Assalamu’alaikum Wr Wb.
Saya seorang penempuh Jalan Ilahi yang sangat pemula. Rasanya kotor jiwa ini membuat saya sering naik turun, bahkan ketika ingin bangkit ibadah saja masih ada
rasa senang dengan pujian kawan, senang kalau dilihat saya sudah sedikit berubah, pokoknya masih ada pamer-pamernyalah. Saya jadi malu Pak Ustadz, bagaimana caranya membuang karakter seperti itu? Apakah kebaikan saya nanti diterima oleh Allah swt, kalau saya beribadah dan patuh ini sesungguhnya tidak ikhlas, masih campur aduk dengan hal-hal dan kepentingan lain?
Sekian Pak Ustadz semoga Allah swt, membukakan Jalan hidayah dan menjaga hati kami. Amin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Tuan Madrim
Di Purwokerto (Alamat lengkap di redaksi)
Jawab
Riya’ itu memang njlimet. Banyak orang ahli ibadah yang terpleset oleh riya’. Pada saat yang sama ia merasa sangat dekat dengan Allah swt. Karena itu harus ada perlawanan. Makanya kalau beribadah atau berbuat baik, jangan pernah diingat lagi, jangan pernah minta ganti rugi pada Allah swt, dan jangan merasa puas.
Ada seorang Sufi sedang dipuji oleh kawannya di depan jama’ahnya. Ia merasa senang dipuji ketika itu. Setelah itu beliaunya malah berjuang selama 40 hari untuk membuang rasa senang atas pujian itu. Karena rasa senang itu dianggapnya sebagai racun yang merusak jiwanya dengan Allah Ta’ala.
Riya’ juga bisa menumbuhkan dan menyuburkan kemunafikan. Betapa banyaknya tokoh-tokoh yang mengaku tokoh Islam, cendekiawan atau Ulama, yang terjerembab ke jurang kemunafikan hanya gara-gara riya’.
Makanya Syeikh Abdul Qadir Al-Jilany pernah berwasiat, “Anak-anak sekalian… Engkau berharaplah kepada Allah Azza wa-Jalla dengan ibadahmu, sedangkan anda menyertakan kelalaian, riya’, kemunafikanmu. Kalian meraih kemuliaanNya dengan kaum sholihin sementara kerusakan dirimu menyertaimu. Apa yang sebenarnya kalian perbuat? Kalian berdzikir dengan mereka, dan mengaku mengikuti ma’rifat mereka? Sungguh dusta kalian yang telah keluar dari lingkaran orang-orang yang ikhlas dan manunggal pada Allah dari kalangan ummat ini…!
Ingat! Menangislah, dan duduklah anda merenungi tragedi ini. Anda memakai pakaian orang mulia, mereka pun bersama kalian? Sungguh anda telah terhalang, dan sirna tanpa berita.
Celaka anda ini. Apa yang ada dibenakmu? Di pikiranmu? Kepada siapa anda mengadu? Kepada siapa anda minta tolong? Dengan siapa anda tidur? Jika ada bencana dahsyat siapa yang anda jadikan pegangan. Ada yang memberitahu kepadaku, aku mengenal kebohonganmu dan kemunafikanmu. Anda dan yang lain ada semua di hadapanku mestinya seperti pandir yang jujur. Lalu saya sebagai pengawas, jika si pandir hendak membawaku ke pasar, mengajakku berjual beli, silakan. Jika ia hendak mengambil bajuku dan apa yang ada di tanganku bahkan memerintahkanku, silakan. Tapi anda bukan si jujur, anda tak punya iman tidak pula punya tauhid. Lalu saya bekerja dengan anda? Sungguh anda tak lebih dari kayu bakar kering, tidak layak apa pun kecuali hanya untuk api.
Diatara kalian ada yang menyembah dunia, menyenangi keabadian dunia dan takut jika dunia sirna. Dan satu lagi diantara kalian yang menyembah makhluk, takut pada sesama dan menambatkan harapan bukan pada Allah tapi pada makhluk Allah. Ada lagi yang menyembah syurga, dengan harapan akan nikmatnya syurga tetapi tidak berharap kepada Sang Pencipta syurga. Ada pula yang menyembah neraka, takut pada neraka tapi tidak takut pada Pencipta neraka. Apakah makhluk itu, apa pula syurga itu, dan apa pula neraka itu? Apa pula segala hal selain Allah?
Allah Azza wa-Jalla berfirman:“Kamu sekalian tidak diperintahkan kecuali agar menyembah Allah dengan ikhlas kepadaNya dalam agama dengan lurus.” (Al-Bayyinah 5)
Orang yang ‘arif dan ‘alim senantiasa beribadah kepadaNya hanya untukNya bukan lainNya. Mereka mewujudkan hak-hak RububiyahNya dan Ubudiyahnya sebagai wujud atas perintahNya dan dalam rangka mencintaiNya, tidak ada makna atau motif lainnya, memohon pertolongan hanya kepadaNya dan meninggalkan selainNya. Tetapi kalian adalah sosok tanpa nyawa, kalian tampak lahiriyah, tapi kaum Sufi lebih pada nuansa batinnya. Kalian bangga dengan bangunan, sedangkan mereka justru pada maknanya. Kalian tampak jelas, mereka malah tersembunyi.
Kaum sufi adalah tokoh-tokohnya (pendukung utama) para Nabi, baik dari sisi kanan maupun kiri, depan maupun belakang, dan seluruh sisa makan dan minuman para Nabi, merekalah yang mengkonsumsi. Karena itu mereka mengamalkan ilmu para Nabi, sehingga mereka sebagai pewaris Nabi. Nabi saw bersabda: “Ulama adalah pewaris para Nabi” (HR. Ibnu Majah)
Jika mereka mengamalkan ilmu para Nabi maka mereka adalah khalifah, pewaris dan yang menggantikan posisi para Nabi (bukan kenabiannya, red).
Ingat! Tidak cukup dengan pengetahuan belaka, sebagaimana tidak ada gunanya dakwaan tanpa bukti, tidak berguna pula ilmu tanpa amal. Dalam hadits Nabi SAW disabdakan:
“Ilmu mengalir dengan amal manakala seseorang meresponnya, jika tidak maka akan pergi meninggalkannya.”
Ilmu ditinggalkan berkahnya, tinggal pelajaran belaka, kulitnya belaka, sedangkan isinya sirna. Hai orang yang menanggalkan amal bagi ilmunya. Di antara kalian menfasihkan, mensastrakan dan mengindahkan bahasa, tetapi tanpa amal dan keikhlasan, padahal jika hatimu sirna, sirna pula jasadmu. Karena hati adalah raja bagi tubuh, jika raja pergi menghilang, pergi pula rakyatnya.
Ilmu ibarat kulit, bijinya adalah amal. Bahwa kulit itu untuk menjaga isi, dan isi dipelihara agar keluar minyaknya. Jika pada kulit sudah hilang isinya, apa yang bisa anda lakukan? Jika dalam biji tidak keluar minyaknya, apa yang anda perbuat?
Ilmu telah hilang, karena jika amal telah sirna hilang pula ilmunya. Sungguh sangsi, jika anda memelihara dan menekuni ilmu tanpa mengamalkannya.”
Demikian Syeikh Abdul Qodir Al-Jilany berwasiat.