Geliat Sufistik Sineas Muda
DANIAL RIFKI adalah sutradara lulusan Fakultas Film dan Televisi — Institut Kesenian Jakarta. Di masa kuliah, dia aktif membuat film pendek yang memenangkan beberapa penghargaan nasional dan internasional. Film pendeknya ‘Karena Aku Sayang Markus’ memenangkan Piala Citra untuk Film Pendek Terbaik pada FFI (Festival Film Indonesia) 2007. Film kelulusannya yang berjudul ‘Anak-anak Lumpur’ yang mengangkat isue Lumpur Lapindo, memenangkan penghargaan di Kyoto International Student and Video Festival (KISFVF) 2010. Di luar kampus, Danial Rifki ‘berguru’ langsung kepada 2 mentornya, senior di dunia perfilman Indonesia ; Garin Nugroho dan Slamet Rahardjo Djarot. Mewarisi pandangan dari kedua mentornya, film-film Danial Rifki memiliki kepedulian tinggi pada tema-tema sosial.
Saat ini, pemuda yang baru saja menerima Penghargaan Piala Citra atas film layar lebar garapannya yang berjudul “Tanah Surga (katanya)”, sedang mempersiapkan film layar lebar dengan tema orang-orang Indonesia yang tinggal di Jepang, dengan pendekatan drama remaja yang menghibur.
Sineas muda ini akhirnya aktif dalam thariqat sufi, dan berikut wawancaranya dengan Cahaya Sufi:
Apa yang menjadi spirit anda terjun di sineas? Pernah bercita-cita sejak kecil?
Dari kecil saya suka sekali menonton film. Begitu di depan tv atau di dalam bioskop saya bisa ‘khusyuk’ menonton, larut dalam dunia yang di ciptakan film. Awalnya cita-cita saya sebagai pemain, karena itu dari SD saya gabung dalam sanggar Teater, hingga SMA.
Tapi kemudian, saya tahu bahwa yang membuat para pemain tampak begitu hebat dalam sebuah film, karena imajinasi dan arahan orang-orang di balik layar : Sutradara dan Penulis. Sejak itu saya ingin sekali menjadi sutradara dan penulis.
Apa anda juga punya keinginan membuat film dakwah?
Ayah saya guru mengaji di kampung. Sering di undang dakwah kesana kemari. Dulu saya di kirim ke pondok supaya suatu hari bisa meneruskan pengajian majelis taklim di rumah saya. Tapi saya bandel, nggak betah di pondok, malah sering kabur nonton di bioskop.
Tapi spirit saya spirit pesantren. Sehingga ketika saya sekolah film di IKJ, saya punya tekad, bahkan saya ungkapkan dalam tesis, bahwa film adalah media penyuara ‘kebaikan’. Sebuah film bisa memberikan pencerahan.
Jadi, saya yakinkan ayah saya, bahwa saya akan meneruskan semangat beliau dalam berdakwah, hanya saja saya dalam media yang berbeda.
Kritik anda terhadap film dakwah yang muncul akhir-akhir ini?
Film dakwah yang sekarang banyak beredar di TV, dalam kacamata orang film, justru terasa ‘mendakwahi’. Semua kebaikan di ungkapkan secara verbal sehingga penonton capek menontonnya, dan justru tidak menimbulkan simpati. Padahal, film punya ‘bahasa’ sendiri. Film punya kemampuan untuk menarik penonton larut dalam dunianya, bahkan menjadi tokohnya, dan seakan-akan mengalami peristiwa di dalamnya. Ingat dulu bagaimana film Rambo membuat penontonnya merasa gagah setelah keluar bioskop? Perasaan itulah yang saya alami waku kecil dulu. Kita menyebutnya ‘pengalaman sinematik’. Bayangkan kalau ‘bahasa’ yang di gunakan Rambo itu, di gunakan pula untuk ide-ide kebaikan. Pasti seru, dan mencerahkan.
Siapa sutradara idola anda? Di dalam negeri dan luar?
Untuk Indonesia, saya punya 2 guru sekaligus idola saya : Garin Nugroho dan Slamet Rahardjo Djarot. Keduanya punya ‘bahasa’ sinema yang berlainan. Mas Slamet suka sekali melihat dari sudut pandang rakyat bawah. Mas Garin suka sekali melihat segala sesuatu secara puitis. Untuk generasi Sutradara masa-masa awal, saya suka sekali film-film Nya Abbas Akup, komedi yang memotret realita sosial.
Untuk sutradara luar negeri, saya tumbuh dengan menonton film-film Steven Spielberg dari kecil hingga remaja (Jaws, Jurassic Park, Indiana Jones). Saya suka sekali dengan dunia yang di ciptakannya. Di jaman kuliah film, saya kagum dengan para sineas dari Iran : Bahman Ghobadi, Abbas Kiarostami, Mokhsen Makhmalbaf. Film-film mereka disebut punya nilai sufistik. Saya sedang mempelajari itu.
Anda memasuki dunia sufi, apa yang melatar belakangi?
Waktu kuliah di IKJ, saya mengalami culture shock. Saya yang dari latar belakang keluarga santri, tiba-tiba bertemu dengan kultur seniman yang sebagian besar atheis. Membicarakan Tuhan itu seakan-akan lucu bagi mereka. Pemikiran, filsafat, menjadi nomor satu. Saya sempat terpinggirkan dalam pergaulan kampus. Lalu saya menemukan majalah ‘ Cahaya SUFI’ waktu itu, sekitar tahun 2004.
Saya terinspirasi sekali dengan cara pandang dunia sufi yang mereposisi dunia dan akhirat. Allah di hati, dan segala sesuatu selain Allah pada fisik dan pikiran saja. Ini benar-benar solusi buat saya. Hati saya tenang karena menemukan cara penggunaan yang seharusnya. Saya jadi punya pegangan, punya sikap, punya cara pandang baru. Saya jadi tahu posisi saya di dunia film.
Apakah ada nilai-nilai sufi yang menjadi motifasi sineasme anda, seperti apa?
Sufi seringkali memberikan pengajaran sufisme itu dalam dongeng. Dongeng ini menjadi media yang popular di kalangan Sufi. Film sebenarnya tidak lain adalah dongeng itu sendiri. Kelebihannya tentu, dongeng yang di tuturkan bisa kita lihat dan kita dengar. Itu dari segi tekhnis.
Dari segi ide berkesenian, Tugas utama seorang sutradara atau penulis sebenarnya adalah membaca kehidupan, memaknai peristiwa yang terjadi, kemudian menyampaikan gagasan itu dalam filmnya, sehingga memberikan ‘pencerahan’ pada penontonnya. Untuk tugas ini, banyak pembuat film menggunakan cara pandang filsuf untuk memahami kehidupan. Sementara saya, beruntung di izinkan mengenal dunia sufi, sehingga saya punya sikap dan pandangan yang berbeda dari teman-teman saya di sekolah film.
Ingin membikin film2 sufistik, seperti film tentang Rabiah misalnya? Atau Film para wali?
Tentu. Itu salah satu cita-cita besar saya. Kalau di jaman dulu para Ulama menulis kitab manakib yang memberikan teladan pada para umat, di generasi saya, mungkin film biografi semacam itulah yang bisa saya berikan. Semoga.