Dajjal Kecil

Harus dibaca juga..

Pardi sedang mengkhayal sampai langit sap tujuh. Ia tersenyum sendiri melihat bintang-bintang di Langit. Malam sedang menuju titik cahaya fajar shiddiq. Sebelum Fajar menyingsing, Pardi ingin mengakhiri khayalannya, dan tarhim menutupnya. Pardi sholat fajar dua rekaat lalu berdoa, me­nunggu waktu subuh tiba.

Usai berjamaah subuh di Masjid Raudlah, Pardi bergegas menuju kedai Cak San. Ia kelihatan galau, pucat dan menggigil.

“Ada apa Di? Sakit lagi?…”Tanya Cak San.

“Nggak Cak…Hawanya memang dingin ya?”

“Memang.” Kata Cak San singkat.

“Cak. Apakah sampean senang berkhayal juga?”

“Lha. Untuk apa? Menghabiskan waktu saja. Tafakkur boleh, berkhayal jangan…”

“Maksud saya, apa beda khayalan dan tafakkur Cak?”

“Kira-kira saja ya Di. Kalau tafakkur itu terarah, menuju pada hikmah dan berakhir dengan kesadaran kita. Tapi kalau berkhayal itu urusannya dengan dunia, dengan hasrat nafsu kita dan berakhir dengan kecintaan memanjakan diri, dunia, dan ambisi itu sendiri.”

“Yah. Saya setuju Cak. Tapi saya ini bingung, apakah saya mengkhayal apa tafakkur. Lha wong saya tiba-tiba merasa Allah itu begitu jauh, begitu berlapis-lapis yang harus saya lalui, begitu berhijab-hijab…”

“Wah..wah..wah..tanya saja Kang Soleh soal itu Di…”

Pardi  menghela nafas panjang. Ia menunggu Kang Soleh dan Dulkamdi, dan yang lainnya, tentu saja.

Cak San hanya senyum-senyum saja.

Pardi hanya memegang jidatnya.

Satu persatu jamaah kedai kopi mulai masuk. Dulkamdi datang dengan bernyanyi, melanggamkan lagu-lagu cinta sembari berjoged seperti orang baru terima arisan besar.

“Di…..jangan pusing di dunia ini kawan.  Sudah lama dan sudah kuno, orang berpusing-pusing di dunia. Kalau kamu pusingin malah nggak habis-habisnya lapisan kepusingan itu…”

“Lha ini jawaban atas pertanyaan saya yang menimbulkan pertanyaan baru…”

“Alaaah, kamu ini memang bersilat kata terus.”

“Betul, Dul. Kamu bicara lapisan kepusingan, saya sedang merenungkan lapisan hijab Allah…”

“Ngapain kamu pusingin. Wong Gusti Allah itu tidak bisa dihijab oleh apa pun.”

“Terus gimana dong Dul…”

“Tanya aja sama Kang Soleh…bagaimana menjelaskannya. Saya sendiri masih belajar keluar masuk antara hijab dan terbukanya hijab….”

Kang Soleh yang ditunggu ternyata tidak datang. Entah kemana biang satu ini. Di masjid tadi juga tidak kelihatan sedang berjamaah. Apa mungkin dia molor tidurnya? Nggak jelas juga. Pagi itu ia tidak ikut mengapresiasi khayalan Pardi.

“Apa sih Di yang kamu khayalkan sesungguhnya?” celetuk Dulkamdi mengusik.

“Lha iya. Saya merasakan dunia ini seperti menjadi tutup antara diri kita dengan Allah. Alam semesta juga. Kehidupan sehari-hari yang ruwet juga.”

“Kamu benar!”

“Benar darimana, wong tadi kamu bilang salah, Cak San bilang salah.”

“Benar, karena kamu berkhayal menciptakan dunia menurut pikiranmu dan imajinasimu. Coba kamu pikirkan bagaimana alam semesta dan kehidupan nyata ini dari Pandangan Allah…” Pardi tampak gemetar mendengar ceplosan sahabatnya itu.

Lalu Kang Soleh nongol begitu saja  dari dalam dapur, dan langsung mengutip sebuah wacana di Al-Hikam, “Allah itu tidak pernah di tutupi, yang menutupi adalah diri Anda sendiri, dan imajinasi Anda yang Anda sandingkan di depan, disamping, di sisi Allah. Seakan-akan makhluk itu ada, padahal tidak ada. Seakan-akan kamu merasa benar dengan khayalanmu padahal sesungguhnya hanyalah khayal belaka.”

“He! Kang! Benar berarti omongan saya tadi, kan?” kata Dulkamdi.

“Hmmm. Tapi ingat kita ini hidup di dunia. Karena hidup di dunia, ya, jangan membikin ulah, membikin ciptaan-ciptaan baru yang kita khayalkan, nanti bisa jadi berhala, jadi hijab.”

“Kalau kita hidup di dunia, lalu bagaimana dongKang?”

“Kan sudah ada tuntunannya. Kita ini terikat ruang waktu dunia, karena itu kita harus bersyariat sesuai ajaran Nabi. Jangan karena khayalanmu, lalu kamu lepas dari kenyataan hidup, kemudian kamu tinggalkan syari’at demi hakikat. Hakikat itu tempatnya bukan di dunia. Di hatimu. Hatimu perlu ibadah hakikat. Tapi akal, pikiran, indera, fisik, perlu bersyariat, kalau tidak nanti kamu akan dipanggang di neraka, karena kamu menentang. Iblis disuruh sujud kepada Adam sebagai syariat dan sebagai hakikat. Ia menolak. Dan ia yang semua bernama Azazil, berubah nama menjadi Iblis.”

Lalu Kang Sholeh mengutip satu ayat di Al-Qur’an, yang dilagukan dengan suara merdu. “Kullu Man ‘Alaiha Faan. Wayabqoo Wajhu Robbika Dzil-Jalaali Wal Ikram.” Segalanya sirna, dan hanya wajah Allahlah yang abadi.

“Kang, apa strategi kita menghadapi khayalan dan imajinasi kita?” Tanya Pardi.

“Potonglah, buanglah. Karena khayalan itu pintu masuk­nya setan. Jalan-jalan Iblis. Wilayahnya dunia jin. Dan semua itu terlembaga dalam nafsu…”

“Wah, dahsyat ini Kang. Ternyata saya sudah lama hidup dalam khayalan. Semua jadi tampak jelas ya Kang? Allah begitu jelas, dan Maha Jelas…”

”Sudah sembuh kan kamu?”

“Udah Kang. Kenapa baru sekarang Kang Soleh jelaskan?”

“Karena juga takdir Allah…”

…………………………………..

Malam itu amat mencekam. Sekumpulan para Kyai sepuh berkumpul dalam rumah Kyai Mursyid. Dalam situasi demikian biasanya agak gawat.

Hingga tengah malam, parta Kyai itu keluar dengan saling berpelukan erat, menitikkan airmata, dan mengembangkan senyum yang masih menyisakan kepahitan.

Semua santri hanya menduga-duga. Apalagi kalau bukan soal-soal umat yang selama kampanye kemarin diperjualbelikan dengan harga murah. Bahkan kalau perlu nama-nama Allah pun dijual sedemikian murah penuh dengan ejekan kemunafikan. Lebih-lebih lagi jual beli atas nama agama dan syiar juga dijadikan ideologi gerakan Islam yang menelusup ke kalangan anak muda dan kampus. Inilah syetan baru yang yangt telah digerakkan oleh dajjal-dajjal kecil.

Suasana masih mencekam terus hingga dinihari. Pardi dan Dulkamdi usai sholat subuh segera lari seperti maraton menuju kedai Cak San. Apalagi kalau bukan karena ingin menyimak hasil musyawarah semalam suntuk itu. Tapi menyimak dari siapa? Paling-paling menunggu datangnya Kang Soleh yang hanya menjadi pendengar setia acara semalam.

“Bagaimana Kang keputusan semalam itu?”

“Kan sudah diputuskan oleh Kyai Mursyid beberapa tahun lalu Dul…”

“Lhah, sampean ini kok aneh. Bagaimana musyawarahnya baru semalam keputusannya sudah tiga tahun yang lalu. Ini dunia macam apalagi Kang? Sama semakin nggak mengerti deh….”

“Lha biasa dong Dul. Apa yang hendak kita putuskan tahun depan sudah pututuskan oleh Allah di zaman Azali. Begitu saja kan gampang. Kok kamu mikir berat-berat.”

“Iya, juga Kang. Tapi beliau-beliau kan bukan Gusti Allah, apakah tidak menyalahi takdir dan rencana Allah, kok sudah diputuskan tiga tahun silam…”

“Oooow ya tidak. Mereka itu kan orang-orang muqorrobun, sangat dekat dengan Sang Pembuat dan Pemilik Rahasia Takdir. Kalau Allah membukakan rahasia-Nya kepada yang paling dekat dengan-Nya, wajar-wajar saja to. Kamu juga punya rahasia Dul, Di, Cak. Rahasia itu juga Anda simpan, tidak pernah diudal-udal. Kecualiu anda beritahukan kepada orang yang paling dekat dan anda sayangi, kan?”

“Wah, bener juga tuh. Ada bocorannya nggak Kang?”

“Sejak dulu kok hobinya cari bocoran. Kapan kamu jadi hamba yang dekat dengan Allah, memangnya enak kena bocoran itu?”

“Tapi kita ini kan umat kelas kambing, kelas bawah Kang. Nanti gimana dong kalau kejongor ke jurang?”

“Gampang Dul. Kita ini kan digembala oleh mursyid. Jelas akan diselamatkan dari marabahaya to?”

‘Wah gawat Kang kalau begitu. Kita mesti gimana?”

Kang Soleh menghela nafas panjang. Matanya memandang langit-langit kedai itu. Sesekali ia manggut-mang­gut. Lalu airmatanya sudah membenanmkan kelompaknya.

“Keputusannya sudah ditulis di tembok pesantren sana….”

“Kapan Kang?”

“Tiga tahun silam…”

Astaghfirullahal ‘adzim. Jadi Kyai Mursyid benar. Sekarang baru kejadian. Tiga tahun silam adalah isyarat zamannya. Saya tidak menduga sama sekali Kang. Tapi saya masih ingat tulisan disana, “Janganlah kamu ikuti pemimpin, tokoh masyarakat, yang mementingkan kepentingan anak-anak, keluarga dan dirinya saja. Mereka adalahdajjal-dajjal kecil….”

Kang Soleh hanya tersenyum.dajjal-dajjal kecil tersebar dimana-mana. Dikalangan mereka yang sedang mencari peluang untuk menuntaskan ambisi pribadinya. Di kalangan mereka yang sok berjubah dan berdalil agama, di kalangan mereka yang meneriakkan kata-kata mutiara dan kebenaran, tetapi untuk dijualbelikan dengan harga dunia yang hina. Di kalangan orang-orang yang bertampang religius, bahkan memahami dunia sufi, namun lebih senang melakukan peng­khianatan-pengkhianatan pada ummat.

“Apakah kita akan selamat dari dajjal-dajjal kecil itu Kang…uhuk..uhuk..uhuk….” Pardi menangis.

“Insya Allah orang-orang yang dekat dengan Allah dan Rasulullah diselamatkan oleh Allah. Mereka yang meng­atasnamakan Allah tetapi justru menjauh dari kepentingan Allah malah tidak diselamatkan. Inna Lillahi wa Innaa Ilaihi Roji’un. Lihatlah Dul, Di, Cak…mega,mendung, mabut, semuanya menjadi selimut bumi yang mengerikan. Awan hitam, ombak lautan, badai dan taufan, gunung-gunung yang meletus. Semua itu isyarat zaman. Tapi saat itulah sesungguhnya waktunya, sang hamba menyatu dengan Allah, dalam musyahadah dan ma’rifatnya. Mari kita perbanyak dzikrullah, mohon ampun kepada-Nya, mohon diridloi oleh-Nya. Yang sungguh-sungguh lho. Jangan seperti kepura-puraan dalam pagelaran dzikir di TV itu…..”

Next Post

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Top Stories

ADVERTISEMENT

Login to your account below

Fill the forms bellow to register

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.