Assalamu’alaikum wr. wb.
Mohon maaf kalau saya boleh bertanya:
Apakah setiap orang pada umumnya mendapat kesempatan yang sama untuk bisa wushul kepada Allah Swt atau memang ada perbedaan wushul-nya orang awam/pada umumnya
dengan yang khusus, dalam arti secara keilmuan maupun keturunan dapat dipertanggungjawabkan?
Apakah wushul ini harus diperjuangkan dengan penuh harap atau murni anugrah?
Apakah orang yg bertasawuf harus tetap berbai’at tarekat Kiai, dengan tujuan untuk wushul kepada Allah Swt. Apa bedanya wushul dengan makrifat Kiai.
Wassalamualaikum wr. wb.
rk.azani321@xxxx.xxx
JAWAB:
Yang me-wushul-kan kita kepada Allah Swt itu, Allah Swt sendiri, bukan karena ikhtiar kita selama ini. Tetapi bila Allah Swt me-wushul-kan seseorang dari hamba-hambaNya, Allah Swt memberikan tanda-tanda (indikator) antara lain seseorang memang menempuh Thariqah dengan bimbingan yang benar. Ada juga yang diwushulkan langsung oleh Allah Swt, baru dikenalkan oleh Allah Swt ilmuNya, agar syariatnya tetap terjaga, dan berakhlak mulia. Lalu ia belajar mendalami tasawuf, sebagai ruhnya agama.
Seorang penempuh (Salik) sebenarnya adalah orang yang sudah wushul (Washil), karena tanpa dibimbing oleh hidayahNya, ia tidak akan menjadi penempuh JalanNya. Begitu juga Sang Washil (Yang sudah sampai padaNya) sesungguhnya adalah Salik (penempuh) juga. Karena ia harus menjalani aturan atau syariatnya wushul.
Wushul itu sebenarnya tidak ada wushul ‘Aam (kalangan awam) dan Wushul Khos (kalagan khusus), apalagi jika dihubungan dengan nasab keturunan. Kehendak Allah Swt yang saja yang memposisikan situasi ruhani setiap orang yang wushul yang berbeda-beda nuansa, bahkan derajatnya. Toh dua-duanya sama sama dari anugerah Allah. Karena itu kita tidak boleh saling meremehkan amaliyah seseorang.
Semua harus diperjuangkan, perjuangan syariat namanya Jihad, perjuangan thariqah namanya Mujahadah, perjuangan keilmuan namanya Ijtihad.
Tergantung proses bimbingan yang dilakukan oleh Mursyidnya. Ada seorang Musryid yang melihat muridnya tidak harus berbaiat, namun cukup diberi ijazah atau lisensi mengamalkan amaliyah tertentu, ada juga yang diberi tanda simbolis melalui khirqah atau syurban, ada juga yang dibaiat dan sebagainya. Ata seorang Wali Sufi, “Mursyid yang sesungguhnya adalah yang membebaskan bebanmu (meringankan dirimu) bukan memberi beban amalan kepadamu.”
Bertasawuf itu tidak boleh bernafsu, tidak boleh tegang dan ngototan (methentheng, bahasa jawa) nanti bisa muncul imajinasi dan intrik dalam dirimu. Karena Tasawuf itu membebaskan dan memerdekakan jiwa.
Kalau anda tidak ma’rifat pasti anda tidak beriman. Kalau anda tidak wushul, pasti anda tidak pernah mengamalkan iman. Lalu, disinilah dibangun pendidikan ruhani (tarbiyah ruhiyah) agar perjalanannya tidak tersesat.
Wallahu A’lam