang terbersit dalam pikirannya, maka segala sesuatu yang terbersit dalam hatinya seakan-akan al-Haq sedang berbicara dengannya. Demikian pula segala yang terlintas dalam rahasia hatinya, maka seakan-akan ia sedang berbicara dengan Allah Swt. Sebab segala yang terbersit dalam hati, gerakan-gerakan rahasia hati dan segala yang pernah terlintas di hati adalah bersumber dari Allah dan akan kembali pada Allah.
Inilah makna yang bisa kami kemukakan. Dan hanya Allah Yang Mahatahu.
Sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair:
Harapannya menjelma sehingga ia menjadi temanku
aku merasakan kenikmatan karena kehilangan nikmat
Ia menjelma sehingga seakan-akan aku memanggilnya
dengan rahasia hati yang tersembunyi
Ada pula yang mengatakan: Dia berkata saat aku menginginkannya semua itu aku telah tahu Andaikan ia menangis dengan darah sepanjang hidupnya aku tak akan mengasihinya
Ini semua menunjukkan pada munajat hati yang paling dalam. Dan ini banyak kita jumpai dalam syair dan lain-lain.
Adapun ucapan Abu Yazid, “Hiasilah aku dengan Walidaniyyah-Mu, kenakan aku pakaian Ananiyyah-Mu dan angkatlah aku pada Ahadiyyah-Mu.” menunjukkan suatu kelebihan dari perpindahan dan kondisi spiritual yang satu ke yang lain dan terus-menerus sampai ke puncak kondisi spiritual kaum mutahaqqiqun dengan menauhidkan secara tajrid dari kaum mutafarridin yang menauhidkan dengan hakikat tafrid.
Sebagaimana disebutkan dalam sebuah Hadis Rasulullah:
“Para mufarridun berada di barisan terdepan.” Kemudian Rasulullah ditanya, “Siapakah para mufarridun itu wahai Rasulullah?” Rasulullah Saw. menjawab, “Mereka adalah orang yang memuji Allah, baik dalam suka maupun duka.” (H.r. at-Tirmidzi, al-Hakim, dari Abu Hurairah, dan ath-Thabrani dari Abu Darda’).
Adapun ucapan Abu Yazid, “Kenakan padaku pakaian Ananiyyah-Mu dan angkatlah aku menuju pada Ahadiyyah-Mu, sehingga apabila makhluk-Mu melihatku mereka akan mengatakan, ‘Kami telah melihatmu!’ sehingga Engkau adalah Engkau yang itu, dan aku bukanlah aku yang di sini!” Maka ucapan seperti ini dan yang sejenis menunjukkan kefana’annya, dan fana’nya karena kefana’annya, serta adanya penguasaan al-Haq pada dirinya dengan Wahdaniyyah, dimana tidak ada makhluk dari alam sebelum itu.
Semua yang kami sebutkan itu adalah disarikan dan firman Allah Swt. dalam Hadis Qudsi:
“Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sampai Aku mencintainya. Dan ketika Aku telah mencintainya maka Aku akan menjadi mata yang ia gunakan untuk melihat, telinga yang ia gunakan untuk mendengar, lidah yang ia gunakan untuk berbicara dan tangan yang ia gunakan untuk memegang.”
Bahkan ada seseorang pada saat mencapai puncak cintanya kepada makhluk ia mengatakan demikian:
Aku adalah orang yang jatuh cinta,
dan orang yang jatuh cinta adalah aku
jika engkau melihatku maka engkau kami
Kami adalah dua ruh dalam satu jasad
dimana Allah mengenakan pada kami suatu badan
Jika makhluk saja bisa cinta sampai wajd dengan yang dicintainya sampai ia bisa mengatakan demikian, maka bagaimana menurut Anda dengan semua yang ada di balik itu. Kami pernah mendengar orang bijak yang pernah berkata, “Dua orang yang saling bercinta tak akan bisa mencapai hakikat cinta sehingga salah satu di antara mereka mengatakan kepada yang lain, ‘Wahai aku’.”
Bila kami memaksakan diri untuk menjelaskan hal ini maka akan sangat panjang. Sementara apa yang kami sebutkan sudah bisa dianggap cukup. Semoga Allah memberi taufik pada kita.
Penafsiran Kisah Dari Abu Yazid
Syekh Abu Nashr as-Sarraj —rahimahullah— berkata: Juga dikisahkan dan Abu Yazid bahwa ia pernah berkata: Pertama kali aku bisa sampai pada Wahdaniyyah-Nya aku menjadi burung yang tubuhnya dari al-Ahadiyyah dan kedua sayapnya dari ad-Daimumah (Keabadian). Aku terus terbang melayang di udara al-Kajfiyyah (sifat) selama sepuluh tahun, dan aku terus terbang di udara yang sama sebanyak sejuta kali. Aku terus saja terbang melayang hingga akhirnya aku berada di lapangan al-Azaliyyah lalu aku melihat pohon al-Ahadiyyah.
Kemudian ia menerangkan sifat tanah, akar, ranting dan buahnya. Dan pada akhirnya ia mengatakan: Lalu aku melihat, akhirnya aku tahu bahwa semua itu hanyalah tipu daya semata.
Al-Junaid —rahimahullah— berkata: Adapun ucapan Abu Yazid, “Pertama kali aku bisa sampai pada Wahdaniyyah-Nya.” maka itu adalah awal ia memperhatikan tauhid. Ia telah memberikan penjelasan tentang sifat apa yang ia perhatikan. Ia juga menerangkan puncak pendakian spiritual ketika ia telah sampai di sana dan suatu tempat yang sangat kokoh.
Ini semua adalah jalan orang-orang yang diminta bisa mencapai hakikat ilmu tauhid dengan bukti-bukti maknanya, diperhatikan hakikatnya, diberikan kepada orang yang memang ahlinya. Mereka diutus sesuai dengan apa yang mereka perhatikan.
Dan tidaklah demikian jika tujuan dan hakikatnya telah menjadi kuat oleh orang yang diharapkan. Dan tidak pula akan tenggelam dalam jalanan yang akan ditempuhnya. Namun hal tersebut akan menjadi saksi keabadian dan merupakan pelestarian apa yang dia dapatkan dari-Nya.
Al-Junaid —rahimahullah— mengatakan: Adapun ucapan Abu Yazid yang menyatakan bahwa ia melakukan itu sebanyak sejuta kali, maka hal itu tak berarti apa-apa. Sebab sifat sebenarnya adalah lebih besar dan lebih agung dan apa yang ia katakan dan ia terangkan. Ia memberikan gambaran sifat tentang hal itu hanya sebatas kemampuannya. Kemudian ia menjelaskan sifat apa yang ada di sana, namun hal itu bukanlah hakikat yang ia maksud dan bukan pula puncak yang sebenarnya. Dan itu hanyalah sebagian dari jalan menuju Tuhan.
Inilah penafsiran al-Junaid yang bisa dijadikan bekal dan kami anggap cukup bagi orang yang bisa memahaminya. Semoga Allah memberi kita jalan kebenaran.
Syekh Abu Nashr as-Sarraj —rahimahullah— berkata: Al Junaid telah membicarakan tentang kondisi spiritual Abu Yazid —rahimahullah— dimana ia telah mengungkapkan syathahat dan dengan syathahat itu ia berbicara tentang wajd-nya. Hanya saja al-Junaid tidak menyinggung ungkapan-ungkapan Abu Yazid yang menjadikan orang yang suka mencari kesalahan orang lain akan melecehkannya, dimana ia pernah mengatakan, “Aku telah menjadi burung, dan aku senantiasa terbang.” Kata-kata ini akan menimbulkan pertanyaan bagi orang yang mendengarnya, “Bagaimana seseorang bisa menjadi burung, kemudian ia terbang melayang di awan?”
Artinya, apa yang ia isyaratkan itu menunjukkan tingginya cita-cita dan keinginan sehingga hatinya terbang. Ungkapan seperti itu bisa kita temukan dalam ungkapan Bahasa Arab, misalnya ada orang berkata:
“Hampir saja aku terbang karena sangat gembira, hatiku telah terbang dan hampir saja akalku ikut melayang.”
Yahya bin Mu’adz —rahimahullah— berkata: “Orang yang zuhud itu adalah penjelajah (ruhani), dan orang yang arif itu ‘penerbang’.” Dengan ungkapan itu ia bermaksud. bahwa orang yang arif dalam tujuan dan mencari apa yang ia inginkan (Allah) jauh lebih cepat daripada orang yang zuhud. Dan ungkapan seperti ini tidak salah dan itu diperkenankan.
Allah Swt. berfirman:‘Dan tiap-tiap manusia telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) dalam lehernya.” (Q.s. al-Isra’: 13).
Diriwayatkan dan Said bin Jubair yang mengatakan tentang makna tafsir ayat tersebut, “Itu kita samakan dengan ketentuan celaka dan bahagia yang telah ditetapkan sebelumnya.”
Seorang penyair berkata:
Banyak hari perpisahan yang mengucurkan
air mata perpisahan seakan-akan hujan di musim hujan
Andai kau melihatku saat mereka berangkat
jasadku berdiri namun hatiku melayang
Adapun ucapan Abu Yazid yang menyatakan, bahwa kedua sayapnya dan jasadnya ia nisbatkan pada al-Ahadiyyah dan ad-Daimumah. Maka ia bermaksud untuk membersihkannya dari usaha dan kekuatan untuk terbang saat bermaksud mencari apa yang ia inginkan. Ia menyandarkan perbuatan dan geraknya pada Dzat yang Mahatunggal dan Abadi, dengan ungkapan kata-kata yang dianggap asing oleh yang mendengarnya.
Kata-kata seperti itu terdapat pada ucapan orang-orang yang wajd dan mencapai puncak ekstasi ruhani, ketika rahasia hati nuraninya didominasi oleh mengingat Dzat yang dicintainya. Seluruh kondisi spiritualnya akan menerangkan sifat-sifat Dzat yang dicintainya. Sebagaimana yang dilakukan Majnun bani Amir ketika melihat binatang liar ia mengatakan, “Laila!” dan ketika melihat gunung ia berkata. “Laila!” dan ketika melihat manusia, ia juga berkata, “Laila!” Sampai-sampai kalau ditanya, “Siapa namamu dan bagaimana kondisimu?” Ia pun menjawab, “Laila!”
Dalam hal ini ia bersenandung:
Ketika kulewati rumah Laila
kuciumi dinding itu dan kuciumi dinding itu
Bukan rumah itu memabukkanku
akan tetapi penghuninya yang memabukkanku
Yang lain berkata:
Aku periksa batin kecilku dari rindumu
yang kudapat adalah aku dan kamu
Jika didapat diriku, dalam puncak cintaku
jika itu diibaratkan maka itulah aku
Ungkapan-ungkapan seperti ini cukup banyak dan dianggap baik bagi orang-orang yang mengatakannya dalam memberi sifat cintanya kepada makhluk dari kesenangan yang batil. Sedangkan isyarat yang dimaksud dalam hal ini cukup sebagai ibarat Aplikasi Capsa Susun online. Dan semoga Allah memberi taufik kepada kita.
Adapun makna ucapan Abu Yazid, “Aku melakukannya selama sepuluh tahun dan sejuta kali, di lapangan al-Azaliyyalz dan angkasa al-Kafiyyah.” maka itu sebagaimana yang telah dikemukakan oleh al-Junaid, bahwa itu adalah menerangkan sebagian jalan menuju Allah. Sementara apa yang dikemukakan oleh al-Junaid telah cukup bagi kita dan kami tidak perlu mengulanginya.
Adapun ucapan Abu Yazid, “Kemudian aku melihat, lalu aku tahu, bahwa semua itu hanyalah tipu daya belaka.” maka itu artinya —dan hanya Allah Yang Mahatahu— bahwa melihat dan disibukkan dengan memperhatikan alam dan apa yang ada di dunia adalah tipuan belaka saat adanya hakikat tafrid dan tajrid dalam bertauhid.
Oleh karenanya al-Junaid —rahimahullah— mengatakan, “Andaikan Abu Yazid —rahimahullah— dengan segala keagungan isyaratnya mau keluar dari tingkat pemula dan menengah! dan aku tidak mendengar ungkapan yang mengisyaratkan pada puncak pendakian spiritual! Yakni saat ia menyebutkan tubuh, sayap, angkasa dan medan.”
Sedangkan ucapannya yang mengemukakan, “Akhirnya aku tahu, bahwa semua itu tipu daya belaka.” ialah karena menoleh pada selain Allah bagi mereka yang sampai pada puncak pendakian ruhani adalah tipu daya.
Maka barangsiapa mengingkarinya. maka hendaknya ia tahu, bahwa Rasulullah pernah mengatakan, “Ucapan yang paling benar yang pernah diucapkan bangsa Arab adalah ucapan Labid: “Segala sesuatu selain Allah itu adalah batil dan setiap nikinat akan pula berakhir.”