Syekh Abu Nashr as-Sarraj —rahimahullah— berkata: Suatu hari aku mendengar Ibnu Salim berkata dalam majelisnya: Fir’aun saja tidak pernah mengatakan apa yang dikatakan oleh Abu Yazid. Sebab Fir’aun berkata: (Saya adalah tuhan (rabb) kalian yang mahatinggi). Sedangkan kata (rabb) itu bisa dinisbatkan pada makhluk. Seperti Si Fulan pemilik rumah. Sedangkan Abu Yazid mengatakan: “Mahasuci Aku, Mahasuci aku”, sedangkan kata “Mahasuci” adalah salah satu Nama dan Nama-nama Allah yang tidak boleh disandang oleh selain Allah Swt.
Aku katakan padanya: “Apakah ungkapan ini menurut Anda benar-benar berasal dari Abu Yazid. Dan bila Abu Yazid benar mengucapkan ungkapan itu lalu apakah menurut Anda ia berkeyakinan sebagaimana Fir’aun saat mengatakan, Akulah Tuhan kalian yang mahatinggi?”
Ibnu Salim menjawab, “Memang ia mengucapakan kalimat itu, sehingga saya anggap benar. Lalu apa yang dimaksud dengan kalimat tersebut? Sementara kalimat itu mengakibatkan ia kufur.”
Aku katakan padanya: “Jika Anda tidak berani memberi kesaksian terhadap apa yang menjadi keyakinan dan akidahnya ketika ia mengucapkan kalimat tersebut, maka Anda tidak dibenarkan untuk mengkafirkannya. Sebab mungkin saja kalimat tersebut masih ada kaitannya dengan ungkapan sebelumnya yang kemudian diikuti oleh kalimat, “Mahasuci aku, Mahasuci aku” Dimana ia mengisahkan apa yang dikatakan oleh Allah Swt. dengan kalimat, “Mahasuci aku, Mahasuci aku.” Sebab, misalnya kita mendengar seseorang mengucapakan: “Tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku.” (Q.s. al-Anbiya’: 25).
Maka tak akan terlintas dalam benak kita kecuali bahwa kita tahu orang itu sedang membaca al-Qur’an. Atau ia sedang memberi Sifat pada Allah sebagaimana Allah memberi Sifat pada DiriNya sendiri.”
Demikian pula bila kita mendengar Abu Yazid, seorang yang hanyut atau yang lain sedang mengatakan “Mahasuci Aku, Mahasuci aku”, maka kita tak akan ragu bahwa ia saat itu sedang menyucikan Allah dan memberi Sifat pada Allah sebagaimana Allah memberi Sifat pada Diri-Nya sendiri.
Jika masalahnya demikian dan sebagaimana yang kami kemukakan, maka tindakan Anda untuk mengkafirkan seorang yang sangat terkenal kezuhudan, ibadah, ilmu dan ma’rifatnya adalah termasuk hal yang sangat mustahil.
Kami pernah datang ke Bistham, dan sempat menanyakan cerita ini kepada keluarga Abu Yazid, ternyata mereka mengingkari cerita ini. Mereka berkata, “Kami tidak tahu sedikit pun tentang kisah itu. Dan andaikata cerita yang dari mulut ke mulut sudah cukup terkenal di kalangan orang banyak, dan kemudian mereka menulisnya dalam buku, tentu kami tidak akan menyibukkan diri untuk menuturkan cerita tersebut.”
Aku juga pernah mendengar Ibnu Salim dalam suatu majelisnya yang mengisahkan tentang Abu Yazid, dimana ia pernah berkata: “Aku pasang tendaku di depan ‘Arasy.” Ibnu Salim mengatakan, bahwa orang yang mengucapkan ungkapan ini adalah kufur, dan yang pantas rnengucapkan ungkapan seperti ini hanyalah orang kafir.
Ibnu Salim juga mengisahkan, bahwa Abu Yazid pernah lewat di kuburan Yahudi, lalu ia berkata, “Mereka adalah orang-orang yang dimaafkan.” Ketika ia lewat di kuburan umat Islam ia berkata, “Mereka adalah orang-orang yang tertipu.”
Meskipun dengan kebesaran dan kemuliaan Ibnu Salim namun ia keterlaluan dalam menghujat Abu Yazid —rahimahullah— dimana ia berani mengkafirkannya karena dianggap telah mengucapkan kalimat tersebut.
Kami berusaha untuk menjawabnya: Semoga Allah tetap mengampuni Anda! Sesungguhnya ulama-ulama dari berbagai daerah masih mengambil berkah di kuburan Abu Yazid —rahimahullah— hingga zaman kita sekarang ini. Mereka mengisahkan dari ulama-ulama terdahulu, bahwa mereka juga mengunjunginya dan mencari berkah dengan doanya. Di kalangan mereka ia adalah salah seorang yang paling tinggi tingkat kezuhudan dan ibadahnya, ia termasuk orang ahli ma’rifat dengan Allah Swt. Mereka juga mengatakan, bahwa ia adalah orang yang memiliki reputasi tinggi dengan orang-orang yang hidup sezaman dengannya dalam wara’, ijtihad dan kontinuitas dzikir kepada Allah, bahkan ada sekelompok orang yang meriwayatkan, bahwa mereka melihat Abu Yazid selalu berdzikir kepada Allah, sampai ia kencing darah karena sangat takut kepada Allah Swt. dan kontinuitas dalam mengagungkan Allah Azza wa Jalla.
Lalu bagaimana mungkin kita bisa berkeyakinan bahwa ia orang yang kufur hanya karena ada suatu kisah yang menyebutkan tentang apa yang diucapkan Abu Yazid, sementara kita sendiri juga tidak tahu apa maksud dan ungkapannya. Kita juga tidak melihat kondisi spiritual yang sedang ia alami di saat ia mengucapkan ungkapan-ungkapan tersebut. Bolehkah kita memberikan keputusan hukum terhadap seseorang tentang suatu ucapan yang kita dapatkan darinya sebelum kita memiliki kondisi spiritual yang sama dengan kondisi spiritual yang ia alami, waktu yang sama dengan waktu yang ia jalani dan wajd yang sama dengan wajd yang ia rasakan? Sedangkan Allah Swt. telah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman jauhilah berburuk sangka sejauh mungkin, sesungguhnya sebagian dari berburuk sangka itu adalah perbuatan dosa.” (Q.s. al-Hujarat: 12).
Perdebatan ini berlangsung antara kami dengan Ibnu Salim dalam majelisnya yang membahas tentang kisah-kisah yang diceritakan dari mulut ke mulut mengenai Abu Yazid al-Bisthami. Diskusi kami untuk meluruskan cerita tersebut kurang lebih adalah sebagaimana di atas.
Adapun ucapan Abu Yazid, “Aku pasang tendaku di depan Arasy.” Maka apabila ucapan ini benar berasal dari Abu Yazid, maka ini bukanlah hal yang tidak dikenal. Sebab seluruh makhluk, alam semesta dan segala apa yang diciptakan oleh Allah berada di bawah dan di depan Arasy.
Sedangkan makna ucapan Abu Yazid, “Aku pasang tendaku di depan ‘Arasy.” maksudnya, aku hadapkan tendaku kepada Sang Penguasa ‘Arasy Sementara tidak ada tempat sejengkal pun di muka bumi ini yang tidak berada di depan ‘Arasy. Oleh karenanya tak ada alasan bagi mereka yang tidak suka untuk menghujatnya.
Adapun ucapan Abu Yazid saat melewati kuburan orang-orang Yahudi lalu ia berkata, “Mereka adalah orang-orang yang dimaafkan.” Maksudnya, seakan-akan mereka adalah orang yang dimaafkan. Maka seakan-akan ketika ia melihat pada ketentuan Allah dengan menjadi orang Yahudi dan celaka yang sudah ditetapkan sebelumnya tanpa bisa berbuat apa-apa, dimana itu semua telah ditentukan secara azali dan Allah telah menjadikan mereka dalam kemurkaan-Nya. Lalu bagaimana mereka bisa berbuat kecuali hanya dengan amalan-amalan orang-orang yang bakal mendapatkan murka Allah? Kemudian Abu Yazid mengatakan. “Seakan-akan mereka adalah orang-orang yang dimaafkan.” Sementara mereka bukanlah orang yang dimaafkan sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh al-Qalam (Pena), apa yang diucapkan oleh al-Kitab dan apa yang telah diterangkan sifatnya oleh Allah meialui ucapan mereka, “Uzair adalah anak Allah.” (Q.s. at-Taubah: 30). dan “Kami adalah anak-anak Allah dan para kekasih-Nya.” (Q.s. al-Ma’idah: 18).
Sedangkan Allah adalah Dzat Yang Mahaadil dalam segala apa yang telah Dia putuskan, Mahabijak dalam segala yang Dia tentukan, “Allah tidak akan ditanya apa yang Dia lakukan, sementara merekalah yang bakal ditanya (oleh Allah).“ (Q.s. al-Anbiya’: 23).
Adapun ucapan Abu Yazid saat melintasi kuburan orang-orang muslim, “Mereka adalah orang-orang yang tertipu.” Maka jika ucapan ini benar dari Abu Yazid, maka seakan-akan ketika ia melihat secara umum apa yang biasa terjadi di kalangan umat Islam dalam melihat amal perbuatan dan ketamakan mereka untuk bisa selamat dengan mengandalkan usaha mereka sendiri, sementara sedikit sekali yang bisa selamat dari anggapan demikian, lain Abu Yazid menyebut mereka orang-orang yang tertipu. Sebab seluruh amal makhluk jika dibandingkan dengan nikmat yang dikaruniakan Allah kepada mereka, dengan diberi petunjuk (hidayah) dan kemudian hatinya dihiasi dengan keimanan, ma’rifat tentang Wahdaniyyah Allah, tentu semua amal mereka tidak akan berarti apa-apa dan sungguh itu sangat kecil.
Sementara itu seluruh gerak dan nafas makhluk tidak akan terjadi kecuali semuanya berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.
Maka barangsiapa mengira. bahwa seseorang akan bisa selamat tanpa karunia dan kemurahan rahmat Allah, maka jelas ia adalah orang yang tertipu dan nistapa.
Tidakkah Anda memperhatikan sabda Rasulullah Saw: “Tak seorang pun di antara kita yang amalnya bisa menyelamatkannya.” Kemudian para sahabat bertanya, “Dan apakah engkau juga wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Saya juga tidak, kecuali bila Allah memberiku karunia dengan rahmatNya.” (H.r. Bukhari, Muslim dan Aisyah).
Maka ulama yang suka mencari kesalahan dan menghujat seorang yang anggota tubuhnya selalu terikat oleh ilmu dan adab hanya karena suatu kisah atau ucapan yang ia sendiri tidak paham secara sempurna dalam masalah waktu adalah suatu kekeliruan yang dilakukan seorang ilmuwan, kesalahan dari seorang bijak dan ketidakbenaran yang sangat jelas dari seorang yang berakal. Sebab bisa saja kesalahan itu terjadi pada orang yang bijak, karena hikmah itu bisa jadi berlangsung dan ditangkap oleh orang yang tidak bisa memahami maknanya, sementara tingkat pemahamannya tidak bisa sampai pada tujuan-tujuan orang yang membicarakannya. Pada saat itulah ucapan-ucapan itu berlangsung melalui banyak lidah dan terjadi pergeseran makna, bahkan bisa saja sebaliknya apa yang dimaksud. Sehingga pada saat itu orang yang bijak pun akan mendapat predikat kurang ketika ia tidak mampu memahami tujuan apa yang diucapkan, menemukan kesulitan dalam memahami maknanya, tidak bisa sampai pada posisi sebenarnya dan tidak mau meminta penjelasan dan apa yang dimaksudkan. Sebab ilmu yang samar hanya bisa dipahami oleh tingkat pemahaman yang samar pula.
Kesalahan dalam memahami hikmah itu bisa terjadi karena dua aspek: Pertama, kesalahan dalam memahami huruf. Dan ini kesalahan yang paling ringan. Kedua, salah dalam memahami makna. Ini terjadi saat seorang bijak mengucapkan sebuah kalimat, sesuai dengan waktu dan kondisi spiritualnya, sementara orang yang mendengarnya tidak berada dalam waktu dan kondisi spiritual yang sama. lalu ia salah dalam memahami maknanya. Orang yang mendengar berusaha mengungkapkan apa yang didengarnya sesuai dengan wajd, waktu, kondisi dan kedudukan spiritualnya sendiri. Akhirnya yang terjadi adalah kesalahan total dalam menangkap ucapan tersebut, dan hancurlah dia.
Aku mendengar Abu Amr bin ‘Ulwan berkata: Aku mendengar al-Junaid —rahimahullah— berkata: Aku pernah berteman dengan kelompok kaum Sufi ini. Pada waktu itu aku masih berusia muda. Aku mendengar dari mereka kalimat-kalimat yang aku tidak bisa memahaminya. Hanya saja hatiku masih selamat tidak sampai mengingkarinya. Oleh karenanya aku hanya bisa mendapatkan apa yang bisa aku dapatkan.
Di antara argumentasi-argumentasi yang menguatkan apa yang aku sebutkan ini adalah apa yang terjadi di majelis Ibnu Salim di Basrah setelah terjadi debat sengit antara aku dengannya dalam masalah ucapan Abu Yazid al-Bisthami. Ia mengisahkan Sahl bin Abdullah —rahimahullah— yang pernah mengatakan, “Dzikir kepada Allah dengan lisan adalah igauan, sedangkan dzikir kepada Allah dengan hati adalah was-was (bisikan nafsu).” Lalu ia ditanya tentang ucapan itu, dan mengatakan, “Sepertinya dengan ucapan itu ia bermaksud, bahwa orang yang berdzikir hendaknya selalu bergantung dengan Dzat yang disebut dan diingat, dan bukan dengan dzikir yang terucap dan mulutnya.”
Di majelis lain ia juga mengisahkan tentang ucapan Sahl bin Abdullah, dimana ia mengatakan, “Tuhanku tidak tidur, dan aku juga tidak tidur.” Lalu aku katakan kepada sahabat dekatnya, “Andai kata Syekh Ibnu Salim ini tidak lebih cenderung berpihak kepada Sahl bin Abdullah daripada kepada Abu Yazid, tentu ia juga akan menyalahkan apa yang dikatakan oleh Sahl bin Abdullah sebagaimana ia telah menyalahkan Abu Yazid dan akan mengkafirkannya di hadapan Anda sebagaimana yang ia lakukan terhadap Abu Yazid. Sebab dalam ucapan Sahl bin Abdullah —yang tak lain Ia adalah imam dan orang yang dianggapnya paling utama— juga terdapat hal-hal yang kontroversi bagi orang mau mencarikan kesalahan orang lain bila ia bertujuan untuk berbuat hal itu.
Bagi orang yang mengetahui, bahwa apa yang dikisahkan dan Sahl bin Abdullah terdapat aspek lain selain yang ditemukan oleh orang yang mencari-cari kesalahan orang lain dan menghujatnya, maka tidak menutup kemungkinan dalam ucapan Abu Yazid, sebagaimana yang dikisahkan darinya, juga terdapat aspek lain selain aspek yang dijadikan alasan untuk mengkafirkan dan menyalahkannya. Maka pada saat itulah ia tidak bisa member jawaban terhadap apa yang aku katakan. Dan semoga Allah memberi taufik kepada kita.
Dikatakan: Andaikata bukan karena keistimewaan yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Musa a.s. dengan ‘ishmah (terjaga dan dosa), ta’yid (dukungan Ilahiyyah) dan dipenuhi dengan sinar kenabian, kerasulan dan Kalam sehingga ia diberi pertolongan dan ditunjukkan ke jalan yang benar sehingga tidak ingkar terhadap apa yang dilakukan oleh Nabi Khidhir saat ia melihatnya membunuh jiwa manusia (anak kecil) yang jelas diharamkan oleh Allah Swt. Dan ini merupakan dosa besar, niscaya ia tidak rela untuk mengatakan kepadanya, “Mengapa engkau bunuh jiwa yang bersih, bukan disebabkan ia telah membunuh orang lain? Sesungguhnya engkau telah melakukan sesuatu yang mungkar.” (Q.s. al-Kahfi: 74). Maka Nabi Khidhir balik bertanya, “Bukankah telah aku katakan kepadamu, sesungguhnya kamu tidak akan mampu bersabar denganku.” (Q.s. al-Kahfi: 75). Maka Musa berkata, “Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah engkau memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya engkau sudah cukup memberikan maaf (udzur) padaku.” (Q.s. al-Kahfi: 76). Setelah ia melihat Nabi Khidhir membunuh jiwa manusia yang tak berdosa dan diharamkan oleh Allah serta mengharuskan adanya hukum balas (qishash).
Menurut ilmu syariat Nabi Musa, ia mestinya bisa dituntut hukuman qishash, diasingkan dan tidak diperkenankan orang lain berteman dengannya. Hanya saja karena dukungan, perhatian Allah, pengkhususan, pertolongan dan taufik Allah Swt. yang senantiasa menyertainya, maka hal itu tidak sampai terjadi pada diri Nabi Musa.
Demikian pula kebiasaan dan pendidikan para wali dan orang-orang yang berperilaku jujur lahir dan batin hingga hari Kiamat. Sementara tidak seorang pun dari mereka yang bisa menggapai satu tingkat pun dari tingkatan-tingkatan kenabian. Semoga Allah selalu memberi kita jalan yang benar.
Dikisahkan dan Abu Yazid —rahimahullah— bahwa ia tak pernah menyandarkan dirinya pada tembok mana pun kecuali tembok masjid atau tempat ibadah. Juga disebutkan bahwa ia tak pernah meninggalkan puasa kecuali pada beberapa hari Raya hingga ia menghadap Allah. Dan banyak lagi kisah lain yang semisal dengan ini.