Gelombang Nafsu
Al‑Junayd berkomentar, “Nafsu amarah yang terus‑menerus mendorong pada kejahatan adalah penyeru kepada kebinasaan, pembantu musuh, pengikut hawa nafsu, dan diharu‑biru dengan berbagai macam kejahatan.”
Ja’far bin Nashr mengabarkan, “Al-Junayd memberiku uang satu dirham dan menyuruhku membeli semacam buah kenari. Kubeli beberapa buah, dan ketika saat berbuka puasa tiba, ia memecah sebuah dan memakan isinya. Tapi kemudian ia memuntahkannya dan menangis. ‘Singkirkan buah‑buah ini!’ pintanya. Ketika aku bertanya apa yang telah terjadi, ia menjawab, ‘Sebuah suara berseru dalam hatiku, ‘Tidakkah engkau merasa malu? Engkau menjauhi satu nafsu demi untuk‑Ku, tapi kemudian mengambilnya lagi’!’
Al Junayd menuturkan, “Suatu malam aku tidak dapat tidur, lalu aku bangun untuk melakukan wird. Tetapi aku tidak menemukan kemanisan atau kenikmatan yang biasanya kurasakan. Maka aku menjadi bingung dan berharap untuk dapat tidur saja, tapi tetap tidak dapat. Lalu aku duduk, namun demikian aku tidak dapat duduk nyaman. Maka kubuka jendela, dan aku pergi keluar. Ku lihat seorang laki‑laki berselimutkan mantel sedang berbaring di jalan. Ketika ia menyadari kehadiranku, ia mengangkat kepalanya dan berkata, ‘Wahai Abul Qasim, lihatlah waktu!’ Aku menjawab, ‘Tuanku, tidak ada ketentuan waktu.’ Ia berkata, ‘Bahkan aku sudah memohon kepada Sang Pembangkit hati agar menggerakkan hatimu kepadaku.’ Aku berkata, ‘Dia telah melakukannya. jadi, apa kemauan Anda?’ Ia menjawab, ‘Bilakah penyakit nafsu menjadi obatnya sendiri?’ Aku menjawab, ‘Jika nafsu menentang hawanya, maka penyakitnya menjadi obatnya.’ Kemudian laki‑laki itu berpaling dan berkata kepada dirinya sendiri, ‘Dengar, (hai nafsu), aku telah menjawab pertanyaanmu tujuh kali dengan jawaban seperti itu, tapi engkau menolak menerimanya sampai engkau mendengarnya dari al Junayd, dan sekarang engkau telah mendengarnya.’ Kemudian ia berlalu meninggalkan aku. Aku tidak tahu siapa dirinya dan tidak pernah bertemu lagi dengannya.
Ja’far bin Nashr mengabarkan, “Al Junayd memberiku uang satu dirham dan menyuruhku membeli semacam buah kenari. Kubeli beberapa buah, dan ketika saat berbuka puasa tiba, ia memecah sebuah dan memakan isinya. Tapi kemudian ia memuntahkannya dan menangis. ‘Singkirkan buah‑buah ini!’ pintanya. Ketika aku bertanya apa yang telah terjadi, ia menjawab, ‘Sebuah suara berseru dalam hatiku, ‘Tidakkah engkau merasa malu? Engkau menjauhi satu nafsu demi untuk‑Ku, tapi kemudian mengambilnya lagi’!’
Al-Junayd membedakan antara bisikan nafsu dan bisikan setan: bahwa nafsu itu, apabila menuntut Anda terhadap suatu perkara, ia akan menempel, dan akan kembali lagi walaupun berlalu dalam jarak waktu, sampai bisikan nafsu itu benar-benar meraih kemauannya dan mencapai tujuannya. Kecuali bagi orang‑orang yang mujahadahnya benar, maka bisikan itu tidak akan kembali. Kemudian nafsu itu selalu memusuhi Anda. Sementara setan, ketika menjerumuskan Anda melalui godaannya, kemudian Anda menentangnya, maka setan akan kembali mempengaruhi Anda dengan godaan lainnya. Sebab secara keseluruhan, sikap kontra adalah sama. Yang penting bagi setan, Anda bisa mengikuti ajakannya yang menjerumuskan. Dan baginya, tidak ada peringanan dalam penjerumusan itu.
Para syeikh memperbincangkan soal bisikan berikutnya. “Apabila bisikan dari Allah swt, apakah bisikannya lebih kuat dibanding bisikan pertama?” Al-Junayd berkata, “Bisikan pertama lebih kuat, sebab, apabila bisikan itu masih ada, orang yang mendapat bisikan kembali pada refleksinya, dan dalam kaitan ini, perlu prasyarat ilmu pengetahuan. Meninggalkan bisikan pertama berarti melemahkan bisikan kedua.”
(Dari Pangeran Sufi Al-Junayd al Baghdady oleh KHM Luqmasn Hakim, Cahaya sufi Jakarta)