Jalan Iman Sang Arif (3)

BERSAMA ALLAH

Harus dibaca juga..

Abu Yazid al-Bisthami ditanya, “Apakah anda melihat

makhluk?”

“Bersama Allah Ta’ala aku melihat mereka.” Jawabnya.

Muhamamd bin Wasi’ ra. ditanya, “Apakah kamu sudah kenal

Tuhanmu?” Ia diam sejenak, lalu berkata, “Siapa yang mengenal

Allah Ta’ala sedikit bicaranya, panjang linglungnya, fana dari

rupa amaliyahnya, ia linglung dalam kesinambungan padaNya,

dalam segala kondisi senantiasa mendekat padaNya, dan

putus dari segala kondisi ruhani, untuk menuju Sang Pemilik

Anugerah Ruhani. Karena siapa yang mengenal Allah Swt.

lisannya kelu, akalnya bingung. Sang ‘arif itu manakala bicara

dengan kondisi ruhaninya, ia justru hancur, dan manakala ia

diam, justru terbakar.”

Ma’rifat iman itu adalah syahadat lisan dengan menauhidkan

Tuhannya agama, dan ikrar atas kebenaran apa yang ada dalam

Al-Qur’an. Sedangkan ma’rifat Iqon adalah kelanggengan

musyahadah Tunggal dengan sangat dekat dengan syurga.

Sebagian Sufi menegaskan, ma’rifat ada dua bagian:

Pertama: Mengenal bahwa semua nikmat itu dari Allah

Swt. sebagaimana firmanNya: “Apa pun nikmat yang datang

padamu, semuanya dari Allah.” Hingga sang ‘arif hanya teguh

bersyukur, lalu nikmat itu semakin tambah dari Allah Swt. “Jika

kalian bersyukur niscaya Aku tambah nikmat padamu,” dalam

firmanNya.

Kedua: Memandang Sang Pemberi Nikmat tanpa melihat

nikmatNya, hingga rindunya bertambah kepada Sang Pemberi

Nikmat, hingga ia teguh dengan rindu dan cintanya, itulah

firman Allah Ta’ala:

“Wahai Nabi cukuplah bagimu, Allah…”

“Bila mereka berpaling, maka katakanlah: Cukuplah bagiku,

Allah.”

Dzun Nuun al-Mishry ra. mengatakan, bahwa ma’rifat itu

ada tiga perspektif:

1. Ma’rifat Tauhid, bagi kalangan umumnya mukminin.

2. Ma’rifat dengan hujjah dan kejelasan, bagi kalangan

Ulama, cendekiawan dan para filsuf.

3. Ma’rifat sifat Fardaniyah bagi para Waliyullah dan para

SufiNya, yang ditampakkan pada mereka, namun tidak

bagi yang lain. Dan mereka diberi karomah yang tidak

bisa diungkapkan pada siapa pun, kecuali pada ahlinya.

Mereka diberikan keistimewaan oleh Allah Swt. dibanding

yang lain, dan dipilih untuk DiriNya, dan diseleksi olehNya

hanya bagiNya. Hidup mereka begitu penuh rahmat, dan mati

mereka penuh anugerah. Betapa eloknya mereka itu.

Sufi lain menegaskan, Ma’rifat itu dua arah:

•             Ma’rifat Tauhid: Yaitu menetapkan Kemaha Esaan

Sang Esa Yang Maha Perkasa.

•             Ma’rifat Mazid: Tak seorang pun menembus jalannya.

Tauhid, Tajrid dan Tafrid

Saya katakan: ma’rifat itu seperti pohon dengan tiga cabang:

Tauhid, Tajrid dan Tafrid.

•             Tauhid: Bermakna ikrar.

•             Tajrid: Bermakna Ikhlas.

•             Tafrid: Bermakna memutuskan diri total kepadaNya dalam

segala hal.

Tangga ma’rifat itu pertama-tama adalah:

•             Tauhid: yaitu memutuskan segala hal yang meragukan pada

Allah.

•             Tajrid: Memutuskan segala bentuk sebab akibat dalam dirinya.

•             Tafrid: Sinambung tanpa bergerak, tanpa memandang, tanpa

lainnya.

Untuk kema’rifatan itu haruslah menempuh lima jalan:

Pertama: Khasyyah (rasa takut penuh cinta) baik secara batin

maupun lahir.

Kedua: Berpegang teguh pada Allah Swt, dalam ubudiyah.

Ketiga: Memutuskan diri total hanya bagi Allah Swt.

Keempat: Ikhlas dalam ucapan, tindakan dan niat.

Kelima: Muroqobah (fokus pada Allah Ta’ala) dalam setiap

lintasan hati maupun setiap detiknya.

Kondisi Pecinta

Dalam kisah Abdul Bari ra, yang mengatakan: Aku sedang

pergi dengan saudaraku Dzun Nuun al-Mishry, tiba-tiba datang

segerombolan anak-anak yang sedang melempari batu pada

seseorang, lalu Dzun Nuun bertanya, “Hai anak-anak, apa yang

kalian mau padanya?” Mereka menjawab, “Orang ini gila, namun

orang ini menyangka bahwa dirinya melihat Allah Ta’ala!”

Lalu Dzun Nuun ra. berkata, “Coba ajak kemari dia…”

Tiba-tiba muncul seorang pemuda yang tampan, yang

tampak di romannya tanda-tanda sebagai orang yang ma’rifat.

Lalu kami memberi salam padanya, dan kami katakan, “Mereka

itu menyangka bahwa anda mengaku melihat Allah Ta’ala!”

 “Jauhi aku hai orang batil…! Seandainya aku kehilangan

Allah sekejap mata saja, niscaya aku mati seketika ini,” jawabnya.

Lalu ia mendendangkan syair:

Yang dicari pecinta dari kekasihnya adalah relanya

Sedang harapan pecinta dari kekasihnya adalah

menemuinya.

Selamanya memandang dengan dua kelopak mata

hatinya

Sedang hati mengenal dan memandang Tuhannya

Sang Kekasih rela dari pecintaNya dengan

mendekatkan padaNya

Tidak sebagaimana para hambaNya

Lalu tiada yang dikehendaki selain Dia.

Lalu kutanya, “Apa kamu ini gila?”

“Menurut orang di muka bumi memang benar, aku gila.

Tetapi menurut mereka yang di langit, tidak!” jawabnya.

“Bagaimana kondisimu bersama Allah?”

“Sejak aku mengenalNya, aku tak pernah mengabaikanNya,” jawabnya.

“Kapan kamu mengenalNya?”

”Sejak namaku dikelompokkan dengan orang-orang gila,”

Katanya

(Dari Buku Menjelang Ma’rifat, karya Syekh Ahmad Ar-Rifa’y, diterbit Cahaya Sufi Jakarta, ditranslate oleh KHM Luqman Hakim)

Next Post

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Top Stories

ADVERTISEMENT

Login to your account below

Fill the forms bellow to register

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.