Al-Junayd Al-Baghdady: TAUHID (2)
Al-Junayd berkam, “Kata-kata paling mulia dalam tauhid adalah apa yang telah diucapkan olch Abu Bakr ash-Shiddiq na, ‘Maha Suci DzatYang tidak menjadik jalan bagi makhluk-Nya untuk mengenalNya, kecuali dengan cara merasa tak berdaya rnengenal-Nya.”
Al-Junayd mengomentarinya, “Dimaksudkan oleh Abu Bakr ash-Shiddiq r.a. bahwa Allah swc. itu tidak bisa dikenal. Sebab rnenurut ahli hakikat, yang dimaksud dengan tak berdaya, adalah tak berdaya dari maujud, bukan tak berdaya dalarn arti tiada sama sekali (ma’dum). Seperti tempat duduk, ia tak berdaya dari dudukanya seseorang. Karena ia tidak bisa berupaya dan berbuat. Sedangkan duduk itu sendiri maujud di dalamnya. Begitu pula orang yang ‘arif (mengenal Allah swt.) tak berdaya dengan ma’rifatnya. Sedangkan merifat itu maujud di dalam dirinya, karena sifatnya yang langsung. Menurut kalangan Sufi, ‘Ma’rifat kepada Allah swt. pada ujung terakhimya adalah bersifat langsung. Ma’rifat yang dilakukan melalui usaha hanya ada pada permulaan, walaupun rna’rifat itu mencapai hakikat.’
Ash-Shiddiq r.a. sedikit pun tidak memperhitungkan ma’rifat yang disandarkan pada ma’rifat langsung, seperti lampu, ketika matahari terbit dan cahayanya membias pada lamptu itu.”
Al-Junayd berkata, “Tauhid yang dianut secara khusus oleh para Sufi, adalah menunggalkan Yang Qadim jauh dari yang hadits, keluar meninggalkan tempat tinggal, memutus segala tindak dosa, meninggalkan yang diketahui ataupun tidak diketahui, dan Allah swt berada dalarn keseluruhan.”
Al-Junayd berkata, “Ilmu tauhid memisah dengan eksistensinya, dan eksistensinya berpisah dengan ilmunya.”
Al-Junayd berkata pula, “Ilmu tauhid melipat hamparannya sejak duapuluh tahun. Sedmgkan manusia sama-sama membincangkan dalam hatinya.”
Kapan pun Junayd, berbicara tentang keesaan Ilahi, tiap kali ia memulai dengan ungkapan yang berbeda yang tak dapat dimengerti oleh seorang pun. Suatu hari, Syibli berada di majelis Junaid dan mengucapkan kata ‘Allah’.
Junayd berkata, “Jika Tuhan tidak hadir, menyebut “Yang tidak hadir” adalah tanda ketidakhadiran (maksudnya, ketidakhadiran Allah di hati), dan ketidakhadiran adalah sesuatu hal yang terlarang. Jika tuhan hadir, maka menyebut nama-Nya saat membayangkan-Nya hadir (maksudnya, saat Allah hadir di hati) adalah tanda ketidaksopanan.”
(Dari buku PANGERAN SUFI AL-JUNAYD ALBAGHDADY, oleh KHM Luqman Hakim, Cahaya Sufi Jakarta 2015)