Imam Al-Ghazali
Allah swt. berfirman: “Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi.” (Q.s. Al-Qashash: 83).
Rasulullah saw bersabda:
“Cinta harta dan tahta dapat menimbulkan kemunafikan di dalam hati, sebagaimana air dapat menumbuhkan sayur-mayur.”
Sabdanya yang lain, “Serigala yang buas yang dilepas di kandang kambing tidak lebih berbahaya daripada cinta harta dan tahta dalam kehidupan agama seseorang.”
Sabdanya, “Sesungguhnya penghuni surga itu adalah setiap orang yang berambut kusut dan hanya memiliki dua potong baju yang telah lusuh. Apabila mereka mau menemui penguasa, mereka ditolak, dan la meminang wanita, mereka tidak mampu menikahinya, dan bila berkata tidak dihiraukan orang. Kebutuhan salah seorang dari mereka “ adalah gemuruhnya dada, dan andaikata nurnya dibagi-bagikan kepada sesama manusia pada hari Kiamat, tentu akan memadai.”
Sulaiman bin Handzahalah berkata, “Suatu ketika kami berjalan di belakang Ubay bin Ka’ab. Tiba-tiba Umar bin Khaththab melihatnya, lalu memanggilnya seraya menawarkan susu kepadanya.
Ubay bin Ka’ab pun berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, apa yang anda lakukan?’ Umar berkata, ‘Ini (susu) adalah sumber kehinaan bagi yang mengikuti dan menjadi fitnah bagi yang diikuti’.”
‘Al-Hasan berkata, “Sebenarnya suara sandal di belakang seseorang tidak kurang darinya, menunjukkan hati orang-orang sombong.”
‘ Abu Ayub berkata, “Demi Allah, tidaklah seorang hamba itu dibenarkan Allah, kecuali hatinya, bahwa dirinya tidak mengerti kedudukannya.”
Sungguh, betapa tercelanya popularitas dan kedudukan itu, kecuali Allah mempopularitaskan hamba-Nya di bidang agama, tanpa dicari seperti halnya kemasyhuran yang diberikan kepada para Nabi, Khulafaur-Rasyidin, ulama dan wali.
Hakikat Tahta
Hakikat tahta dan kedudukan adalah penguasaan terhadap hati orang lain sehingga tunduk kepadanya karena tahtanya, dan memujinya dengan ucapan serta berusaha memenuhi segala keinginannya sesuai perintahnya. Seperti harta, maknanya adalah kepemilikan dirham demi mencapai tujuan-tujuannya.
Demikianlah, tahta merupakan penguasa hati. Hanya saja, tahta lebih dicintai dibanding harta, karena bisa mendatangkan harta kekayaan. Hal itu disebabkan beberapa faktor, antara lain:
Dengan tahta, orang akan lebih mudah untuk meraup harta kekayaan, tetapi belum tentu dengan kekayaan seseorang dapat meraih jabatan secara mudah.
Tahta lebih aman dan terpelihara dari pencurian, perampasan dan bencana lainnya, berbeda dengan harta kekayaan yang senantiasa menjadi incaran para pencuri clan perampok.
Tahta lebih mudah untuk berkembang dan cepat menanjak, tanpa melalui proses berbelit-belit. Berbeda dengan harta yang perkembangannya memerlukan pencurahan pikiran, tenaga clan waktu.
Tahta berarti ketinggian atau kemuliaan. Sifat ini secara teologis merupakan sifat Allah swt. Dan setiap manusia, secara naluriah pasti mencintai sifat-sifat Allah swt. Bahkan sifat tersebut telah menjadi instrumen untuk meraih segalanya. Karena pada sifat tersebut ada rahasia samar, keterkaitan antara ruh dengan persoalan-persoalan ketuhanan. Dalam hal ini Allah berfirman, “Katakanlah, bahwa ruh itu urusan Tuhanku.” (Q.s. Al-Isra’: 85).
Tahta adalah perkara ketuhanan, yang memberi pesona pada watak, sebagai wahana kediktatoran dan satu-satunya eksistensi wujud. Itulah hakikat ketuhanan, karena tiada wujud lagi di sisi Allah. Bahkan semua yang maujud ini, hanyalah sebagai bayangan dari cahaya kekuasaan (qudrat). Dan bayangan itu hanya bersifat mengikuti, bukan pada dataran menyertai. Karena itu, tiada wujud lain yang menyertai Allah swt.
Manusia memiliki ambisi seperti itu. Bahkan pada jiwanya muncul egoisme seperti ucapan, “Akulah tuhan kamu sekalian yang luhur!” Namun Fir’aun kemudian memperjelas, dan manusia lain menyamarkan.
Tetapi manakala terputus dari sikap “satu-satunya dalam wujud” (yang paling), la tetap berambisi meraih keluhuran dan tahta di atas segalanya di dunia, agar ia bisa meraih apa yang dikehendakinya. Dan sikap demikian berarti memasuki wahana ketuhanan.
Sayang, manusia tidak mampu menundukkan semua itu, terhadap wujud di langit, bintang-bintang, lautan clan bukit-bukit. Lantas manusia tetap berambisi menguasai semua itu melalui ilmu pengetahuan. Sebab ilmu merupakan ragam dari kekuasaan. Seperti seseorangyang tidak mampu meletakkan sesuatu yang ajaib, akhirnya tetap berambisi bagaimana cara meletakkannya. Lalu la berambisi mengenal keajaiban-keajaiban laut clan keajaiban di perut bukit. Dan itu terproyeksi ketika manusia menundukkan bumi, hewan dan tambang serta tumbuh-tumbuhan.
Manusia menjadi sangat ingin memiliki dan memindahkan, dengan suatu proyeksi bahwa manusia telah menundukkan itu semua, dan pada saat yang sama penguasaan itu terbayang lewat hatinya. Hatinya pun dikaitkan dengan nuansa keagungan yang dikokohkan melalui perilakunya yang penuh kebesaran clan keagungan, diikuti oleh keyakinan akan keparipurnaan kekuasaannya, menebarkan pengaruhnya, sampai menjangkau negeri-negeri yang belum pernah diinjaknya clan penduduknya belum dikenal.
Semua itu merupakan ambisinya untuk berkait dengan sifat-sifat ketuhanan. Kadang-kadang sifat demikian lebih dominan, sementara nafsu-nafsu hewaninya justru melemah.