Dr. Yunasril Ali – Dosen UIN Jakarta
Sebagai makhluk yang serba ingin tahu, tiap manusia tentunya akan selalu berburu pengetahuan. Jika pengetahuan itu umumnya diperoleh melalui proses belajar, maka ada pula yang diperoleh melalui ilmu ladunni. Menurut Dr. Yunasril Ali, dosen yang relatif familiar dengan pandangan-pandangan tasawuf al-Ghazali dan Ibnu Arabi ini, mereka yang senantiasa
menjaga kesucian hatinya boleh jadi akan mendapat limpahan pengetahuan langsung dari Allah. Jenis pengetahuan inilah yang ia maksudkan dengan ilmu ladunni. Berikut petikan wawancara Cahaya Sufi dengan pengamal tasawuf yang beberapa tahun lalu justru pernah mengecam ilmu ladunni ini
Menurut Anda, apa yang dimaksud dengan ilmu ladunni, dan adakah ayat al-Qur’an yang menyinggung soal ini?
Dalam bahasa Arab, ladun itu artinya di sisi. Term ini terdapat misalnya dalam surah al-Kahfi ayat 65 yang mengisahkan antara Nabi Khidir dengan Nabi Musa. Nah, dalam ayat tersebut ada perkataan wa‘allamnahu min-ladunna ‘ilma. Artinya, “Dan Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” Atas dasar ini, maka muncullah istilah ilmu ladunni. Jadi ilmu ladunni itu adalah pengetahuan langsung yang dikaruniakan Allah kepada manusia tertentu, tanpa melalui pengajaran atau perantaraan guru.
Apakah dalam kitab-kitab tasawuf ada uraian yang mengupas soal ilmu ladunni?
Ya, ada! Uraian yang agak panjang itu terdapat dalam kitab al-Risalah al-ladunniyah karya al-Ghazali. Selain al-Ghazali ada juga Ibnu Arabi. Penjelasan Ibnu Arabi tentang hal-hal yang berkaitan dengan ilmu ladunni ini terdapat dalam mukaddimah Futuhat al-Makiyah, tetapi uraiannya tidak serinci al-Ghazali. Sementara dalam karya-karya Ibnu Arabi lainnya, semisal dalam Fushushul-Hikam, soal ini hanya disinggung sedikit-sedikit.
Bagaimana pandangan al-Ghazali mengenai ilmu ladunni ini?
Begini! Ilmu itu kan pengetahuan yang diperoleh manusia. Nah, cara memperolehnya itu ada dua cara. Ada ilmu yang dicari oleh manusia ada juga ilmu yang dikaruniakan langsung oleh Allah. Dalam istilah al-Ghazali, yang diuraikan dalam kitabnya al-Risalah al-ladunniyah, yang pertama itu disebutnya ta’lim insany, yaitu ilmu yang diperoleh melalui pengajaran diantara manusia; atau ilmu al-muktasab, yaitu ilmu yang dalam memperolehnya itu diusahakan oleh manusia. Adapun kategori yang kedua disebutnya dengan ilmu mauhub atau ilmu yang dikaruniakan langsung oleh Allah.
Kelompok yang pertama itu, itulah ilmu keseharian yang dipelajari manusia baik secara formal melalui lembaga-lembaga pendidikan maupun secara informal. Adapun kelompok ilmu yang kedua, yaitu ilmu ladunni, sebenarnya memang ada juga unsur usahanya. Hanya saja usahanya itu bersifat tidak langsung. Aspek usahanya itu tiada lain adalah melalui intensitas amal sampai sedemikian rupa, sehingga kualitas hatinya itu memang sudah layak untuk dapat menerima limpahan ilmu ladunni. Nah, ilmu ladunni itu dinamakan juga dengan ilmu mukasyafah. Sebab limpahan ilmu ladunni itu diterima manusia pada saat mengalami mukasyafah, yaitu terbukanya hijab antara hamba dengan Allah.
Lalu, bagaimana dengan pandangan Ibnu Arabi?
Pada intinya tidak berbeda dengan penjelasan al-Ghazali. Menurut Ibnu Arabi, yang muktasab itu dibagi dua, yaitu ilmul-aqli dan ilmul-ahwal. Ilmul aqli itu adalah ilmu dari hasil penalaran. Sedangkan ilmul-ahwal adalah ilmu dari hasil eksperimen atau penelitian empiris. Adapun istilah Ibnu Arabi terhadap ilmu mauhub atau ilmu ladunni tadi adalah ilmul-asrar. Disitilahkan dengan ilmul-asrar karena cara mendapatkannya itu adalah berupa karunia dari Allah secara langsung. Kecuali itu, ilmu asrar ini tidak semua harus disampaikan kepada ummat. Jadi dikatakan ilmu asrar karena ada bagian-bagian yang perlu dirahasiakan dari ummat Islam pada umumnya.
Jika demikian, apakah ilmu ladunni ini hanya otoritas kaum sufi/wali saja?
Kalau kita baca uraian-uraian dari kaum sufi ada kesan seperti itu. Menurut Ibnu Arabi misalnya, yang bisa mendapatkan ilmu ladunni itu hanyalah orang-orang yang hatinya sudah sangat suci. Analoginya begini… Ilmu itu kan biasa diibaratkan dengan nur atau cahaya. Nah, dengan demikian limpahan cahaya itu sangat bergantung dengan kesiapan penerima cahayanya. Dalam konteks ini, Ibnu Arabi menyinggung soal isti’dad, yaitu kesiapan atau kelayakan kualitas batin untuk dapat menerima luapan cahaya tadi. Untuk dapat menerima anugerah ilmu dari yang Maha Suci kan kualitas hati penerimanya juga mesti suci pula. Adapun orang-orang yang sudah jelas-jelas sangat suci hatinya itu tiada lain adalah para nabi, para wali dan para sufi. Hanya saja dalam konteks nabi dan rasul itu disebut nubuwwah dan risalah, dan apa yang diberikan Allah kepadanya disebut dengan wahyu. Sedangkan dalam konteks sufi atau wali disebut walayah atau kewalian, dan apa yang diberikan Allah kepadanya disebut dengan ilmu ladunni.