H. Firdaus Hulwani, MA – Dosen Pendidikan Agama Islam STAI Bina Madani.
Tata cara yang tidak berkaitan langsung dengan Al Qur’an serta praktek ritual yang mirip dengan perilaku.
kependetaan nasrani, hindu, yahudi, dan budha. Membuat kalangan tertentu merasa diatas angin untuk mencapnya sebagai perilaku agama yang menyimpang, sesat dan syirik.
Namun tradisi-tradisi kuno yang dikawinkan dengan kerangka islam ini tetap saja memberikan kesan spiritualitas yang mendalam. Bahkan kuburan wali sering diidentikkan dengan komplek keramat yang angker dan jauh dari keramaian. Tentu saja hal ini mengundang banyak pertanyaan, mengapa ritualitas ini memiliki nuansa yang mistis?
Sudah waktunya aktivitas ziarah kubur dikaji secara ilmiah melalui orang yang tepat. Salah satunya melalui H. Firdaus Hulwani, MA, Dosen Pendidikan Agama Islam STAI Bina Madani. Dia adalah salah satu orang yang memenuhi syarat untuk memberikan interpretasi, serta menggali makna ziarah yang terkandung didalam kaidah islam.
Duduk didepan makam pada waktu tertentu, pergi melangkahkan kaki kesebuah tempat yang sering dicap “keramat” untuk berdoa. Tentunya seolah-olah menciptakan pemandangan yang menyimpang dari kemurnian akidah. Karena dalam konsep Ketuhanan islam bahwa Allah tidak terbatas ruang dan waktu. “Berdoa itu sebenarnya bisa dimana saja, dan kapan saja.” Ungkap kalangan rasionalis. “Memang benar Allah tidak terbatas, masalah doa dimana pun tempat. Ya, Allah perintahkan. Kemudian Allah jamin akan kabulkan tetapi ada yang namanya tempat-tempat mustajab. Apa bedanya orang berdoa di depan Ka’bah? Ka’bah itu batu. Apakah kita minta kepada batu? Begitu juga kita ziarah ke makam wali. Ya, tidak minta kepada wali,” ungkap firdaus untuk mengklarifikasi.
“Memang kalau berbicara para penziarah itu kan memang orang-orang yang bukan hanya melihat hal yang lahiriah saja. Karena antara anggapan orang yang serba lahiriah dengan orang yang berkecimpung dalam ilmu batin (hakikat) dalam memahami kematian saja sudah berbeda.” Lanjut alumni Universitas Al-Azhar ini.
“Orang yang serba formalis menganggap orang yang mati, ya mati. Nggak ada apa-apanya. Tapi kaum sufi memahami bahwa yang namanya mati itu kan cuma perpindahan alam saja, jadi berpindah dari alam yang lahiriah (dunia), kepada alam barzakh (kubur).”
Dalam Al Qur’an dikatakan, “Janganlah kamu menyangka orang yang mati di jalan Allah itu mati begitu saja. Tetapi mereka hidup di sisi Allah mendapatkan kenikmatan.”
Sebagaimana orang yang tidak baik itu mendapatkan siksa maka orang yang baik-baik itu mendapatkan kenikmatan, bisa kadang-kadang saling menziarahi diantara mereka. Sampai ada keterangan para anbiya’ di kuburan mereka itu bermunajat, sholat, dll. keterangan Dalam hadits pun juga seperti itu bahwa namanya kematian itu bukan sesuatu yang terputus.”
Apakah ruh orang yang sudah meninggal tahu ketika diziarahi?
Dalam alam barzakh mereka itu mengetahui, mendengar, mengerti, dan berhubungan dengan orang yang menziarahi tetapi kebanyakan para penziarah kadang-kadang tidak mengerti. Seperti yang diajarkan Rasulullah kalau kita melewati kuburan kita disuruh mengucapkan salam dengan ucapan: Assalamu’alaikum ya ahlal qubur, kan begitu. Kum dalam kata ‘alaikum dalam bahasa arab berarti dhomir mukhotob (orang kedua). Kalau orang kedua itukan sudah pasti orang yang diajak bicara berhadapan sebenarnya, bukan orang ketiga. Makanya pakai ‘alaikum bukannya ‘alaihim. Kalau ‘alaihim itu orang ketiga tapi ini pakai ‘alaikum berarti seakan-akan memang berhadapan.
Nah, ketika kita mengucapkan salam sebenarnya pada hakikatnya mereka pun membalas ucapan salam kita, itu yang pertama. Kemudian yang kedua ini jangankan kepada ruh orang-orang mukmin. Rasulullah pernah mengajak bicara kuburan orang-orang kafir, yaitu orang-orang yang mati ketika dalam perang badar. Rasulullah Saw, pernah mengucapkan “wahai ahlul badar, apakah kalian telah mendapati apa yg dijanjikan oleh tuhanmu itu benar?” Ketika Rasulullah berbicara seperti itu sahabat yang lain bertanya “Ya Rasul, apa mereka itu mendengar sedang mereka itu sudah mati?” Maka Rasulullah mengatakan, “mereka mendengar, mereka lebih mendengar daripada kalian tetapi mereka tidak bisa menjawab.”
Duduk didepan makam pada waktu tertentu, pergi melangkahkan kaki kesebuah tempat yang sering dicap “keramat” untuk berdoa. Tentunya seolah-olah menciptakan pemandangan yang menyimpang dari kemurnian akidah. Karena dalam konsep Ketuhanan islam bahwa Allah tidak terbatas ruang dan waktu. Berdoa itu sebenarnya bisa dimana saja, dan kapan saja. “Memang benar Allah tidak terbatas, masalah doa dimana pun tempat. Ya, Allah perintahkan. Kemudian Allah jamin akan kabulkan tetapi ada yang namanya tempat-tempat mustajab. Apa bedanya orang berdoa di depan Ka’bah? Ka’bah itu batu. Apakah kita minta kepada batu? Begitu juga kita ziarah ke makam wali. Ya, tidak minta kepada wali.
Rasulullah Saw, bersabda bahwa mereka lebih mendengar daripada kalian tetapi mereka tidak bisa menjawab. Apakah mungkin ruh orang sholeh, para syuhada, dan aulia yang sudah meninggal mereka juga bisa menjawab para penziarah?
Nah, disini mereka mendengar tetapi mereka tidak menjawab mungkin karena ruh ini ruh orang kafir. Tapi kalau ruh orang mukmin pasti bisa menjawab. Dalam arti begini kalau tadi mereka tidak bisa menjawab tetapi mereka ternyata benar-benar mendapati janji Allah, bahwa orang yang menentang orang yang kafir itu mendapatkan siksa. Maka mereka disitu mungkin juga tidak diizinkan untuk menjawab tetapi mereka merasakan bahwa yang dijanjikan Allah memang benar. Mereka dapatkan ‘adzab Allah. Kemudian kebalikannnya, dalam alam barzakh orang-orang yang berada di sisi Allah. Mereka akan mendapatkan nikmat diantaranya mereka diantara mereka bisa saling menziarahi, bisa saling menjawab, bahkan bisa mendoakan orang yang masih hidup.
Berarti bisa dibilang ruh orang yang meninggal dengan ruh orang yang hidup dapat saling berinteraksi?
Sebenarnya, memang kalau dari segi seperti ini, memang harus ada dalil yang bener dan jelas. Tapi memang pernah ada dimana ada di zaman abu bakar. Abu bakar melaksanakan wasiat seorang sahabat yang mati syahid dalam peperangan tapi dia punya hutang. Kemudian ruhnya itu diizinkan Allah bertemu dengan saudaranya, dan ruhnya itu berbicara dengan saudaranya. Dia bilang, “saya mempunyai harta rampasan tapi harta rampasan saya diambil oleh si fulan. Tolong kamu cari seandainya memang itu ada kamu jual kemudian kamu bayarkan hutang saya.”
Kemudian seorang yang bermimpi ini menceritakan hali ini kepada abu bakar. Kemudian Abu Bakar melaksanakan wasiat si mayit ini, dicari-cari ternyata benar. Cerita ini kalau tidak salah ada didalam kitab ar-ruh Ibnu Qayyim Al Jauzi.
Cerita-cerita seperti ini banyak sebenarnya. Namun, masalah seperti ini tentunya tidak terlepas dari izin Allah. Serta tergantung dari kadar kesiapan orang yang masih hidup itu. Bisa berhubungan atau tidak.
Seperti apa bentuk interaksi kedua ruh tersebut?
Ya, biasanya itu lewat mimpi kalaupun bisa ada kadang-kadang bentuknya sadar. Bahkan, didalam hadits sendiri kalau Rasulullah mengatakan, “Siapa yang melihat didalam mimpi maka dia akan melihatku dalam keaadaan sadar.” Berarti ada yang seperti itu. Dan didalam kitab-kitab, ada orang-orang yang mereka ditarbiyah (dididik) oleh Rasulullah diantaranya kalau Syeikh Abdul Qodir Isa, seorang ulama sufi dari Syiria yang selama hidupnya dididik oleh Rasulullah dalam keadaan sadar.
Karena hadits sudah menyatakan ruh itu junudun mujannadah (para tentara Allah). Apabila dia memang saling mengenal dia bisa saling kasih sayang. Tapi apabila mereka tidak mengenal maka mereka berpisah. Itu tergantung perkenalan mereka itu didunia, rasa cinta didunia. Nah, itu bisa langgeng.