Perlu Anda ketahui, bahwa datangnya ampunan yang disertai penghancuran amal dan akhlak itu seperti adanya gudang harta yang binasa. Bahkan lebih dan itu Allah swt. telah mengingatkan:kuasai hanya seratus tahun. Apakah waktu tersebut bisa menandingi waktu yang tiada berakhir, yakni akhirat? Kalau Anda sulit membayangkan panjangnya waktu.
“Sungguh tiada (amal) bagi manusia kecuali dengan apa yang diusahakan.” (Q.s. An-Najm: 39).
Allah swt. berfirman:
“Apakah Kami jadikan
orang-orang yang beriman dan beramal saleh seperti orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi?” (Q.s. Shaad: 28).
Allah juga menganjurkan untuk menjauhi ambisi meraih harta:
“Dan tidak ada yang melata di muka bumi melainkan Allahlah yang memberi rezeki.”
(Q.s. Hud: 6).
Bagaimana, Anda mendustai terhadap kemuliaannya di dunia, kemudian Anda menipu diri sendiri dengan kehormatan di akhirat, sedang Anda tahu bahwa Tuhannya dunia dan akhirat tetap satu?
Jika Anda masih bertanya, “Risiko duniawi bisa terlihat dengan mata kepala dan aku bisa meyakini. Sedang persoalan akhirat, aku belum pernah menyaksikan, dan aku tidak bisa meyakini secara penuh
risiko-risikonya.”
Saya katakan, “Bila Anda termasuk orang yang diberi matahati, pasti segala perkara akhirat terbuka secara gamblang, seperti Anda melihat perkara duniawi.” Kalau Anda bukan ahli matahati (bashair), Anda bisa merenungkan ucapan-ucapan mereka.
Dalam soal akhirat, manusia terbagi empat kelompok: Kelompok pertama, adalah kalangan yang membuktikan adanya surga dan neraka sebagaimana dalam Al-Qur’an. Ragam nikmat surga dan siksa neraka didengar secara nyata.
Kelompok kedua, tidak membuktikan kenikmatan dan sengsaranya secara inderawi, namun membuktikan lewat imajinasi, seperti dalam mimpi. Bahkan masing-masing pernah merasa masuk surga atau melihat neraka secara pribadi, dan mereka menduga pengaruh mimpi atau imajinasi tersebut sama dengan pengaruh dalam kenyataan. Karena rasa pedih dalam mimpi sama dengan rasa pedih ketika terjaga. Bahwa segalanya tampak jernih, semata untuk mengingatkan kelak di akhirat situasinya abadi, dan tidak pernah terputus.
Kelompok ketiga, menetapkan nikmat dan kepedihan secara akali. Mereka memiliki persepsi, yang lebih dari sekadar empirik inderawi.
Mereka menggambarkan perasaan nikmatnya raja, dan pedihnya ketika kalah oleh musuh. Hilangnya kekuasaan raja di tangan musuh, pedihnya bukan bersifat fisik, tetapi bersifat moral, karena kehinaan di hadapan musuh. Padahal lawan tidak mencederai fisiknya.
Mereka adalah tiga kelompok teladan. Mereka itu kelompok para Nabi, wali dan ahli hikmah. Mereka menetapkan adanya kenikmatan dan kesengsaraan abadi. Bahwa kebahagiaan itu tidak bisa diraih kecuali dengan meninggalkan dunia dan menghadap Allah swt. sepenuhnya. Kalau Anda sakit, sementara Anda bukan ahli bashirah, kemudian Anda bertumpu pada dokter, Anda melihat kebaikankebaikan para dokter yang telah sepakat terhadap suatu hal yang tidak relevan bagi pasien-pasiennya.
Kelompok keempat, tergolong mereka yang tidak melihat persoalan-persoalan Ilahi. Bahkan diantaranya, ada kalangan dokter dan astrolog yang terpaku pada pandangan fisika yang terdiri dan empat unsur (tanah, api, udara, air, pent.) dan senyawanya. Mereka memandang bahwa ruh itu bertumpu pada empat unsur tersebut. Mereka tidak jeli melihat esensi ruh Ilahi yang hakiki, yang mengenal Allah swt. Mereka tidak mengenal ruh, kecuali ruh fisik belaka, yang tidak lebih dan sekadar arus energi hati yang mengalir ke sendi-sendi tulang dan otot ke seluruh badan, yang menyebabkan adanya rasa dan gerak. Yaitu ruh yang juga terdapat pada binatang.
Sedangkan ruh insani yang spesifik yang dikaitkan kepada Allah swt. sebagaimana firman-Nya, “Dan Aku hembuskan dan ruh-Ku di dalamnya,” (Q.s. Al-Hijr: 29; Shad: 72), sama sekali tidak dipandang oleh mereka. Mereka menduga, bahwa kematian itu tiada. Yang terjadi hanya kerusakan senyawa evolutif.
Anda punya hak pada kelompok ini dalam dua hal: Anda menegaskan kesalahannya, atau Anda mengetahui secara pasti akan kebenarannya. Jika Anda tahu kesalahannya, Anda harus berpaling dan duniawi sepenuhnya. Kalau Anda orang yang benar-benar lapar dan ingin makan, akan muncul peringatan dan anak kecil, bahwa dalam makanan Anda ada racunnya, dan ada ular yang menjilati makanan tersebut, pasti Anda akan menolak dan meninggalkan makanan. Contoh seperti ini tidak bisa diganggu-gugat lagi.
Menurut perasaan saya, dengan adanya keabadian siksa neraka, akal tidak akan berani merobohkan pandangan demikian. Bagaimana bisa? Akal tidak bisa seperti keyakinan sempurna dalam rnenghindari neraka. Sampai seorang penyair mengingatkan, akan keruwetan akalnya:
Dokter dan ahli nujum menduga
Kelak kematian tidak dibangkitkan
Kukatakan pada kalian berdua:
Bila ucapan kalian yang benar
Kalian bukan merugi
Namun bila ucapanku yang benar
Pasti kerugian bagi kalian.
]Jika Anda masih berkata, ‘Aku mengerti kebenaran mereka, bahwa mati itu tidak ada. Siksa dan pahala juga tidak ada. Sedang para Nabi dan wali itu tertipu semuanya. Yang benar adalah si dokter bodoh ini, dan Anda berpraduga, ‘Bila aku lebih tahu semua itu, seperti pengetahuanku, bahwa dua itu lebih banyak dibanding satu, sehingga tidak ada keraguan lagi bagiku’.” Maka, ungkapan Anda ini menunjukkan punahnya senyawa dan ruwetnya akal pikiran disamping jauh dan terapi yang bisa diterima. Tetapi, dengan logika seperti itu, bisa dikatakan kepadaAnda, “Apabila Anda mencari ketentraman di dunia, akal Anda pun didorong untuk memerangi nafsu dan syahwat. Sebab, ketentraman itu hanya ada pada kebebasan. Dan kebebasan sejati akan terwujud dalam memerangi syahwat, bukan mengikutinya. Sebab apabila syahwat berkata kepada diri sendiri, merupakan penyakit yang membebani jiwa berupa kehinaan dan kesengsaraan.
Tiada orang yang dapat istirahat dan tenang di dunia ini kecuali harus meninggalkan duniawi, dan berzuhud di dalamnya. Sementara pencari dunia akan terus dibelenggu oleh kehampaan. Orang yang melepaskan diri dengan meninggalkan duniawi, semata karena di dalamnya penuh dengan kehampaan, dan kesirnaan yang begitu cepat, serta keburukan para penghuninya.
Bila Anda tidak meresapi akhirat, tidak pula menyaksikan bencana dunia secara pasti, Anda tergolong sombong yang tertipu. Pasti Anda akan mendapat peringatan, perihal situasi tersebut. Allah swt berfirman:
”Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka).” (Q.s. Al-Hijr: 3).