DIBALIK KERAJAIBAN KASIH SAYANG (2)
Syekh Ahmad Ar-Rifa’y
ORANG YANG MA’RIFAT
Suatu hari dalam perjalananku, kata Dzun Nuun al-Mishry, aku bertemu dengan orang tua, yang di wajahnya ada tanda sebagai kaum ‘arifin.
“Semoga Allah merahmati anda. Manakah jalan menuju
Allah?” tanyaku padanya. “Kalau anda mengenalNya pasti anda tahu jalan menuju padaNya”.
“Apakah seseorang bisa beribadah kepadaNya tanpa mengenalNya?”
“Apakah orang yang mengenalNya itu maksiat padaNya?” jawabnya.
“Bukankah Adam as. itu maksiat padaNya dengan keparipurnaan ma’rifatnya?”
“Maka dia lupa, dan …….. Sudahlah kita jangan berdebat!”
“Bukankah perbedaan Ulama itu rahmat?”
“Memang. Kecuali dalam soal konsentrasi Tauhid.”
“Konsentrasi Tauhid yang bagaimana?”
“Menghilangkan pandangan selain Allah karena KemahatunggalanNya.”
“Apakah orang ‘arif itu gembira?”
“Apakah orang ‘arif itu gelisah?” katanya balik bertanya.
“Bukankah orang yang mengenal Allah itu selalu gundah hatinya?”
“Tidak, bahkan orang yang mengenal Allah kegundahan hatinya sirna.”
“Apakah dunia bisa merubah hati orang ‘arifin?”
“Apakah akhirat bisa mengubah hatinya?” katanya lebih tajam.
“Bukankah orang ‘arif itu sangat menghindari makhluk?”
“Na’udzuBillah, sang ‘arif tidak pernah gentar dengan makhluk, hanya saja dia hatinya hijrah dan menyendiri bersama Allah.”
“Apakah ada yang mengenal orang ‘arif?”
“Nah, apakah ada yang tidak mengenalnya?” jawabnya.
“Apakah sang ‘arif bisa putus asa terhadap perkara selain Allah?”
“Apakah ada orang ‘arif yang masih memandang selain Allah? Hingga ia harus putus asa?”
“Apakah sang ‘arif itu juga rindu pada Tuhannya?”
“Apakah sang ‘arif pernah kehilangan Allah, sampai ia harus rindu padaNya?”
“Apakah Ismul A’dzom itu?”
“Hendaknya anda katakan: Allah.”
“Banyak sekali ucapan anda tetapi tidak bisa membuat diriku bergetar oleh kharisma Ilahi!” kataku.
“Karena anda berkata dari dorongan dirimu, bukan dari dorongan Ilahi.”
“Nasehati diriku!”
“Sudah cukup banyak nasehat bagimu, yang penting anda tahu bahwa Dia melihatmu.”
Lalu aku meninggalkan orang itu. Namun begitu bangkit aku bertanya lagi.
“Apa yang ingin kau perintahkan padaku?”
“Cukuplah dirimu melihat dirimu dalam seluruh tingkah laku jiwamu…”
Yahya bin Mu’adz —Rahimahullah Ta’ala— ditanya:
“Apakah tanda hati yang benar itu?”
“Hati yang istirahat dari kesusahan dunia.” Jawabnya.
“Kalau konsumsi hati?”
“Dzikir yang hidup, tak pernah mati.”
“Lalu kehendak yang benar itu seperti apa?”
“Meninggalkan kebisaaan-kebisaaan manusiawi.”
“Makna rindu?”
“Terus menerus fokus pada Yang Di Atas…”
“Kapan perkara hamba Allah tuntas?”
“Jika tentram bersama Allah tanpa hasrat.”
“Kalau tanda-tanda seorang penempuh?”
“Tandanya ia tidak sibuk (hatinya) dengan urusan makhluk…”
“Lalu pangkal hidayah itu apa?”
“Ketaqwaan yang benar!”
“Apa yang disebut dengan kenikmatan?”
“Berserasi dengan Allah.”
“Siapa yang disebut sebagai orang asing?”
“Siapa pun yang cinta di hatinya, tidak mencari keuntungan”
“Kapan seorang hamba sampai pada wilayah Tuhannya?”
“Bila hatinya lepas dari segala hal selain Allah Ta’ala.”
“Apakah yang disebut dengan kebebasan agung itu?”
“Penyerahan total kepada Sang Tuhan…”
“Apakah amal paling utama?”
”Dzikir kepada Allah kapan dan dimana saja”.
“Apa yang disebut dengan kebutuhan besar?”
“Kebutuhan besar adalah melanggengkan bahagia bersama Allah.”
“Apakah yang menjadi hijab qalbu?”
“Merasa puas (selesai) dengan Tuhannya.”
“Apakah hidup yang indah itu?”
“Hidup bersama Yang Maha Agung.”
“Lalu hakikat berserasi dengan Allah?”
“Adalah berlangkah benar dan bersih.”
“Siapakah para pecinta itu?”
“Kaum ‘arifin.”
“Siapa yang disebut orang mulia?”
“Siapa pun yang meraih kemuliaan bersama Yang Maha
Mulia.”
“Siapa yang disebut manusia utama?”
“Siapa pun yang bermesra bahagia dengan Yang MahaLembut.”
“Siapa yang disebut orang alpa?”
“Siapa pun yang menyia-nyiakan usianya.”
“Apakah yang disebut dunia?”
“Segala hal yang membuat anda lupa pada Allah.”
Memang benar, sumber kema’rifatan adalah qalbu, karena firman Allah Ta’ala:
“Sesungguhnya syi’ar itu dari ketaqwaan qalbu.”
Sedangkan sumber Musyahadah adalah kedalaman qalbu.
Karena firmanNya:
“Kedalaman qalbu tak pernah dusta terhadap apa yang dilihatnya.”
Sumber cahaya adalah dada, karena firmanNya: “Bukankah orang yang dilapangkan dadanya oleh Allah
terhadap Islam, maka dialah yang mendapatkan cahaya dari TuhanNya?”
Dan segala cinta yang semakin bertambah, senantiasa menambah rasa cinta kita kepada Rasulullah Saw. dan para wali-waliNya.
(Dari Menjelang Ma’rifat, Syekh Amad ar-Rifai, diterjemah KHM Luqman Hakim)