Di balik Keajaiban Kasih Sayang (1)
Oleh Syeikh Ahmad ar-Rifa’y
Rasulullah Saw. Bersabda:
“Orang yang memiliki kasih sayang, bakal disayang oleh Allah Yang Maha Penyayang —Yang Maha Memberi Berkah dan Maha Luhur—, karena itu berikan kasih sayang kepada siapa pun di muka bumi, maka yang di langit, akan menyayangimu.” (Hr. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi).
Dalam hadits yang mulia ini ada keajaiban yang luar baisa dari ilmu-ilmu dan rahasia Allah, dimana Al-Musthofa Nabi Muhammad Saw. memerintahkan adanya cinta dan kasih sayang terhadap semua makhluk di muka bumi, agar kasih sayang dari malaikat luhur di langit melimpah pula.
Karena langit adalah jalan bagi turunnya Kasih Sayang Ilahi, dan tempat sumber limpahan-limpahan alam cinta dan kasih sayang, sekaligus tempat hunian para malaikat yang dijadikan sebagai perantara rahasia-rahasia antara DiriNya dan para makhlukNya.
• Bila Allah melimpahkan rahmat dalam rahasia malaikat rizki, maka Allah memberikan pertolongan kepada pencari rizqi.
• Bila Allah melimpahkan rahmat kepada rahasia pencatat amal, maka Allah memberikan hamba wujud lupa terhadap keburukan-keburukan.
• Bila Allah melimpahkan pada rahasia malaikat Raqib, maka Allah memberikan pertolongan dan kasih sayang. Kasih sayang adalah perilaku jiwa kaum ‘arifin dan sekaligus menjadi mi’raj qalbunya menuju Tuhannya. Sedangkan hamba-hamba Allah yang ‘arifin tadi merupakan pantulan manifestasi Rahmat Tuhan semesta alam bagi para makhlukNya. Dan Dia adalah Maha Suci nan Maha Cinta dan Kasih.
Anak-anak sekalian… Bila kalian mewujudkan sifat kasih sayang kepada sesama makhluk, anda pasti dirahmati. Jika anda bermajelis dengan kaum ‘arifin, pasti anda sukses jiwamu. Jika anda bertanya bertanya pada kaum yang penuhi hikmah Rabbaniyah pasti anda mendapatkan pengetahuan. Segalasesuatu itu ada kuncinya. Kunci ilmu itu bertanya (jika tidak tahu). Jika anda bisa hendaklah bermajelis dengan kaum ‘arifin, yang bisa anda gali pengetahuan mereka dan hakikat rumusnya, kelembutan isyaratnya, maka sungguh anda meraih keuntungan.
Karena yang paling mulia diantara para Ulama adalah Ulama Robbaniyyun, yang sangat agung dibanding siapa pun di muka bumi selain Allah. Karena mereka ini adalah Kekasih-kekasih Allah dan pengemban amanah rahasiaNya.
Maka jagalah kehormatan mereka, gerakkan intuisi mereka dengan bertanya yang baik. Karena gejolak ombak dari intuisi kaum ‘arifin itu tidak akan pernah sirna keajaibannya. Maka cukuplah disebut tolol bagi seseorang yang tidak mau belajar pada mereka, meraih limpahan dari kemampuan mereka.
Padahal Allah Swt. telah berfirman:
“Bertanyalah kepada ahli dzikir manakala kalian tidak tahu.”
Nabi Saw. juga bersabda:
“Bermajelislah dengan orang-orang yang berjiwa besar dan bertanyalah kepada para Ulama dan bergaulah dengan para ahli hikmah (Ilahiyah)”.
ADAB PENCARI ILMU
Dzun-Nuun al-Mishry berkata: Ada seorang tokoh di Marokko diceritakan sifat-sifatnya padaku. Hingga akhirnya aku menempuh perjalanan ke sana. Selama 40 hari aku diam di sana, namun aku tidak mendapatkan pengetahuan apa-apa. Saya tahu tokoh itu sangat sibuk dengan Tuhannya. Padahal akupun juga tidak pernah sedikit pun mengurangi rasa hormatku.
Suatu hari ia melihatku:
“Dari mana seorang pengembara ini?” tanyanya.
Aku ceritakan perjalananku dan sebagian kondisi jiwaku.
“Apa yang membuat anda kemari?”
“Saya ingin menggali ilmu anda…” kataku.
“Taqwalah kepada Allah dan pasrahlah kepadaNya. Karena Dia adalah Yang Maha Memelihara nan Maha Terpuji,” katanya. Kemudian diam begitu lama.
“Mohon ditambah lagi bagiku, semoga Allah merahmatimu. Saya ini orang yang sangat asing, dan datang dari negeri yang jauh. Aku ingin bertanya banyak hal yang bergolak di batinku…”
“Anda ini pelajar, seorang Ulama atau peneliti?” tanyanya padaku.
“Saya ini pelajar yang sangat butuh pengetahuan.”
“Nah, anda sebaiknya tetap di posisi anda sebagai pelajar. Jagalah adab dan jangan melampaui batas. Sebab jika anda melampaui batas adab tadi malah rusak manfaatnya.
Para cendekiawan itu dari kalangan para Ulama. Sedangkan para ‘arifun itu dari kaum Sufi yang menempuh jalan kebenaran dan menempuh segala jerih payah kesusahan, mereka pergi dengan kebajikan dunia akhirat.”
“Semoga Allah memberikan rahmat padamu. Kapankah seorang hamba sampai pada tahap yang anda ungkapkan sifatnya itu?” tanyaku lagi.
“Jika ia telah keluarkan hatinya dari sebab akibat duniawi.”
“Kapan seorang hamba bisa demikian?”
“Jika ia telah keluar dari merasa bisa berdaya dan berupaya.”
“Apakah pangkal akhir seorang ‘arif itu?”
“Jika semuanya seperti tiada ketika semuanya ada.”
“Kapan sampai pada martabat Shiddiqin?”
“Jika sudah mengenal dirinya.”
“Kapan megenal dirinya?”
“Jika telah tenggelam di lautan anugerah. Dan keluar dari tempat ke-ego-annya dan berpijak pada langkah keluhuran.”
“Kapan sampai pada sifat-sifat itu?”
“Bila ia duduk di kapal Ketunggalan.”
“Apa kapal Ketunggalan itu?”
“Menegakkan ubudiyah yang benar.”
“Lalu kebenaran ubudiyah itu yang bagaimana?”
“Beramal hanya bagi Allah Ta’ala, dan ridho terhadap ketentuan Allah.”
“Kalau begitu berilah aku wasiat…”
“Aku wasiat kepadamu, agar terus bersama Allah.”
“Lagi…”
“Cukup!”
Abdul Wahid bin Zaid ra. mengisahkan, “Suatu hari aku
bertemu dengan seseorang ketika di perjalananku, ia memakai
baju dari bulu. Aku ucapkan salam padanya.
“Semoga Allah merahmatimu, aku ingin bertanya suatu hal.”
“Silahkan. Hari-hari telah lewat dan nafas itu dihitung dan
dibatasi. Sedangkan Allah terus menerus mendengar dan
melihat.”
“Apakah pangkal taqwa itu?”
“Sabar bersama Allah Ta’ala,” jawabnya.
“Sabar itu pangkalnya apa?”
“Tawakkal pada Allah.”
“Pangkal tawakkal?”
“Memutuskan diri hanya bagi Allah.”
“Pangkal memutuskan diri hanya bagi Allah?”
“Menyendiri bersama Allah.”
“Pangkal menyendiri?”
“Membuang dari hati, segala hal selain Allah.”
“Kalau hidup paling nikmat?”
”Berbahagia dengan dzikrullah.”
“Kalau hidup paling bagus?”
“Ya, hidup bersama Allah.”
“Apa yang disebut paling dekat?”
”Bertemu Allah.”
“Apa yang paling membuat hati lapar?”
“Pisah dengan Allah.”
Apa sesungguhnya cita-cita sang ‘arif?”
“Bertemu Allah.”
“Kalau tanda-tanda pecinta Allah itu?”
“Mencintai Dzikrullah.”
“Apakah mesra berbahagia dengan Allah itu?”
“Meneguhkan rahasia jiwa bersama Allah.”
“Apakah pangkal kepasrahan diri itu?”
“Menyerahkan diri total terhadap perintah Allah.”
“Lalu pangkal menyerahkan diri total?”
“Mengingat pertanggung-jawaban di hadapan Allah.”
“Apakah kegembiraan paling agung?”
“Husnudzon kepada Allah.”
“Kalau manusia paling agung?”
“Manusia yang merasa puas jiwanya pada Allah.”
“Lalu siapa manusia paling kuat?”
“Orang yang meraih kekuatan bersama Allah.”
“Kalau orang yang bangkrut itu siapa?”
“Orang yang rela pada selain Allah.”
“Apakah kehilangan harga diri itu?”
“Bila menanjak jiwanya tanpa bersama Allah.”
Menjelang Ma’rifat | 93
“Kapan seorang hamba terjauhkan dari Allah?”
“Bila ia tertutup dari Allah.”
“Kapan seseorang itu tertutup dari Allah?”
“Bila di hatinya masih ada hasrat selain Allah.”
“Siapakah orang yang alpa itu?”
“Siapa pun yang menghabiskan umurnya tanpa disertai
ketaatan pada Allah.”
“Apakah zuhud di dunia itu?”
“Meninggalkan segala hal yang menyibukkan hatinya dari
Allah.”
“Siapakah orang yang menghadap Allah?”
“Ya, siapa pun yang menghadap pada Allah.”
“Lalu siapa yang lari dari Allah?”
“Siapapun yang lari dari Allah.”
“Apakah Qalbun Salim itu?”
“Qalbu yang di dalamnya tidak ada lagi selain Allah.”
“Tolong beri tahu aku, dari mana anda makan?”
“Dari kekayaan Allah.”
“Apa sih yang anda sukai?”
“Apa pun yang ditentukan Allah padaku.”
“Kalau begitu beri aku wasiat…”
“Lakukan taat kepada Allah dan ridho-lah kepada
ketentuanNya, bersenanglah dengan dzikrullah, maka kalian
akan jadi pilihan Allah.”
(Dari Menjelang Ma’rifat, Syekh Amad ar-Rifai, diterjemah KHM Luqman Hakim)