Imam Al-Ghazali
Ketahuilah, akhlak tercela itu amat banyak. Namun prinsipnya kembali pada uraian di atas. Anda tidak bisa sekadar membersihkan sebagian, melainkan harus secara keseluruhan. Jika Anda meninggalkan satu
saja prinsip tersebut, yang lain juga tertinggal. Karena masing-masing berkaitan satu sama lain. Masing-masing akhlak tercela saling mendukung. Tidak seorang pun selamat, kecuali orang yang diberi keselamatan hati oleh Allah swt.
Keselamatan juga tidak mungkin didapatkan dengan menolak satu penyakit, tetapi yang lain dibiarkan. Kesehatan harus lewat terapi secara keseluruhan. Sebagaimana kebagusan, tidak bisa dipandang dengan bagusnya sebagian anggota tubuh, melainkan sepanjang seluruh tubuhnya bagus, dan selamat dalam berbudi baik. Rasul saw. bersabda, “Faktor pemberat yang diletakkan dalam timbangan amal adalah budi yang baik.” Sabdanya pula, “Aku diutus untuk menyempurnakan makarimul akhlaq.”
Pernah ditanyakan kepada beliau, “Apakah agama itu?” Beliau menjawab, “Budi yang baik.”
Sabdanya, “Berbudi pekerti yang baik itu adalah Budi Allah swt.” Nabi saw. pun bersabda, “Orang-orang Mukmin yang paling utama insannya, adalah yang terbaik budi pekertinya.”
Banyak ungkapan mengenai esensi dan batasannya. Sementara banyak orang yang kontra terhadap bagian buahnya, namun tidak melingkupi keseluruhan. Hal yang menampakkan substansi hakikinya, bahwa kata-kata khalqu dan khuluq merupakan dua ungkapan yang memberi pengertian lahir dan batin.
Khalqu, adalah bentuk tubuh lahiriah, sedangkan khuluq, gambaran batinnya. Sebab manusia terdiri dan anatomi tubuh yang bisa dilihat mata, namun juga ada struktur ruh dan nafsu yang tidak tampak oleh mata.
Masing-masing memiliki institusi yang kadang-kadang baik, kadang-kadang jelek. Jiwa yang bisa dikenal dengan matahati kadarnya lebih besar, dan karenanya Allah menyandarkan jiwa tersebut pada-Nya, sementara badan, disandarkan pada tanah.
Allah swt. berfirman:
“Sesungguhnya, Aku pencipta manusia dan tanah, maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ruh-Ku ke dalamnya ….“
(Q.s. Shaad: 71-72).
Allah memberi predikat ruh sebagai perkara ketuhanan. FirmanNya, “Katakanlah, ‘Ruh itu urusan Tuhanku’.”
(Q.s. Al-Isra’: 58).
Saya maksudkan dengan ruh dan jiwa, adalah subyek inti, yang mengenal dan mengetahui, yang ada pada diri manusia, melalui ilham Allah swt. Sebagaimana firman-Nya:
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu, (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya, beruntunglah orang yang men yucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”
(Q.s. Asy-Syams: 7-10).
Sebagaimana jasad lahir memiliki struktur yang lengkap seperti mata, hidung, mulut dan pipi — sementara predikat jasad yang baik tidak bisa disebut sempurna manakala tidak lengkap — begitu pula bagan batiniah manusia, memiliki struktur yang harus utuh untuk melengkapi keutuhan batin. Keutuhan batin terdiri empat hal: Potensi ilmu; potensi amarah; potensi syahwat; dan potensi keadilan. Empat potensi tersebut manakala telah tegak dan terwujud sedemikian indah, budi pekerti akan diperolehnya.
Potensi ilmu, aktualisasi kemandiriannya terletak pada kemampuannya membedakan mana yang benar dan mana yang dusta dalam ucapan; antara hak dan batil dalam akidah; antara baik dan buruk dalam amal perbuatan. Manakala potensi-potensi tersebut terwujud, akan mendapatkan buah hikmah. Yaitu, modal berbagai keutamaan. Allah swt. berfirman:
“Barangsiapa diberi hikmah, maka ia benar-benar diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang bisa mengambil pelajaran, kecuali orang-orang yang memiliki lubuk hati.”
(Q.s. A1-Baqarah: 269).