Apa Dia Itu Ma’rifat, Ya?

Kemarin pagi, Pardi mengikuti diskusi di kedai kopi Cak San, hatinya cukup gemerah, karena ada peminum kopi yang cukup hebat bicara soal tasawuf, ngalor ngidul sampai ke ujung langit.

Harus dibaca juga..

“Weeh, orang ini sudah ma’rifat bener ya?” Tanyanya dalam benak Pardi.
Pagi ini ia lagi merenungkan semua kata-kata orang itu, begitu membubung tinggi. Hebat sekali.
Dulkamdi datang mengagetkan Pardi. Sambil senyum-senyum ia mulai ngledhek makelar sepeda onthel ini. “Di, kamu mikir apa lagi? Harga sepeda semakin naik kan? Apalagi sepeda kuno…”

“Tafakkur Dul… Tafakkur…”
“Hahahaha… Tafakkur kok mukanya asem, Di.”
“Ini kan asem menjelang manis, Dul. Gimana kamu itu…”

Dua sahabat itu asyik dengan candanya. Kang Soleh ikut nimbrung. “Minggu-minggu ini Kang Soleh banyak diam. Kemarin ada orang ngopi yang bicara tasawuf setinggi langit, Kang Soleh juga diam. Kenapa sih, Kang?” celethuk Pardi.

“Kalau diam lebih baik, ya harus diam. Kalau bicara lebih baik, ya bicara.”
“Hahh, alasan klasik, Kang…”
Mereka akhirnya terdiam semua.
“Asyik kan, kalau pada diam…? Hehehe…” kata Kang Soleh.
“Komentar dong, Kang, soal kemarin itu, tamu yang ngopi itu, lho. Dia itu ustadz, kyai, atau orang yang ma’rifat ya Kang?”
“Ya kamu rasakan sendiri. Nggak usah pikir panjang. Husnudzon saja. Malah kamu dapat berkah.”
“Maksudnya?”

“Kan sudah dijelaskan dalam pengajian di pesantren, Terkadang, ada seseorang  mengambil berkah kemuliaan dengan mengungkapkan tahapan ruhani (maqam), juga ada juga orang yang sudah wushul, mengungkapkan tentang maqam itu. Hal demikian sulit dibedakan, kecuali oleh orang yang memiliki matahati yang terang.”

“Ini menunjukkan bahwa tidak setiap orang yang mampu mengungkapkan maqam-maqam dunia sufi itu, berarti ia telah meraih maqam tersebut, atau telah wushul pada Allah Swt (orang yang dibukakan ma’rifatullah) atau telah meraih hakikat. Belum tentu. Namun ia hanya mengambil berkah kemuliaan maqam itu, dengan cara mengungkapkannya.”

“Namun memang ada juga yang mengungkapkan wacana maqomat itu, memang karena ia sendiri telah wushul pada Allah Swt. Untuk mengetahuinya, sangat sulit, karena serupa. Kecuali orang yang memiliki matahati yang terang, yang bisa membedakannya.”

“Wah, ini repot, Kang, mbok dikasih tanda-tanda gitu…”
“Nanti kalau kamu tahu tanda-tandanya malah sering curiga, dan kamu bisa merasa lebih hebat dari orang itu…”
“Repot memang bicara sama sampean ini, Kang…”“Itu lho, ucapan Syeikh Zarruq tanda-tanda orang yang mengungkapkan maqam tersebut, jika belum meraih wushul, menurut Syeikh Zarruq ra, ada tiga:

Ketika mengungkapkan maqomat itu tampak semangat dengan rasa gembira.
Ketika menyatakannya tampak sempit maknanya, yang sesungguhnya begitu luas.
Ia tampak mencari-cari faktor lain untuk meraih maqomat itu.”

“Oleh sebab itu, bagi para pemula (salik), seharusnya ia menahan diri untuk mengungkapkan maqamat tertentu, karena bisa berbahaya bagi dirinya sendiri.”

“Nah kalau masih kurang jelas, renungi kata-kata Ibnu Athaillah: ‘Bagi sang salik (penempuh) tidak seyogyanya mengungkapkan anugerah-anugerah ruhaninya (warid), sebab hal demikian membuat amal hatinya semakin sempit, dan bisa menghalangi kebenaran kebersamaanya dengan Allah Swt.’”

“Seorang murid (penempuh) seharusnya merahasiakan ilmu, amal, dan kondisi ruhaninya ketika meraih anugerah, sebab ketika mengungkapkannya malah jadi membuat ikhlasnya berkurang, sementara ketika menyatakan pengalaman ruhaninya, menujukkan betapa ia belum benar bersama Tuhannya.”

“Banyak dampak negatif ketika seseorang mengungkapkan pengalaman batinnya kepada orang lain, kecuali dalam rangka untuk pendidikan dirinya, agar ia tidak terjebak dalam khayalannya sendiri. Diantara dampak itu antara lain:

Seseorang bisa bangga dengan anugerah batinnya, yang bisa menimbulkan takjub dan riya’.

Ia malah terjebak untuk merngandalkan amal ruhaninya, bukan mengandalkan Allah Swt.
Ia akan terjerumus ghurur (tipudaya) karena merasa dirinya telah sampai pada tujuan hakikat, padahal baru sampai gerbangnya.
Ia menjadi takabur, karena merasa lebih hebat dibanding yang lain.
Perjalanan ruhaninya mandheg (terhenti) dan akhirnya jadi pengkhayal dan pelamun.”

“Nah, gitu dong, Kang. Semua saya catat tadi, Kang.”
“Catat di hatimu…” kata Kang Soleh.

(M. Luqman Hakim – Sufi Center Jakarta)

 
Next Post

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Top Stories

ADVERTISEMENT

Login to your account below

Fill the forms bellow to register

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.