Kecerdasan Jiwa dan Pohon Ma’rifat

Syeikh Ahmad ar-Rifa’y:

Harus dibaca juga..

Kecerdasan Jiwa dan Pohon Ma’rifat

Rasulullah Saw. bersabda:

“Orang yang cerdas adalah orang mengenal dirinya dan beramal

untuk kehidupan setelah mati. Sedangkan orang yang lemah

(akalnya) adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan

berangan-angan pada Allah”.

Mengamalkan rahasia hadits ini, adalah ma’rifat itu

sendiri. Memang ma’rifat tersebut adalah dari hamba,

sedangkan pengenalan ma’rifat itu dari Rabb Ta’ala, yang

merupakan petunjuk paling mulia dan paling agung, yang

dihidayahkan kepada para hambaNya.

Kecerdasan Jiwa

Karena Allah Swt. apabila berkehendak memilih hambaNya

dan memberikan keutamaan dibanding hambaNya yang lain,

menampakkan rahasia matahari ma’rifatNya, maka Allah Swt.

memandang hambaNya dengan Pandangan karunia dan rahmat,

dan dibukakan pintu-pintu hidayah, lalu diberinya kehormatan

untuk sadar, dibangkitkan dari tidurnya orang-orang alpa.

Allah memberi nikmat dan anugerah harapan dengan hati

yang lapang, lalu kematian hati dihapus melalui pemahaman,

sedangkan keraguan dihapus pula darinya. Ia diberi kemuliaan

rasa malu, rasa takut, rasa yaqin dan dihapuslah keraguan dan

rasa tidak aman.

Apabila kondisi jiwa sang hamba berpadu dengan sejumlah

karakter itu, maka kedalaman hatinya memancarkan cahaya,

lalu ia menembus apa yang ada dibalik alam Jabarut, syurga pun

rindu kepadanya, dan luapan api neraka padam karenanya.

Seandainya ma’rifat itu bisa terukir pada suatu benda, tak

seorang pun bisa memandangnya kecuali ia akan mati karenanya

disebabkan oleh kebagusan dan keindahannya. Segala orang ada

modalnya, dan modal orang beriman itu adalah ma’rifat.

Seseorang bertanya kepada Dzun Nuun al-Mishry ra.

“Sungguh aku mencintaimu…” Namun Dzun Nuun menjawab,

“Bila engkau benar-benar mengenal Allah, maka cukuplah

bagimu, Allah. Namun jika kamu belum mengenal Allah, maka

carilah orang yang mengenal Allah Ta’ala sampai orang itu

menunjukkan padamu pada Allah Ta’ala.”

Ma’rifat: Pohon Yang Indah

Menurutku, ma’rifat itu ibarat pohon yang sedang ditanam

oleh sang raja dalam kebunnya, begitu mahal intisarinya,

begitu rindang penuh buah cabang-cabangnya, begitu manis

buah-buahnya, begitu ranum hijau dedaunannya, begitu tinggi

pohonnya, indah tanahnya, segar airnya, wangi aromanya, dan

pemiliknya sangat dermawan karena kemuliannya, dan bahagia

karena elok bunga-bunganya. Pohon indah yang bisa menolak

segala bencana dan menghadang segala cobaan.

Begitu pula Pohon Ma’rifat, yang ditanam oleh Allah Swt.

dalam ladang qalbu hambaNya yang beriman, Allah Swt.

senantiasa menyiapkannya dengan kemuliaanNya dan setiap

saat dikirimkan awan hujan anugerah dari perbendaharaan

rahmat, lalu meneteslah tetesan hujan kemuliaan melaui

petir Qudrat dan kilatan-kilatan kehendakNya, agar hati

hamba bersih dari kotoran-kotoran pandangan terhadap

prestasi ubudiyah. Lalu Allah Swt. mengirimkan indahnya

kelembutan kasih sayang dari tirai pertolonganNya agar

seseorang sempurna kewaliannya melalui perlindungan

dan penjagaan jiwanya.

Sang ‘arif selamanya thawaf dengan batinnya, di bawah

lindungan pohon ma’rifat, mencium aromanya, dan

memangkasnya dengan pemangkas adab, agar pohon itu

selamat dari penyakit dan virus-virus yang merusaknya.

Bila begitu lama batin sang ‘arif ada di bawahnya, dan terus

menerus ia memutarinya, ia ingin menikmati buah-buahnya,

lalu tangan sucinya menjulur, lalu memetiknya dan dengan

wadah kemuliaan, lalu dimakannya dengan mulut kerinduan,

sampai ia terhangatkan oleh api kemabukan, lalu ia memukulmukulkan tangan dihamparan anugerah hingga sampai ke lautan cinta, kemudian ia meminum seteguk yang membuatnya

linglung dari segala hal selain Allah Ta’ala. Mabuk yang tak bisa

sadar kecuali karena upaya memohon pertolongan. Kemudian

ia terbang dengan sayap-sayap cinta, menembus alam yang tak

pernah bisa dipahami oleh imajinasi para makhluk.

Al-Wasithy pernah ditanya, “Makanan apa yang paling

menarik anda?”

“Sesuap dari dzikrullah, yang dihidangkan dengan tangan

yaqin, dari hidangan makanan keabadian, ketika sedang

husnudzon kepada Allah Ta’ala.” jawabnya.

An-Nasaaj ra. berkata, “Kebanyakan penghuni dunia keluar

dari dunia, sementara mereka belum merasakan keindahan

yang dituju.”

“Keindahan apakah itu?”

“Kebahagiaan ma’rifat, manisnya anugerah, kenikmatan

qurbah, dan kemesraan cinta,” jawabnya.

Muhammad bin wasi’ ra. mengatakan, “Sungguh, bagi orang

yang dimuliakan Allah Ta’ala dengan ma’rifat kepadaNya, agar

tidak menghinakan diri kepada selain Dia. Dan sungguh, bagi

orang yang dilimpahi wilayah ruhani kewalian oleh Allah

Ta’ala, hendaknya teguh menapaki hak dariNya, dan sungguh,

bagi orang yang dimuliakan Allah Ta’ala dengan berdekatan

padaNya, agar tidak berpaling kepada selainNya, dan tidak

beramal dengan hawa nafsunya.”

Abu Yazid al-Bisthamy ra. berkata, “Sesungguhnya di

malam hari ada minuman bagi kaum ‘arifin. ketika hatinya

terbang bersamaNya karena cinta dan rindu kepadaNya.

Hanya saja pandangan mereka tetap kepadaNya, bukan pada

yang lain. Mereka pergi dengan kebeningan dunia dan akhirat.

Oh, Tuhan. Tambahilah dariMu, dan semakin menjadi

linglung…”

Menurut saya, minuman itulah yang disebut kelinglungan,

dan hal itu terbagi dua: Linglung karena ketakutan, dan

linglung karena kedahsyatan: Linglung ketakutan bagi orang

yang tertolak, dan linglung kedahsyatan bagi kaum ‘arifin

yang merindu. Wahai Tuhan Sang Bukti bagi para pelinglung,

tambahkanlah linglungku!

(dari Buku Menjelang Ma’rifat, translate oleh KHM Luqman Hakim, Cahaya Sufi Jakarta)

Next Post

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Top Stories

ADVERTISEMENT

Login to your account below

Fill the forms bellow to register

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.