“Kenapa ya Dul, akhir-akhir ini saya malas banget untuk sholat. Kadang seminggu sekali bisa dihitung jari, kalau saya sholat. Apa karena saya kurang khusyu’ Dul?”
“Itu soal klasik Di. Sejak manusia lahir di bumi sudah begitu. Suka malaslah, suka ngeluhlah, suka tidak berterimakasih kepada Allah-lah. Yah, suka-suka seperti kamu itu Di,” jawab Dulkamdi.
‘Yang lebih aneh lagi, saya meninggalkan sholat itu rasanya tanpa beban. Malah tambak nikmat”
“Nah, kalau yang itu, pasti karena nafsumu sudah menyatu dengan darah dagingmu…ha..ha…”
“Saya serius Dul!”
“Saya juga serius.”
“Lha kok tertawa segala?”
“Karena kamu lebih lucu ketimbang Srimulat!”
“Yang lucu apanya?”
“Lha wong sholat itu milikmu, kok kamu buang, lalu kamu ambil lagi, kamu buang lagi, kamu ambil lagi, lalu….”
“Stop-stop Dul! Mbok saya dicarikan jalan keluar…”
“Banyak jalan keluarnya, tapi kamu juga nggak mau keluar. Apa gunanya?”
Keduanya hampir berbarengan menyeruput wedang kopi. Mereka terdiam. Dulkamdi tenang-tenang saja mendengar pengalaman Pardi itu. Sebab dulu-dulu ia, pernah mengalami seperti itu. Sehingga ia tidak merasa heran.
Cak San menyimak benar diskusi ngalor ngidul itu. Ia tak bis menahan untuk tidak komentar.
“Di, kamu jangan mendekat pada sholat kalau kamu masih mabuk…”
“Saya tidak pernah mabuk Cak!”
“Maksudku, nafsumu itu yang mabuk. Sehingga keyakinan dan tujuanmu menuju kepada Allah seperti kunang-kunang yang berputar di hatimu, sehingga Allah hanya tampak remang-remang belaka.”
Mendengar celetukanCak San yang lugu itu, tiba-tiba Kang Soleh yang sedari tadi hanya diam seribu bahasa, meledak tertawanya.
“Nah, itu baru pandangan jenius. Jangan dikira Cak San si penyeduh kopi ini bukan seorang mufassir (ahli tafsir) hebat? Ini baru tafsir sufi yang dahsyat..ha..ha..ha….”
“Jadi saya harus bagaimana Kang!” sela Pardi.
“Ya tidak bagaimana…bagaimana…”
“Lha?”
“Cukup turuti nasehat Cak San. Kata Ibnu Athaillah, begini, “Bagaimana engkau berjalan menuju kepada Allah, kalau dipunggungmu itu penuh dengan beban-beban berat yang menimpamu yang berisi syahwat dan nafsu?”
Pardi baru faham, ternyata demikian yang dimaksud Cak San. Beban-beban nafsu bisa membuat kita mabuk dengan syahwat, dunia dan segala hal selain Allah. Kemabukan itulah yang menyebabkan kita terhalang untuk menuju kepada Allah. Allah di hadapan kita, hanya laksana kunang-kunang yang berputar alias sesuatu yang membuat pusing, sehingga hamba begitu jauh dengan Allah.
“Apa yang harus saya lakukan Kang?”
“Kamu ini sudah diberi jalan keluar, malah bengong!”
“Tolong Kang, sekali saja, barangkali ada pintu lain lagi agar saya bisa lebih memahami….”
“Carannya? Caranya ya kamu harus melawan hasrat nafsumu yang mendorong kamu untuk malas, enak-enakan, dan acuh tak acuh dengan perintah dan larangan Allah. Makanya kamu harus menjaga taubatmu setiap hari, lalu kamu belajar wira’i. Tahu wira’i. Wara’ atau wira’i itu adalah sikap dan tindakan yang berselaras dengan aturan-aturan Allah. Dua hal itulah yang menjadi modal agar kamu istiqomah. Taubat, wara’ dan istiqomah itulah pedang-pedang terhunus yang siap melawan nafsu malasmu untuk beribadat.”
“Begitu ya Kang…”
“Memang kamu sejak kecil tidak diajari beristighfar Di. Jadi kamu lupa dengan taubat…” sela Dulkamdi.
Pardi hanya mesam-mesem saja. Tapi peserta majlis kopi yang lain juga kaget dengan pengetahuan yang baru saja mereka terima dari Kang Soleh. Dan apa yang dialami Pardi sesungguhnya juga sering dialami banyak hamba Allah.