Sa’duddin Mahmud Syabistari
Cahaya dalam diri menciptakan Sufi, bukan kebiasaan agama. Sa’duddin Mahmud Syabistari dilahirkan di Syabistar, dekat Tabriz, sekitar tahun 1250 M. Dia menulis Gulshan-i-Raz,
atau Kebun Mawar Rahasia, sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan oleh seorang doktor Sufi dari Herat bernama Dmir Syad Hosaini. Sangat sedikit kisah tentang kehidupan Mahmud Syabistari.
Dia menulis dua risalah lain tentang Sufisme di samping Gulshan-i-Raz yakni Haqqul Yaqin dan Risala-i-Shadid. Yang kita ketahui hanyalah bahwa dia memiliki seorang murid kesayangan bernama Syekh Ibrahim. Gulshan-i-Raz diperkenalkan di Eropa oleh dua pelancong di tahun 1770. Selanjutnya, salinan-salinan puisinya ditemukan di beberapa perpustakaan Eropa. Pada tahun 1821 Dr. Tholuck, dari Berlin, menerbitkan nukilan-nukilannya, dan pada tahun 1825 sebuah terjemahan bahasa Jerman dari petikan puisi itu muncul dalam buku lain yang ditulisnya. Setelah itu sebuah terjemahan lirik dan teks Persia diterbitkan oleh Von Hammer Purgstall di Berlin dan Vienna. Gilshan-i-Raz diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan, dengan teks Persia dan nukilan dari edisi Hammer dan catatan-catatan Lajihi, oleh Mr. Whinfield pada tahun 1880.
Puisi Sufi
Para pembaca puisi Sufi hampir pasti akan terpesona, mungkin bahkan terseret, oleh bahasanya yang luar biasa elok, oleh keakraban dengan Sang Khaliq, oleh pengabaian yang tampak jelas pada semua hukum manusia dan Ilahiah. Tetapi pada pengujian selanjutnya keajaiban cinta para Sufi kepada Sang Kekasih memancar dengan intensitas yang jernih, laksana terang yang bersiram cahaya indah.
Mereka sedang jatuh cinta kepada Sang Tunggal, dan cinta mereka mewujud ke dalam lagu-lagu pujian dan ketakjuban yang begitu elok:
Aku mendengar dan terpikat;
ruhku bergegas untuk merengkuh
dekapan penerimaan Cinta,
karena suara itu begitu manis.
Vaughan berkata:
Mistisisme Oriental telah menjadi terkenal karena pujangga-pujangganya, dan dalam puisi ia melepaskan semua kekuatan dan apinya.
[Kaurn Sufi] … memiliki tugas tunggal dan sederhana, untuk menjadikan hati mereka sebuah cermin yang suci bagi Tuhan.
Cinta adalah tema kaum Sufi, Ilahi, Cinta Abadi, dan ke dalam lautan Cinta mereka merangkum pasrah tanpa berpikir panjang.
Rumi bernyanyi:
Ngengat-ngengat, terbakar oleh cahaya obor di wajah Sang Kekasih, adalah pecinta-pecinta yang berdiam di tempat suci.
Kalaupun kita dianggap gila atau mabuk, ini karena Pembawa Piala dan Sang Piala.
Karena mulutku telah mengunyah Kemanisan-Nya Dalam pandangan yang jelas kulihat Dia berhadap-hadapan.
Simbolisme Sufi
Dalam membaca puisi kaum Sufi yang mempesona, haruslah diingat bahwa, meskipun symbol-simbol cinta dan keindahan keduniawian dipergunakan secara bebas, namun makna yang sesungguhnya tersembunyi. Tidak ragu lagi, ini secara sengaja dilakukan untuk tetap menjaga rahasia cinta mistis mereka, agar duniawi tidak mencemooh. Tetapi bersamaan berlalunya waktu, kata-kata tertentu mulai memiliki makna yang sudah dikenal di kalangan mereka sendiri. Misalnya:
Pelukan dan ciuman adalah pesona-pesona cinta.
Tidur adalah kontemplasi,
Parfum adalah harapan untuk berkah Ilahi.
Penyembah berhala berarti manusia dengan keyakinan murni, bukan kaum kafir.
Anggur, yang dilarang oleh Nabi Muhammad kepada pengikutnya, digunakan sebagai sebuah symbol-kata oleh kaum Sufi untuk menunjuk pengetahuan spiritual, dan
Penjual anggur berarti seorang pemandu spiritual.
Sebuah Kedai minum adalah tempat dimana anggur cinta Ilahi memabukkan para musafir.
Kemabukan berarti ekstase religius, Keriangan adalah kesenangan dalam cinta Sang Khaliq.
Keindahan berarti keagungan Sang Kekasih.
Rambut ikal dan Rambut berarti kemurnian yang menyelubungi wajah Kesatuan dari para pecinta-Nya.
Pipi berarti esensi nama-nama dan sifat-sifat Ilahi. Bulu halus adalah dunia ruh-ruh suci yang paling dekat dengan Ketuhanan.
Tahi lalat pada pipi adalah titik Kesatuan yang tak bisa dibagi.
Obor adalah cahaya yang terpancar dalam hati oleh Sang Kekasih.
Kita karenanya memahami bahwa bagi Sufi, cinta antara laki-laki dan perempuan adalah sebuah gambaran berbayang dari cinta antara jiwa dan Tuhan, dan sebagaimana seorang pecinta akan memimpikan kekasihnya, menyanyikan pujian-pujiannya, dan selalu dahaga untuk menatap wajahnya, demikian pula kaum Sufi terus-menerus memimpikan Tuhan mereka, dengan merenungkan sifat-sifat-Nya, dan terserap oleh kerinduan yang membakar pada kehadiran-Nya.
Sejarah mistisisme berisi banyak lagu yang menggelora untuk Sang Mutlak, tetapi dalam puisi Sufi ada sebuah kekayaan yang khas, sebuah kedalaman, sebuah warna yang memikat dan mempesona begitu banyak dari kita. Puisi Sufi berlimpahan kiasan-kiasan dan kisah-kisah cinta, cerita-cerita tentang Laila dan Majnun, Yusuf dan Zulaikha, Salaman dan Absal, dimana mudah untuk membaca makna tersembunyi dari nafsu kepada Sang Mutlak. Tema tema cinta kaum Sufi begitu beragam; kita mendengar nyanyian-nyanyian burung bul-bul yang sedang jatuh cinta pada bunga mawar, ngengat yang bergirangan mengitari cahaya lilin, burung merpati yang gundah gulana karena kehilangan pasangannya, salju yang meleleh di padang pasir dan bergerak ke langit sebagai asap, tentang sebuah malam yang gulita di gurun bersarna seekor unta yang membeku kedinginan, tentang alang-alang yang tersobek dari akarnya menjadi sebuah seruling dengan nada sendu yang meneteskan air mata.