Sedangkan potensi amarah, upaya menegakkannya adalah mendukung ketegasan disiplin hikmah dan syariat. Demikian juga dalam potensi syahwat.Sementara potensi keadilan berada pada batasan potensi amarah. Potensi syahwat berada di bawah isyarat agama dan akal. Akal berfungsi sebagai penasihat, sedang keadilan potensinya pada sifat kuasa. Fungsinya sebagai instrumen isyarat akal. Amarah dan syahwat,
masing-masing berfungsi melaksanakan isyarat tersebut. Keduanya ibarat anjing dan kuda di mata seorang pemburu. Manakala masing-masing potensi tersebut berjalan baik, sama dengan — bila — sebagian anggota wajahnya baik. Dinamakan yang baik, tidak bisa terungkap kecuali secara keseluruhan baik dan adil. Bila baik dan adil, dari sana akan muncul cabang-cabang akhlak.
Potensi amarah harus dikompensasikan lewat rasa keberanian. Karena Allah swt. sangat mencintai keberanian. Kalau keberanian terlalu berlebihan sering disebut dengan emosi membabi buta, namun kalau terlalu lemah disebut penakut. Dan keberanian tersebut kompensasinya muncul sifat-sifat yang positif seperti: berbudi mulia, semangat, kecendekiaan, kesopanan, kemandirian, ketegasan, kewibawaan dan kasih-sayang.
Sementara penyimpangan dan amarah (negatif) akan melahirkan pekerti emosional, sombong, superior, kejam, takabur dan ujub. Sedangkan sikap penakut, melahirkan sikap merasa rendah diri, hina, kotor, tidak memiliki kecemburuan, lemah dalam melindungi keluarga, dan nyali yang kecil.
Adapun menegakkan potensi syahwat, harus dikompensasikan melalui sikap harga diri. Penyimpangannya adalah sikap rakus, sementara nafsu yang terlalu lemah melahirkan sikap frigid.
Dari harga diri muncul: sifat dermawan, rasa malu, sabar, toleran, qanaah, wara’, tolong-menolong, kerja keras dan kecilnya rasa tamak. Sebaliknya, nafsu syahwat negatif melahirkan sikap ambisius, rakus, acuh tak acuh, pemboros, kikir, riya’, destruktif, sia-sia, menjilat, dengki, cemburu, sikap meremehkan orang kaya, menghina orang-orang miskin dan sebagainya.
Potensi akal, melahirkan perenungan yang positif, hati yang murah, pandangan yang cerdas, dugaan yang tepat, dan cerdas terhadap detail-detail pekerjaan serta bahaya yang mengancam jiwanya. Penyimpangan potensi akal, melahirkan sikap buruk, sombong, rekayasa negatif dan pengkhianatan. Sementara penyimpangan degradatifnya, melahirkan sikap bodoh, tolol, kampungan dan salah langkah.
Semua ini merupakan ikatan-ikatan moral. Bahwa esensi dan budi pekerti yang baik tersebut, terletak pada posisinya, di antara sikap penyimpangan yang menonjol dan kelemahannya yang negatif. Sebaik-baik perkara adalah pertengahannya. Dua pangkal yang ekstrim termasuk budi yang tercela. Oleh sebab itu, Allah swt. berfirman:
“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya.”
(Q.s. Al-Isra’: 29).
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (hartanya), mereka tidak berlebih-lebihan, dan (tidak) (pula) kikir dan adalah (pembelanjaan itu) di
tengah-tengah antara yang demikian itu.”
(Q.s. Al-Furqan: 67).
“Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang terhadap mereka.”
(Q.s. Al-Fath: 29).
Sepanjang seseorang memihak pada ekstrimitas dan eksklusivitas, moralitas budinya tidak bisa sempurna.
Metode peningkatan akhlak tersebut semuanya melalui mujahadah dan riyadah. Arti mujahadah adalah memaksa sifat-sifat ekstrim yang menyimpang dari aturannya, dimana ia beramal dengan perbuatan yang merusak disiplin amaliahnya. Bila ia dilanda kebakhilan, ia harus memaksa diri untuk memberikan harta secara terus-menerus, sehingga memberikan harta itu menjadi ringan sesuai proporsinya.
Bila ia dilanda sikap mubadzir ia harus memaksa untuk mengekang agar ia mampu membiasakan menabung menurut kondisinya. Kesemuanya ini berlaku bagi semua dimensi akhlak termasuk pekerti takabur. Semua terinci dalam Bab “Riyadhatun Nufus” dalam Al-Ihya’.
Selayaknya Anda tahu bahwa orang yang menyerahkan miliknya secara terpaksa bukan disebut dermawan. Orang yang tawadhu’ secara terpaksa, berarti menjadi beban bagi dirinya, lepas dari pekerti tawadhu’ yang sebenarnya, berarti hampa dari tawadhu’. Pekerti yang sebenarnya adalah upaya tanpa sikap terpaksa yang melahirkan perbuatan tanpa kesulitan.
Tetapi, sebenarnya pemaksaan diri merupakan jalan untuk melatih perilaku. Awalnya merupakan paksaan, kelak menjadi watak kebiasaan. Dalam konteks tersebut orang bakhil kadang-kadang sangat murah, dan orang dermawan kadang-kadang malah penyimpan harta. Maka, Anda jangan melihat perbuatan, tetapi lihatlah faktor yang mendalam yang memotivasi amal tanpa keterpaksaan.
Ketahuilah, klasifIkasi derajat manusia dalam kebajikan batinnya seperti pada anggota-anggota tubuhnya. Kebajikan secara mutlak tidak bisa didapatkan, kecuali amat langka. Rasulullah saw. yang mendapatkan derajat seperti itu, sampai Allah swt. memujinya:
“Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti agung.”
(Q.s. Al-Qalam: 4).
Keselamatan, bukannya terpaku pada kesempurnaan itu sendiri. Tetapi, sangat bergantung pada kecenderungan berbuat kebajikan yang lebih. Kalau keburukan secara penuh dalam badan lahir dimurkai, begitu pula kebaikan penuh pasti dirindukan. Antara keduanya ada jenjang derajat. Orang yang lebih dekat dengan kebaikan penuh, akan bahagia di dunia daripada orang yang dekat dengan keburukan yang mutlak. Begitupun jenjang kebahagiaan akhirat dihargai menurut jenjang kebaikan batinnya.
Ketahuilah, Anda kadang-kadang merasa telah berbudi pekerti baik, padahal jiwa Anda kosong. Anda, jangan terkena tipudaya. Sebaiknya Anda dinilai lewat orang lain, meminta saran teman yang mengerti jiwa orang, yang tidak menjerumuskan Anda. Jika orang lain mengaitkan din Anda pada pekerti buruk, selayaknya Anda menduga bahwa Anda mernang seperti itu. Sebab akhlak kebanyakan berhubungan dengan orang lain, sebaiknya Anda tampak apa adanya di mata mereka.
Di antara tempat-tempat tipudaya, antara lain seperti ketika Anda marah, dengan menyangka marah karena Allah swt. Menampakkan ibadat dengan menduga Anda menampakkannya agar diikuti orang lain. Atau Anda menghindari makan, minum dan menahan emosi.Bahwa semua itu melahirkan kehinaan Anda, karena Anda berambisi untuk meraih popularitas. Maka riya’ menjadi motivator semua perbuatan tersebut.
Banyak wilayah-wilayah potensial bagi tipudaya, sebagaimana yang kami sebut dalam Bab “Ghurur” pada Al-Ihya’. Tentu buku ini tidak menguraikan panjang-lebar. Yang lebih layak, Anda merasa kehilangan budi pekerti tersebut dan diri sendiri. Anda perlu memprioritaskan yang lebih penting, kemudian menghancurkan sifat-sifat negatif tersebut secara bertahap.
Saya menduga, yang lebih dominan pada diri Anda adalah cinta dunia, sejumlah tindakan maksiat yang diikuti akhlak-akhlak tercela lainnya. Anda tidak bisa bersih dari cinta dunia, kecuali mencari khalwat yang sunyi. Lantas Anda merenungkan faktor-faktor yang menyebabkan diri Anda menerima dunia dan kontra akhirat.
Tentu tidak Anda temukan, kecuali faktor kebodohan dan kealpaan murni. Sebab, paling panjang umur Anda seratus tahun. Kerajaan bumi, mulai dan timur hingga barat, Anda keabadian, Anda bisa mengukur seandainya dunia ini dipenuhi oleh biji sawi yang amat kecil, lalu perkirakan bila ada seekor burung yang setiap satujuta tahun mematuk buah biji sawi, sampai biji-biji tersebut habis, sementara belum juga mengakhiri keabadian. Itulah, bahwa keabadian itu tiada pangkal akhirnya sebagaimana tiada ujungnya.
Anda bisa merenungkan ketika Anda rela dengan kepenatan karena bepergian atau kerja. Kepenatan tersebut semata karena mengejar sesuatu yang semu, apabila Anda telah dijemput maut. Ketika Anda tidak bisa berpikir jernih, Anda akan meremehkan kepenatan setahun yang Anda jalani, karena Anda mengukur setahun itu dengan sisa usia Anda. Padahal seluruh usia Anda, jika dikaitkan dengan keabadian, serasa lebih pendek dibanding setahun. Bahkan sebenarnya ukuran usia dengan keabadian itu tidak ada keterkaitan. Hendaknya, Anda merefleksikan kembali soal waktu tersebut, agar terbuka kedok kebodohan Anda.
Kalau Anda beralasan bahwa tindakan Anda itu berdasarkan ampunan yang luas dan Allah swt, karena Allah swt. Maha Pengasih dan Penyayang, maka saya katakan, mengapa Anda tidak meninggalkan aktivitas pertanian, perdagangan dan mencari harta demi suatu tujuan kekayaan? Padahal Allah Maha Pemurah, dimana milik-Nya tidak pernah berkurang — apabila Dia memberi tahu Anda lewat mimpi adanya perbendaharaan harta, misalnya — sehingga Anda tinggal mengambil saja? Jika Anda mengatakan, bahwa tindakan seperti itu langka, walaupun Allah swt. kuasa mewujudkan melalui takdir-Nya.