Tarekat Alawiyyah berbeda dengan tarekat sufi lain pada umumnya. Perbedaan itu, misalnya, terletak dari praktiknya yang tidak menekankan segi-segi riyadlah (olah ruhani) dan kezuhudan, melainkan lebih menekankan pada
amal, akhlak, dan beberapa wirid serta dzikir ringan.
Sehingga wirid dan dzikir ini dapat dengan mudah dipraktikkan oleh siapa saja meski tanpa dibimbing oleh seorang mursyid. Ada dua wirid yang diajarkannya, yakni Wirid Al-Lathif dan Ratib Al-Haddad. Juga dapat dikatakan, bahwa tarekat ini merupakan jalan tengah antara Tarekat Syadziliyah [yang menekankan riyadlah qulub (olah hati) dan batiniah] dan Tarekat Al-Ghazaliyah [yang menekankan riyadlah al-‘abdan (olah fisik)].
Tarekat Alawiyyah merupakan salah satu tarekat mu’tabarah dari 41 tarekat yang ada di dunia. Tarekat ini berasal dari Hadhramaut, Yaman Selatan dan tersebar hingga ke berbagai negara, seperti Afrika, India, dan Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Tarekat ini didirikan oleh Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir – lengkapnya Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir — , seorang tokoh sufi terkemuka asal Hadhramat pada abad ke-17 M. Namun dalam perkembangannya kemudian, Tarekat Alawiyyah dikenal juga dengan Tarekat Haddadiyah, yang dinisbatkan kepada Sayyid Abdullah al-Haddad, selaku generasi penerusnya. Sementara nama “Alawiyyah” berasal dari Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir.
Tarekat Alawiyyah, secara umum, adalah tarekat yang dikaitkan dengan kaum Alawiyyin atau lebih dikenal sebagai saadah atau kaum sayyid – keturunan Nabi Muhammad SAW – yang merupakan lapisan paling atas dalam strata masyarakat Hadhrami. Karena itu, pada masa-masa awal tarekat ini didirikan, pengikut Tarekat Alawiyyah kebanyakan dari kaum sayyid (kaum Hadhrami), atau kaum Ba Alawi, dan setelah itu diikuti oleh berbagai lapisan masyarakat muslim lain dari non-Hadhrami.
Tarekat Alawiyyah juga boleh dikatakan memiliki kekhasan tersendiri dalam pengamalan wirid dan dzikir bagi para pengikutnya. Yakni tidak adanya keharusan bagi para murid untuk terlebih dahulu diba’iat atau ditalqin atau mendapatkan khirqah jika ingin mengamalkan tarekat ini. Dengan kata lain ajaran Tarekat Alawiyyah boleh diikuti oleh siapa saja tanpa harus berguru sekalipun kepada mursyidnya. Demikian pula, dalam pengamalan ajaran dzikir dan wiridnya, Tarekat Alawiyyah termasuk cukup ringan, karena tarekat ini hanya menekankan segi-segi amaliah dan akhlak (tasawuf ‘amali, akhlaqi). Sementara dalam tarekat lain, biasanya cenderung melibatkankan riyadlah-riyadlah secara fisik dan kezuhudan ketat.
Oleh karena itu dalam perkembangan lebih lanjut, terutama semasa Syekh Abdullah al-Haddad – Tarekat Alawiyyah yang diperbaharui – tarekat ini memiliki jumlah pengikut yang cukup banyak seperti di Indonesia. Bahkan dari waktu ke waktu jumlah pengikutnya terus bertambah seiring dengan perkembangan zaman. Tarekat Alawiyyah memiliki dua cabang besar dengan jumlah pengikut yang juga sama banyak, yakni Tarekat ‘Aidarusiyyah dan Tarekat ‘Aththahisiyyah.
Biografi Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir
Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir (selanjutnya Imam Ahmad) adalah keturunan Nabi Muhammad SAW melalui garis Husein bin Sayyidina Ali bin Abi Thalib atau Fathimah Azzahra binti Rasulullah SAW. Ia lahir di Basrah, Irak, pada tahun 260 H. Ayahnya, Isa bin Muhammad, sudah lama dikenal sebagai orang yang memiliki disiplin tinggi dalam beribadah dan berpengetahuan luas. Mula-mula keluarga Isa bin Muhammad tinggal di Madinah, namun karena berbagai pergolakan politik, ia kemudian hijrah ke Basrah dan Hadhramaut. Sejak kecil hingga dewasanya Imam Ahmad sendiri lebih banyak ditempa oleh ayahnya dalam soal spiritual. Sehingga kelak ia terkenal sebagai tokoh sufi. Bahkan oleh kebanyakan para ulama pada masanya, Imam Ahmad dinyatakan sebagai tokoh yang tinggi hal-nya (keadaan ruhaniah seorang sufi selama melakukan proses perjalanan menuju Allah—red).
Selain itu, Imam Ahmad juga dikenal sebagai seorang saudagar kaya di Irak. Tapi semua harta kekayaan yang dimilikinya tak pernah membuat Imam Ahmad berhenti untuk beribadah, berdakwah, dan berbuat amal shaleh. Sebaliknya, semakin ia kaya semakin intens pula aktivitas keruhanian dan sosialnya.
Selama di Basrah, Imam Ahmad sering sekali dihadapkan pada kehidupan yang tak menentu. Misalnya oleh berbagai pertikaian politik dan munculnya badai kedhaliman dan khurafat. Sadar bahwa kehidupan dan gerak dakwahnya tak kondusif di Basrah, pada tahun 317 H Imam Ahmad lalu memutuskan diri untuk berhijrah ke kota Hijaz. Dalam perjalanan hijrahnya ini, Imam Ahmad ditemani oleh istrinya, Syarifah Zainab binti Abdullah bin al-Hasan bin Ali al-Uraidhi, dan putra terkecilnya, Abdullah. Dan setelah itu ia kemudian hijrah ke Hadhramaut dan menetap di sana sampai akhir hayatnya.
Tapi dalam sebuah riwayat lain disebutkan, sewaktu Imam Ahmad tinggal di Madinah Al-Munawarrah, ia pernah menghadapi pergolakan politik yang tak kalah hebat dengan yang terjadi di kota Basrah. Pada saat itu, tepatnya tahun 317 H, Mekkah mendapat serangan sengit dari kaum Qaramithah yang mengakibatkan diambilnya Hajar Aswad dari sisi Ka’bah. Sehingga pada tahun 318 H, tatkala Imam Ahmad menunaikan ibadah haji, ia sama sekali tidak mencium Hajar Aswad kecuali hanya mengusap tempatnya saja dengan tangan. Barulah setelah itu, ia pergi menuju Hadhramaut.