DI BALIK DOSA,
DI MANA POSISI ANDA?
Kang Soleh menangis ngguguk, airmatanya meleleh
bagai gerimis pagi. Terasa panas membelah pipinya.
Walau udara di luar sangat dingin pagi itu.
“Orang yang bermaksiat kebanyakan ingin tertutup dari makhluk, bisa karena
malu, atau karena gengsi ataupun karena takut harga dirinya jatuh. Tirai atau
tutup itu disebut sebagai tutup di “dalam maksiat”. Bagi kalangan ini, tutup di
dalam maksiat berarti tidak memandang Allah Swt, namun lebih memandang
kepentingan derajat makhluk atau harga diri kemakhlukan.”
Seri Kedai Sufi | 21
Kata-kata itu menghujam lagi secara beruntun di
dadanya. Ia istighfar berkali-kali, istighfar lagi.
Pardi dan Dulkamdi sudah sedari tadi duduk terpekur
di samping sahabatnya itu. Mereka saling memandang
karena Kang Soleh tidak biasanya menangis seperti itu.
“Kang Kalau butuh apa-apa, ngomonglah, kita-kita ini
kan sahabat…” celetuk Pardi.
Kang Soleh menghela nafas panjang,
“Ndak Di, nggak papa kok… Saya hanya ingat pengajian
semalam di depan Kyai, sekarang baru berasa…”
“Wow, itu Kang. Saya masih ingat betul penjelasan
Kyai kita…” Celetuk Dulkamdi.
“Ya, Dul. Disinilah orang yang maksiat ini tidak
memandang celaan dari Allah Ta’ala —awal hingga
akhirnya— dan menumbuhkan riya’, berbagus diri di
hadapan makhluk, bukan di hadapan Allah Ta’ala. Hal
demikian disebabkan pendeknya himmah mereka dan
minimnya iman mereka. “
“ Semalam, Kyai Mursyid menjelaskan bahwa kalangan
khusus, sejak awal justru lari dari maksiat, kalau toh pun
mereka mencari tirai, itu karena dalam proses perjalanannya,
ingin sekali terhindar dari maksiat. Dalam konteks inilah
disebut mencari “tutup dari maksiat”. Mereka bermotivasi
agar terhindar dari maksiat, ada beberapa kategori: 1) Bisa
mencari tutup karena takut akan siksaNya, 2) bisa mencari
tutup karena takut akan hijabNya, dan 3) bisa karena takut
22 | Seri Kedai Sufi
akan kehilangan pahala dariNya.
Ada pula mencari tirai karena kawatir terlempar dari
pintuNya; atau dari sisiNya, dan sebagainya, dan semua
itu kembali karena ketakutan kalangan khusus ini jika
tidak dipandang lagi oleh Allah Ta’ala. Karena mereka bisa
kehilangan banyak kebajikan, sekaligus banyak keburukan
tiba.
Yang paling agung adalah mereka mencari tutup
dari maksiat karena rasa takut luar biasa akan Kharisma
Ilahi, karena rasa malu, rasa mengagungkan kepadaNya.
Bahkan seandainya Allah Ta’ala mengampuni semua dosadosanya sekalipun, rasa malunya kepada Allah Ta’ala serasa
tak pernah sirna. Sebagaimana dikatakan oleh Al-Fudhail bin
‘Iyadh ra, “ “Duh betapa malunya kepadaMu…walau Engkau
telah mengampuni…”
Bila saja faktor penghambat maksiat itu justru datang
karena tirai dari maksiat, maka jika makhluk lain memuliakan
anda, tetap saja kembali pada TiraiNya, bukan pada diri
anda, baik anda orang yang taat maupun anda orang yang
maksiat. Makanya Ibnu Athaillah mengingatkan:
“Siapa pun yang memuliakan anda , sesungguhnya ia telah
memuliakan yang ada di dalam dirimu berupa keindahan
TiraiNya. Karena itu pujian seharusnya kepada yang menutupi
anda, dan pujian bukan pada orang yang memuliakan anda
atau bukan kepada yang mengucapkan terimakasih kepada
anda.”
Seri Kedai Sufi | 23
Banyak orang balik memuji orang yang memuji anda
atau berterimakasih pada anda. Padahal seharusnya pujian
itu kepada yang menutupi aib dan kekuarangan anda,
yaitu Allah Rabbul Izzah Ta’ala. Karena tanpa tirai tutupnya
yang indah pada anda, tak satu pun orang menghargai dan
mengormati anda.
Karena itu ada pepatah Sufi yang indah: “Di sana tak
ada lain kecuali karena karuniaNya, dan tak ada kehidupan
melainkan karena ada dalam tiraiNya. Jika saja tirai itu
dibuka, pastilah terbuka cacat besar yang tiada tara.”
Manusia itu, pada aslinya adalah tempatnya kurang
dan cacat. Baik orang tersebut ahli ibadah maupun ahli
maksiat. Baik orang itu sedang mendapatkan nikmat atau
cobaan. Maka kita wajib memuji Allah Swt, yang menutupi
diri kita dengan tutupNya yang indah itu.”
“Kang sampean kok hafal semua kata-kata Kyai.
Soalnya semalam baru pengajian separo, saya sudah lelap
entah mimpi apa…” Kata Dulkamdi.
“Ya, Dul, saya sangat terkesan begitu dalam, begitu
mengharukan dan menghujam…” kata Kang Soleh.
Tiga sahabat itu hening. Tak ada kata, hanya kepulan
asap kopi panas mengaroma ke angkasa. Pagi yang indah.
Pagi yang baru dan cerah
(KHM Luqman Hakim, dari Kedai Sufi JALAN CAHAYA)