BERSAMA ALLAH
Abu Yazid al-Bisthami ditanya, “Apakah anda melihat
makhluk?”
“Bersama Allah Ta’ala aku melihat mereka.” Jawabnya.
Muhamamd bin Wasi’ ra. ditanya, “Apakah kamu sudah kenal
Tuhanmu?” Ia diam sejenak, lalu berkata, “Siapa yang mengenal
Allah Ta’ala sedikit bicaranya, panjang linglungnya, fana dari
rupa amaliyahnya, ia linglung dalam kesinambungan padaNya,
dalam segala kondisi senantiasa mendekat padaNya, dan
putus dari segala kondisi ruhani, untuk menuju Sang Pemilik
Anugerah Ruhani. Karena siapa yang mengenal Allah Swt.
lisannya kelu, akalnya bingung. Sang ‘arif itu manakala bicara
dengan kondisi ruhaninya, ia justru hancur, dan manakala ia
diam, justru terbakar.”
Ma’rifat iman itu adalah syahadat lisan dengan menauhidkan
Tuhannya agama, dan ikrar atas kebenaran apa yang ada dalam
Al-Qur’an. Sedangkan ma’rifat Iqon adalah kelanggengan
musyahadah Tunggal dengan sangat dekat dengan syurga.
Sebagian Sufi menegaskan, ma’rifat ada dua bagian:
Pertama: Mengenal bahwa semua nikmat itu dari Allah
Swt. sebagaimana firmanNya: “Apa pun nikmat yang datang
padamu, semuanya dari Allah.” Hingga sang ‘arif hanya teguh
bersyukur, lalu nikmat itu semakin tambah dari Allah Swt. “Jika
kalian bersyukur niscaya Aku tambah nikmat padamu,” dalam
firmanNya.
Kedua: Memandang Sang Pemberi Nikmat tanpa melihat
nikmatNya, hingga rindunya bertambah kepada Sang Pemberi
Nikmat, hingga ia teguh dengan rindu dan cintanya, itulah
firman Allah Ta’ala:
“Wahai Nabi cukuplah bagimu, Allah…”
“Bila mereka berpaling, maka katakanlah: Cukuplah bagiku,
Allah.”
Dzun Nuun al-Mishry ra. mengatakan, bahwa ma’rifat itu
ada tiga perspektif:
1. Ma’rifat Tauhid, bagi kalangan umumnya mukminin.
2. Ma’rifat dengan hujjah dan kejelasan, bagi kalangan
Ulama, cendekiawan dan para filsuf.
3. Ma’rifat sifat Fardaniyah bagi para Waliyullah dan para
SufiNya, yang ditampakkan pada mereka, namun tidak
bagi yang lain. Dan mereka diberi karomah yang tidak
bisa diungkapkan pada siapa pun, kecuali pada ahlinya.
Mereka diberikan keistimewaan oleh Allah Swt. dibanding
yang lain, dan dipilih untuk DiriNya, dan diseleksi olehNya
hanya bagiNya. Hidup mereka begitu penuh rahmat, dan mati
mereka penuh anugerah. Betapa eloknya mereka itu.
Sufi lain menegaskan, Ma’rifat itu dua arah:
• Ma’rifat Tauhid: Yaitu menetapkan Kemaha Esaan
Sang Esa Yang Maha Perkasa.
• Ma’rifat Mazid: Tak seorang pun menembus jalannya.
Tauhid, Tajrid dan Tafrid
Saya katakan: ma’rifat itu seperti pohon dengan tiga cabang:
Tauhid, Tajrid dan Tafrid.
• Tauhid: Bermakna ikrar.
• Tajrid: Bermakna Ikhlas.
• Tafrid: Bermakna memutuskan diri total kepadaNya dalam
segala hal.
Tangga ma’rifat itu pertama-tama adalah:
• Tauhid: yaitu memutuskan segala hal yang meragukan pada
Allah.
• Tajrid: Memutuskan segala bentuk sebab akibat dalam dirinya.
• Tafrid: Sinambung tanpa bergerak, tanpa memandang, tanpa
lainnya.
Untuk kema’rifatan itu haruslah menempuh lima jalan:
Pertama: Khasyyah (rasa takut penuh cinta) baik secara batin
maupun lahir.
Kedua: Berpegang teguh pada Allah Swt, dalam ubudiyah.
Ketiga: Memutuskan diri total hanya bagi Allah Swt.
Keempat: Ikhlas dalam ucapan, tindakan dan niat.
Kelima: Muroqobah (fokus pada Allah Ta’ala) dalam setiap
lintasan hati maupun setiap detiknya.
Kondisi Pecinta
Dalam kisah Abdul Bari ra, yang mengatakan: Aku sedang
pergi dengan saudaraku Dzun Nuun al-Mishry, tiba-tiba datang
segerombolan anak-anak yang sedang melempari batu pada
seseorang, lalu Dzun Nuun bertanya, “Hai anak-anak, apa yang
kalian mau padanya?” Mereka menjawab, “Orang ini gila, namun
orang ini menyangka bahwa dirinya melihat Allah Ta’ala!”
Lalu Dzun Nuun ra. berkata, “Coba ajak kemari dia…”
Tiba-tiba muncul seorang pemuda yang tampan, yang
tampak di romannya tanda-tanda sebagai orang yang ma’rifat.
Lalu kami memberi salam padanya, dan kami katakan, “Mereka
itu menyangka bahwa anda mengaku melihat Allah Ta’ala!”
“Jauhi aku hai orang batil…! Seandainya aku kehilangan
Allah sekejap mata saja, niscaya aku mati seketika ini,” jawabnya.
Lalu ia mendendangkan syair:
Yang dicari pecinta dari kekasihnya adalah relanya
Sedang harapan pecinta dari kekasihnya adalah
menemuinya.
Selamanya memandang dengan dua kelopak mata
hatinya
Sedang hati mengenal dan memandang Tuhannya
Sang Kekasih rela dari pecintaNya dengan
mendekatkan padaNya
Tidak sebagaimana para hambaNya
Lalu tiada yang dikehendaki selain Dia.
Lalu kutanya, “Apa kamu ini gila?”
“Menurut orang di muka bumi memang benar, aku gila.
Tetapi menurut mereka yang di langit, tidak!” jawabnya.
“Bagaimana kondisimu bersama Allah?”
“Sejak aku mengenalNya, aku tak pernah mengabaikanNya,” jawabnya.
“Kapan kamu mengenalNya?”
”Sejak namaku dikelompokkan dengan orang-orang gila,”
Katanya
(Dari Buku Menjelang Ma’rifat, karya Syekh Ahmad Ar-Rifa’y, diterbit Cahaya Sufi Jakarta, ditranslate oleh KHM Luqman Hakim)