Dengan sikap emosional dan gerah, Parto menentang beberapa buku yang menggugat dunia Tasawuf. Sudah bisa ditebak buku itu isinya pasti menghujat, menyesatkan dan menyampahkan tasawuf.
“Ini bagaimana kawan. Kita dihabisi dengan penuh kehinaan. Apa yang harus kita lakukan. Apa kita bakar buku-buku ini?”
Kawannya, Sugih namanya, yang diajak bicara tadi melihat satu persatu buku itu sambil senyum-senyum.
“Gih kamu kok malah tertawa-tawa seperti itu. Ini banyak orang bisa sesat membaca buku ini, dan mereka bisa anti terhadap ajaran tasawuf.”
“Ngapain kamu gerah To, lha wong zamannya Ibnu Sraby, zamannya Ibnu Athaillah saja, sudah dihujat oleh Ibnu Taymiyah yang begitu hebat. Tapi toh tak bergeming. Sedangkan buku-buku ini yang menulis klas kambing saja, penulis pinggir jalan, seperti penjaja kacang goreng saja…”
“Tapi ini kan ada juga penulis dari Syeikh Saudi?”
“Apalagi. Kan semakin jelas.”
“Jelas apanya mereka syeikh dan Ulama…”
“Nah semakin jelas pula, dan semakin gembira kita…”
“Saya nggak mudeng Gih, kenapa kamu begitu….?”
“Lha iya. Alhamdulilllah tasawuf digugat. Itu justru akan membesarkan pohon Sufi kita, menjadi pupuk bagi kagungan dan kerindangan ajaran Nabi yang paling inti…”
“Kamu ini malah bikin aku pusing…”
“Pohon itu besar karena pupuknya, rawatannya. Lebih baik kita pakai pupuk kandang anti pestisida. Kotoran-kotoran sapi itu lho…masak kamu nggak ngerti…”
“Aku nggak ngerti Gih…”
“Anggap saja mereka itu, ucapan mereka, ulasan mereka tu, kotoran yang menjadi pupuk bagi kita. Jangan dibuang. Biarkan saja. Lha wong para Nabi dan para wali dulu musuhnya orang-orang munafik, orang-orang zalim, orang-orang fasiq, nah, kIta belajar dan bercermin saja di sana. Nggak usah pusing-pusing lah, malah alhamdulillah…”
Parto hanya geleng kepala sambil menghela nafas panjangnya.
“Jadi nggak perlu di counter Gih?”
“Di counter sambil guyon, dan ditunggu sambil tidur saja…”