Drs. A. Muhaimin Iskandar M.Si
Drs. Abdul Muhaimin Iskandar, M.Si, adalah seorang politisi dan aktivis muda yang sangat peduli kepada perjuangan demokrasi, sejak menjadi mahasiswa di UGM dan PMII dalam melawan otoritarianisme dan sentralisasi. Sebagai wadah perjuangannya, karir politiknya dimulai ketika dia bersama para senior NU ikut mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa. Setelah menjadi Sekjen PKB, kemudian dia menjadi anggota DPR sebagai ketua fraksi. Lalu dia menjabat sebagai Ketua Umum DPP PKB hingga saat ini.
Karir pria yang sering dipanggil dengan nama Gus Imin atau Cak Imin ini makin menanjak. Kini dia menjabat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) sejak 22 Oktober 2009. Sebagai menakertrans, dia sangat peduli dengan kehidupan karyawan di Indonesia. Pada permasalahan outsourcing, dia melihat istilah tersebut sangat kabur. Apalagi sistem hubungan industrial yang beberapa bulan terakhir ditolak serikat pekerja itu, sebetulnya tidak ada dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Cak Imin berharap, semua pihak termasuk media massa, tidak lagi menggunakan istilah outsourcing ataupun alih daya.
Selain itu, dia juga memperjuangkan nasib para TKI yang dianiaya. Muhaimin mengirimkan surat protes kepada satuan tugas tenaga kerja Indonesia di Malaysia karena ada salah satu TKW yang diperkosa. Dia memprotes keras peristiwa pemerkosaan TKI yang dilakukan oknum kepolisian Malaysia. Meskipun pelaku kejahatan telah ditangkap, Muhaimin terus melakukan pendampingan kepada warga Indonesia yang bekerja di Malaysia juga pengacara.
Muhaimin termasuk seorang politisi senior di DPR, dirinya terpilih untuk kedua kalinya, sejak DPR Periode 1999-2004 hingga Periode 2004-2009. Hal tersebut menunjukkan Muhaimin masih dicintai oleh konstituen-nya dan menjadi penyambung lidah rakyat. Di Parlemen, menurut Muhaimin, dirinya akan berusaha berjuang agar DPR menjadi motor pembaharuan dari sistem ketatanegaraan.
Ia punya motto, ”Hidup adalah perjuangan. Hidup adalah bagaimana bisa bermanfaat bagi manusia lain (Khoirun Naas anfa’uhum lin naas).”. Sementara itu, disela-sela kesibukannya, dirinya masih menyempatkan diri untuk menulis dan membaca bahkan beberapa buku telah ditulisnya. Dirinya masih menyempatkan mengisi acara di beberapa radio yang mengangkatnya sebagai konsultan utama, ia juga hadir di beberapa majlis pengajian dan dzikir.
Dalam kesibukannya yang padat, cucu Kyai Bisri Denanyar Jombang ini, menyempatkan wawancara dengan Sufinews.com dan Majalah Cahaya Sufi..
Anda pernah bermimpi jadi Menteri?
Semua mengalir penuh ”dialektika”, dan tentu bagian dari rahasia Allah Swt. ”Madza Ta’isyu Ghodan” (apa yang akan anda lakukan besok hari) adalah rahasia Allah Swt. Saya hanya ingin terus berjuang dan berjuang, bergerak, apakah dengan instrumen pemerintah atau tidak. Kalau kebetulan ada amanah kementerian, pasti selalu ada hal-hal yang tarik menarik dalam pergumulan batin saya, apakah menjadi menteri itu anugerah atau hukuman ? Tapi saya sering memilih jalan Husnudzon kepada Allah, agar jiwa saya terbebaskan dari polemik. Lalu saya pegang amanah ini penuh dengan gairah kesyukuran, keikhlasan dan optimisme.
Saya ingat betul kata-kata seorang Sufi besar, Ibnu Athaillah as-Sakandary, ”Jika anda ingin dibukakan pintu harapan, lihatlah apa yang dinaugerahkan Allah Swt padamu. Dan jika anda ingin melihat pintu kegelisahan, lihatlah apa yang sudah anda berikan kepada Allah Swt.”
Apakah ini yang membuat anda selalu kelihatan muda?
Ha..ha..ha.. Husnudzon kepada Allah adalah awal kegembiraan. Begitulah saya dulu mendapatkan pelajaran di pesantren
Anda pasti juga mengalami puncak kesendirian dan rasa sunyi…
Anda kok tahu? Tapi saya terhibur oleh ucapan seorang filosuf, “Di pucak posisi seorang pemimpin akan mengalami kesepian dan kesendirian…”
Tapi justru itulah kesempatan saya untuk terus berdialog dengan Tuhan, kesempatan saya untuk bermunajat terutama nasib bangsa , rakyat dan ummat ini. Saya sering curhat kepada Allah….
Apa yang anda resahkan setiap saat?
Ketakberdayaan. Apalagi dalam skala global. Kadang saya seperti memasuki hutan belantara dengan segala rimbanya, sangat gemes dan membuat saya tidak sabaran. Namun, kadang saya dapat banyak pelajaran, tapi sungguh luar biasa masalah yang harus kita tangani ini. Tidak bisa kita tangani sendiri. Begitu kompleks dan harus bersama-sama dalam tekad besar dan berfikir besar.
Maksudnya?
Semua elemen harus memiliki rasa tanggungjawab terhadap masa depan bangsa ini, tetapi dengan jiwa yang besar, bukan dengan ego pribadi atau kelompok. Coba lihat, bangsa lain sudah merencanakan transmisgrasi ke planet lain, sudah merekayasa teknologi komputer dan satelit yang luar biasa, kita masih ribut dengan konflik sosial.
Mari kita bekerja keras, berfikir kreatif, dan seluruh perasaan rendah diri kita harus kita hapus, diganti semangat keratifitas dan semangat berfikir. Pasti dampaknya luar biasa.
Ditengah pergumulan kerja sebagai menteri, apa ada kegelisahan individual dan vertikal?
Satu-satunya kegelisahan vertikal saya, adalah saya harus mempertanggungjawabkan seluruh gerak perjuangan ini di hadapan Allah Swt. Saya merasakan betul apa yang dirasakan Abu Bakar as-Shiddiq, sahabat paling saleh, tetapi ketika menjadi Khalifah tegasnya mengalahkan Sayyidina Umar ra. Namun saya juga sering belajar pada Sayyidina Umar, ditengah-tengah ketegasannya menegakkan keadilan, namun di tengah malam, airmatanya meleleh bagai sungai yang mengaliri lembah-lembah.
Apalagi Sayyidina Ali, ketika siang hari begitu gagah di atas kuda perang, tetapi di malam hari begitu sunyi dalam munajat-munajat kepadaNya.
(Menteri ini, matanya mulai berkca-kaca…. Ia berdiri menengok ke arah jendela di luar, matanya menatap jauh ke depan)
Anda dari latakerja dari tradisi pesantren, apa yang hendak anda tanamkan bagi para pekerja di negeri ini?
Yah, sesungguhnya ruh dari bangsa ini adalah ajaran-ajaran para Ulama dan Kyai di pesantren. Gudang dan khazanah nilai-nilainya luar biasa. Dan inilah tantangan kita semua untuk mewujudkan spirit luhur baik dalam kerja, budaya dan peradaban.
Mustahil membangun peradaban bangsa ini tanpa akar dan fondasi yang jelas. Fondasi itu sudah ada dan jika hari ini dan kemarin terus ada gerakan yang ingin membongkar fondasi itu, pasti sama dengan membangun gedung pencakar langit tanpa sipirt dan fondasi yang kokoh. Sejarah telah membuktikan robohnya peradaban di negeri ini, karena fondasi kulturalnya keropos.
Nilai-nilai itu, seperti apa ya misalnya?
Dalam lingkungan kinerja kementerian saya misalnya —dan saya berharap bisa menular ke departemen lainnya— , saya ingin terbangun nilai-nilai etos kerja yang luhur dan agung. Misalnya dalam tradisi Kyai kita ada: ”Al-Muhafadzotu alal Qodimis sholeh wal-akhdzu bil jadidil ashlah” (Melestarikan kekuatan masa lalu yang bagus dan melakukan reformasi yang lebih bagus.)
Juga nilai-nilai etika Ahlisuunnah wa-Jama’ah, seperti soal menyikapi dan memposisikan, soal ikhiar dan takdir secara benar. Karena kalau tidak benar, para profesional, pekerja, pengusaha ataupun praktisi birokrat, akan mengalami konflik teologis yang berpengaruh pada sikap dan tindakan yang rumit.
Contohnya?
Banyak orang yang protes kepada Tuhan, karena perjuangan dan ikhtiarnya selama ini cukup bagus, benar dan lurus, tetapi kok gagal. Sementara para pecundang malah sukses. Penjahat malah berkibar. Mafia malah berpesta.
Jika protes kepada Allah terus berlanjut, pasti lama-lama lebih banyak mencurigai Allah daripada mencurigai diri sendiri. Nah…. Tentu saya akan minta bantuan dari para Kyai dan Ulama untuk merumuskan etos kerja (khususnya soal ikhtiar dan takdir) ini, semudah mungkin difahami, gampang diaplikasikan, dan menjadi panduan yang membebaskan.
Apakah nilai-nilai ini juga dilandaskan dalam praktek dunia politik?
Wah, ini wajib. Seluruh partai politik di negeri ini, apakah yang bervisi nasionalisme religius atau sebaliknya yang religius nasionalis, mesti punya etos kerja politik yang bisa memandu para pejuangnya. Minimal idealisme yang luhur tidak luntur oleh pragmatisme politik. Atau dunia politik bukan sebagai ”karir” pribadi, tetapi tetap sebagai wahana perjuangan dan pergerakan kebangsaan.
Bangsa dan negeri seperti apa yang anda impikan?
Bangsa ini harus tumbuh dengan karakternya sendiri, menjadi diri sendiri, namun harus didukung oleh pendidikan yang maju, SDM kita harus kuat. Iptek kita harus sejajar dengan negara maju, namun kita punya kelebihan karakter moral Ulama Billah yang menjadi nilai-nilai dinamikanya. Keadilan dan pemerintahan yang bersih, harus tegak. Para pengusahanya memiliki kepedulian untuk membagi kue ekonomi ke bawah, agar tumbuh bersama. Kalau para pengusaha kaya sendiri, modal dikuasai, ia pasti runtuh dan bangsa ini juga runtuh. Dan orang-orang miskin sudah waktunya berpesta. Maksudnya bukan pesta makanan, tetapi mereka merasa diangkat derajatnya dan dipedulikan upayanya. Saya yakin orang miskin akan mendoakan kita semua.
Sekarang sudah langka kita dengar doanya orang miskin, karena mereka terabaikan nasibnya. Padahal doa mereka adalah bagian utama dari pilar bangsa ini.
Darimana semua itu dimulai?
Dari diri sendiri, dari keluarga kita, orang-orang terdekat kita, sahabat-sahabat kita, jama’ah kita. Jangan menunggu orang lain. ”Ibda’ binafsik”, mulailah dari diri sendiri.
Pandangan Anda sangat sufistik?
Ha..ha..ha..Kalau dalam dunia Sufi lebih dahsyat lagi. Bagaimana terus memandang hadirnya Allah dalam setiap aktivitas kita. Allah menyertai para buruh, karena tetes keringat buruh itu bagai mutiara yang menetes dari syurga. Harus dimuliakan. Sayangnya…..Hmm
Sayangnya apa?
Saat ini para buruh dan pekerja berkeringat karena merasa terpanggang oleh “neraka dunia”. Kita wajib mengentaskan…. Wah, kayak Kyai Sufi saja ya….