Feminisme Yang Sufistik

Prof. Dr. Musdah Mulia 
Ketua Umum Indonesian Conference on Relegion and Peace (ICRP).

Harus dibaca juga..

Feminisme Islam progresif mengacu pada upaya pendobrakan struktur kekuasaan patriarkhal yang diimani kaum Muslim tradisional berdasarkan pemikiran Islam bias gender. Setiap bidang ilmu Islam memiliki tokoh pemikir anutan masing-masing yang dianggap otoritatif, hingga hanya pemikiran ilmuan tersebutlah yang valid dijadikan landasan keagamaan. Tradisionalisme juga ada di bidang ilmu apapun. Sayangnya, pemikiran yang diacu lebih banyak berkepentingan patriarkhal.

Padahal dalam Islam sendiri Wanita merupakan makhluk yang paling mulia. Memang tidak ada yang salah dengan kemuliaan seorang Ibu. Islam, sejak keberadaannya dan sejak dibawa oleh Rasulullah, telah meletakkan posisi seorang ibu sangat tinggi. Ibu, ibu, ibu, baru kemudianlah seorang ayah, yang wajib dihormati oleh seorang anak, begitu hadits Rasulullah Saw. yang sudah terkenal. Pemuliaan kepada seorang ibu terjadi setiap waktu, bukan hanya satu hari saja.

Bahkan Allah Swt. mengabadikan perintahnya dalam QS. Al Ahqaaf 46:15, ”Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula)…”.

Sebuah kalimat bijak yang mengungkap bahwa, ibu sebagai tiang berdirinya negara. Negara dapat tegak berdiri karena berdirinya sekelompok manusia yang semakin hari semakin banyak jumlahnya, dan bertebaran di berbagai belahan dunia. Jumlah kelompok yang banyak itu semuanya terlahir dari rahim kaum ibu. Karena begitu pentingnya peran ibu dalam membentuk karakter serta menanamkan nilai-nilai sejak dini, maka diperlukan ibu yang cerdas. Proses pewarisan nilai kepada genarasi baru senantiasa memerlukan keteladanan dari pelakunya. Artinya, untuk melahirkan sebuah generasi baru yang unggul dan berkualitas, memerlukan sosok ibu yang berkualitas dan cerdas. Para ibu inilah yang akan sanggup melakukan pewarisan nilai-nilai kebaikan secara generatif kepada anaknya.

Bagaimana wacana feminisme ini dilihat dari kaca mata tasawuf, berikut wawancara Cahaya Sufi dengan Prof. Dr. Musdah Mulia ketua Umum Indonesian Conference on Relegion and Peace (ICRP).

Menurut anda feminism yang berkembang  ditinjau dari kacamata Islam bagaimana?

Kesalahan perspektif terhadap konsep di dalam Islam telah sampai pada pembahasan perempuan, yang oleh sebagian kalangan masih dianggap tabu. Walaupun pembahasan perspektif gender dalam Islam telah muncul sejak kelahirannya, namun ketika terjadi benturan dengan tuntutan sosial misalnya, diskursus ini ramai dibicarakan kembali. Banyak hal yang harus diluruskan dalam persepsi masyarakat tentang perempuan terutama anggapan kaum laki-laki lebih utama daripada kaum perempuan.

Kalau menurut Islam bahwasanya persamaan hak untuk menjadi khalifah dimuka bumi ini tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Namun implementasi pelaksanaannya masih jauh dari apa yang di gambarkan dalam ajaran Islam itu sendiri. Yang menjadi perbedaan manusia baik laki atau perempuan adalah amal ibadahnya seperti  perintah sebagaimana berikut “berlomba-lombalah kamu dalam hal kebaikan”.

Jadi yang dinilai adalah kebaikan amal dunia  maupun akhiratnya, bukan engkau laki-laki atau perempuan. Namun kenyataan dalam kehidupan bahwa perempuan selalu dianak tirikan. Bahkan sekalipun oleh para ulama-ulama yang ada yang faham bahasa Al Qur’an.

Kalau begitu sangat gerakan feminsime cocok donk dengan dunia sufi, karena yang dinilai adalah jalan spiritualnya?

Ha ha ha… secara teori memang betul, banyak para pelaku tasawuf yang mengajarkan jalan spiritual, yang tidak membeda bedakan gender. Memang dalam dunia sufi itu sendiri para pelaku tasawuf hanya diajarkan bagaimana mendekatkan dirinya pada Tuhan. Namun dalam kehidupan sosialnya  sekarang ini, bagaimana, apakah juga para pelaku tasawuf sendiri menghargai para perempuan sebagaimana mestinya.

Kalau kita lihat sejarah feminism itu sendiri kan sudah timbul semenjak kehidupan Nabi dengan isteri beliau Siti Khadijah, komentar anda?

Ya memang perkembangan Islam itu sendiri memang tidak lepas dari peran seorang perempuan, yaitu Siti Khodijah, selain strategi bisnis. Khadijah yang dari keluarga religi mengetahui bahwa Nabi Muhammad  Saw, yang penganut Hanifisme memiliki potensi kenabian. Khadijah yang kaya raya berani bertentangan dengan  Ayah dan Pamannya sekaligus adat setempat. Untuk  melamar seorang pemuda miskin yang yatim-piatu. Selama pernikahan hingga Nabi Muhammad Saw, menerima wahyu, Khadijah memiliki penasehat-penasihat spiritual Nasrani, untuk disampaikan ke suaminya.

Denga kata lain, karakter kenabian Muhammad Saw yang terbentuk oleh peran Khadijah dari informasi yg didapat dari pendeta-pendeta seperti Waraqah. Khadijah bersama Waraqah telah membimbing Nabi Muhammad Saw, menelusuri tangga-tangga spiritualitas hingga menerima wahyu di Gua Hira. Disamping sebagai  teman diskusi, Khadijah yang selalu mengantar Nabi Muhammad Saw, untuk menyendiri di Gua

Khadijah lah orang pertama yang mengetahui bahwa Muhammad telah menerima “hatif” (suara tanpa rupa) yang belum teridentifikasi. Maka, Khadijah dan Muhammad adalah bagai dua sisi mata uang.  Berbicara nubuat, maka tidak bisa mengesampingkan peran Khadijah. Ketika Khadijah wafat. Nabi hampir depresi. Karena begitu besar jasa Khadijah dalam proses kenabiannya untuk seluruh alam. Jadi tidak benar, jika Khadijah hanya menyumbangkan hartanya. Jauh sebelum diutus, ia sangat berandil dalam proses penerimaan wahyu. Konon, Nabi pernah ditanya Aisyah, “siapa Istri yg paling berharga diantara semua istrimu Rasul?” Nabi menjawab: “Khadijah.”

Bisa dikatakan bahwa Ibu dari feminism dalam kalangan Umat Islam adalah Siti Khadijah?

Benar. Karena beliau selalu mendukung perjuangan Rasul serta mendampingi dikala susah.  Bahkan tak segan-segan menyediakan harta bendanya untuk perjuangan dan kemajuan agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah.

Sebetulnya feminism itu sendiri di kalangan umat Islam Indonesia tidak begitu familiar. Seperti yang saya kemukakan, bahwa para perempuan tidak bisa bergerak bebas. Mereka masih terkungkung oleh gaya pemikiran yang tidak sesuai dengan apa yang tersurat dan tersirat dalam Al Qur’an.

Di lapangan sufisme, memang terdapat percikan pemikiran yang mengarah pada rekonstruksi relasi jender ke arah yang lebih adil. Misalnya saja, karena sufisme lebih mementingkan sisi batin dalam pencapain derajat tertinggi spiritualitas, maka jenis kelamin fisikal menjadi sesuatu yang tidak penting. Dalam sufisme, perempuan dan laki-laki akan melebur menjadi satu jiwa (one soul)

Bagaimana menerapkan salah satu bentuk  feminism di Indonesia secara Islami..?

Sudah umum diketahui, Indonesia melalui UU No 7 tahun 1984 meratifikasi konvensi internasional tentang penghapusan segala bentuk perlakuan diskriminatif terhadap perempuan, dikenal dengan sebutan CEDAW (The Convension on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women). Salah satu isi penting konvensi tersebut adalah larangan diskriminasi apa pun dalam kehidupan keluarga dan perkawinan (lihat CEDAW, pasal-pasal 5, 11, dan 16).

Isu perkawinan dan keluarga menjadi penting karena bersinggungan dengan nilai-nilai sosial-budaya yang hidup dan dianut secara luas dalam masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Ajaran Islam sangat kuat mempengaruhi nilai-nilai budaya, ekonomi, sosial dan politik bangsa Indonesia, termasuk di dalamnya nilai-nilai yang berkaitan dengan relasi gender, khususnya relasi suami-isteri dalam kehidupan perkawinan.

Konsekwensi logis dari ratifikasi konvensi ini, Indonesia berkewajiban melaksanakan semua ketentuan konvensi. Tujuan utama implementasi ini untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan melalui penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, baik di ranah publik maupun di ranah keluarga.

Kenyataannya, setelah 28 tahun berlalu, belum banyak kemajuan dicapai. Indikasinya terlihat dari masih kuatnya diskriminasi terhadap perempuan, meningkatnya kasus-kasus kekerasan berbasis gender, parahnya angka kematian ibu melahirkan, maraknya kasus trafficking, tingginya angka poligami dan perkawinan anak-anak, bertambahnya jumlah perkawinan yang tidak dicatatkan atau perkawinan sirri, dan masih pula ditemukan sejumlah peraturan perundang-undangan yang diskriminatif terhadap perempuan.

Sulitnya mengimplementasikan konvensi CEDAW dalam kehidupan masyarakat yang mayoritas beragama Islam disebabkan antara lain: Pertama, rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat mengenai nilai-nilai agama Islam yang menjelaskan peranan dan fungsi perempuan, khususnya dalam kehidupan keluarga. Kedua, masih banyak dijumpai penafsiran ajaran Islam yang merugikan perempuan. Kuatnya pemahaman Islam yang bias gender dan bias nilai-nilai patriarki di masyarakat menimbulkan tuduhan terhadap Islam sebagai sumber masalah atas terjadinya pelanggengan ketidakadilan di masyarakat, termasuk ketidakadilan dalam pola relasi laki-laki dan perempuan atau ketidakadilan gender (gender inequality).

Oleh karena agama berurusan dengan nilai-nilai yang paling hakiki dari hidup manusia, maka legitimasi religius yang keliru akan sangat berbahaya.  Persoalannya bahwa pelanggengan ketidakadilan gender itu bukan bersumber dari watak agama itu sendiri, melainkan berasal dari pemahaman, penafsiran, dan implementasi ajaran agama yang sangat dipengaruhi oleh tradisi dan kultur patriarki, ideologi kapitalisme, atau pengaruh kultur abad pertengahan yang sangat feodalistik.

(Fatchan)

 

Next Post

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Top Stories

ADVERTISEMENT

Login to your account below

Fill the forms bellow to register

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.