Badrul Munir / 34 Th – Mantan Guru Kedigdayaan
Jika Anda memiliki pertanyaan, “apa bedanya antara Sufi dan dukun? ”Sodorkan saja pertanyaan itu ke Badrul Munir. Pasalnya lelaki lajang kelahiran Bogor, yang akrab disapa Munir itu, sebelum bertarekat, ia lama berjibaku di dunia
paranormal, kadigdayan atau ilmu hikmah.
Ilmu Supranatural yang dimiliki Munir sebenarnya effect dari kesungguhannya mendalami Silat Cimande, satu dari empat aliran pencak silat tanah Pasundan. Tiga aliran lainnya adalah Cikalong, Sabandar dan Sera. Kemampuannya memperagakan jurus-jurus pencak silat yang sudah dikenalkan oleh seorang pendekar bernama Kahir sejak tahun 1760 ini membuatnya merasa perlu mendalami ilmu kebal dan ilmu kehadiran atau ilmu hikmah.
Berbagai guru dari berbagai daerah seperti Sukabumi, Cianjur dan Banten, dengan berbagai keahlian, didatanginya. Aneka ragam amalan dari yang berbahasa Jawa, Sunda sampai Arab ia dawam-kan dengan tujuan disegani kawan dan tak dapat dijatuhkan lawan.
Kesohoran Munir sebagai guru silat dan hikmah yang “digdaya” mulai menggema gaungnya, setidaknya dilihat dari jumlah muridnya yang mencapai hingga ratusan orang, atau tamu yang sowan kepadanya mulai dari yang minta penglaris, pengasih sampai calon Bupati yang minta dukungan kadigdayan agar dapat memenangkan pemilihan. Terlebih, guru muda ini selalu tampil terdepan disetiap penggerebegan tempat-tempat judi dan maksiat di daerahnya.
Hanya bermodalkan bacaan-bacaan sejenis, Yaahuu jabardas-jabardis yartatas keris Soleman, den kaya keris mengkana landhepe tangan ingsun, lalu tangan menggebrak meja, musuh akan menjadi ciut dan gagu, atau hanya dengan menggebrak tangan kanan diatas tanah, puluhan lawan yang menyerang akan terpelanting, kocar-kacir, tidak keruan.“Praktis. Setiap malam saya tidur hanya dua jam cuma untuk meladeni tamu yang terus berdatangan,” kata Munir mengenang.
Diantara amalan dan wiridan yang dimiliki, Munir lebih tertarik untuk mengamalkan Hizb Khofiy, Hizb Bahr dan Hizb Nashor karya Imam Abul Hasan Asy-Syadziliy. Mungkin karena alasan “kedahsyatan kekuatan” didalamnya, ketiga hizb itu mendapat tempat istimewa dihati Munir. Tidak hanya itu, dalam diri Munir ada dorongan kuat untuk mengenal siapa Imam Abul Hasan Asy-Syadziliy. “Ada sejenis invisible hand yang mendorong saya untuk mengenal lebih jauh sosok Abul Hasan Asy-Syadziliy, penulis ketiga hizb yang sering saya wiridkan tersebut” tutur Munir.
Pucuk dicita ulam tiba. Dari Majalah Cahaya Sufi, Munir menemukan runtutan silsilah Imam Abul Hasan Asy-Syadziliy pada seorang Mursyid Pengasuh Pesulukun Tarekat Agung (PETA) di Tulung Agung Jawa Timur. Tanpa pikir panjang, mantan mahasiswa IAIN Jakarta ini langsung pergi ke Tulung Agung, dengan satu harapan ia dapat mengasah dan mempertajam lagi ketiga hizib yang sudah rutin diwiridkannya. Sepanjang perjalanan menuju Tulung Agung, Munir memimpikan ketiga hizibnya itu, ibarat sebuah sebuah keris, akan dapat lebih memancarkan pamornya, kelak sekembalinya dari Tulung Agung.
Apa yang didapatinya setibanya di pondok PETA ? Munir dianjurkan untuk suluk, berbai-at dan diminta membuang semua ilmu hikmah atau kanuragan yang pernah dipelajarinya. Sebagai gantinya, ia hanya diberitahu tiga hal yang harus dimohonkannya kepada Allah Swt; Terang hati; Tetap Iman; Selamat didunia dan akhirat, termasuk ketika mewiridkan tiga hizb favoritnya itu. “Ach, apa iya ?,” Munir membatin waktu itu.
Tak mudah awalnya bagi Munir menerima anjuran tersebut, terutama ketika dirinya diminta untuk membuang ilmu kanuragan nya. Ia merasa eman sebab ilmu-ilmu itu didapati nya melalui proses yang panjang, berkeringat dan berdarah-darah. Ia malah lebih memilih memperdalam kedigdayaan ketimbang menyelesaikan studi S1 nya. Apalagi jika dilihat dari sisi materi dan status sosial, mantan aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyyah ini telah mendapatkan semuanya dan merasa nyaman dengan ilmu-ilmu beraroma wingit-mistik dan silat Cimandenya, yang bersilsilah dari Kahir, Rangga, Ace Naseha, H. Abdul Shamad, H. Idris, H. Adjid, H. Zarkasih, H. Niftah dan H. R.A. Sutisna, yang dipunyai itu. [pagebreak]
Mendapat penjelasan bahwa lelaku yang dijalaninya selama ini telah melesat jauh dari hal-hal yang diridlai oleh Allah Swt; berpuasa, tapi tujuannya agar dikunjungi banyak tamu; dapat membuat tubuhnya kebal dari timah panas dan benda-benda tajam. Munir hanya bisa diam, tersipu.
Sesaat kemudian, Munir pun menyadari bahwa ilmu kehadiran yang dipunyainya lebih banyak dibantu oleh kekuatan gaib terutama yang datang dari bangsa jin. Hal ini bisa dilihat ketika ilmu kehadiran nya bekerja, betapa orang yang “dihadiri” (baca; dirasuki), suaranya tiba-tiba berubah menjadi datar tanpa intonasi; kekuatan fisiknya melebihi kekuatan yang sebenarnya; tatapan matanya pun tajam, kosong lurus kedepan; pada tingkatan tertentu orang yang kerasukan mampu berbuat sesuatu yang tak lazim seperti terbang atau melempar benda yang beratnya hingga mencapai ton-tonan hanya dengan sebelah tangan dengan sekali gerakan saja; matanya mendelik hingga hanya terlihat kelopak putihnya saja dan seterusnya. Munir kembali terdiam, tersipu.
Sejak suluk kali pertamanya itulah, ia buang seluruh amalan, semua wiridan yang pernah dipunyainya sebelumnya.
Kini, setelah beberapa kali suluk, Munir mulai memahami pelajaran pertama yang didapatinya ketika baru menapaki Dunia Sufi yakni: Terang hati; Tetap Iman; Selamat didunia dan akhirat. “Tiga hal itu, saya rasa modal pertama dan paling utama untuk setiap manusia yang hidup didunia,” tuturnya. “Tanpa itu semua, manusia akan selalu terjerembab pada jurang-jurang kekonyolan,” tambahnya.
Sesudah beberapa kali mendapat ijazah amalan-amalan tarekat syadziliyyah ia semakin merasakan dirinya bukan apa-apa selain seorang hamba yang lemah, penuh hina dan dina. Ia semakin merasa malu jika ada dorongan halus yang mendorongnya untuk bertanya apakah hatinya sudah bersih dan suci atau sudah di maqom manakah ia kini berada.
Munir juga sangat ketat mewaspadai dirinya dari setiap vested interest yang tanpa disadari bisa merasuki siapa saja termasuk pengamal tarekat sekalipun. Ia tak ingin terperosok pada kekeliruan yang pernah dialaminya, menggunakan “jurus zikir” kepada setiap orang yang datang meminta bantuan batinnya. “Saya geli bercampur sedih ketika melihat ada diantara jamaah tarekat syadziliyyah yang masih sok bergaya dukun, memberi jaminan bahwa kalau dzikir tertentu dibaca sekian kali, maka maksudnya (seperti naik pangkat, ngusir jin, banyak murid atau ramai pembeli) akan tercapai,” ungkap Munir yang kalau saja muak kepada sesama dibolehkan agama ia akan muak (terutama) kepada para pengamal tarekat yang selalu disibukkan oleh urusan-urusan wirid dengan perasaan seolah-olah tengah melakukan kebaikan padahal semua yang dilakukannya itu (sebenarnya merupakan lakulampah dunia para dukun yang) selalu digantungkan pada khasiat, mujarab, bisa begini dan bisa begitu.
Ketika Cahaya Sufi menanyakan kenapa Munir masih mengajarkan Silat Cimande, alasan utama yang disampaikannya karena Guru Ruhaninya, Syeikh Sholahuddin, memintanya untuk terus menularkan kepada orang lain, disamping Silat Cimande yang ada saat ini sudah dibersihkan dari ritual mistik. “Silat Cimande yang saya tularkan sekarang ini tidak lebih dari sebuah amanat dalam membangun dan mengembangkan kepribadian dan karakter mulia anak-anak muda dikampung ini, Mas. Silat itu cuma sebagai sarana mengajak teman-teman (muda) untuk secara bersama-sama “mengunjungi” Allah, Mas,” beber Munir.
Meski sudah lebih dari enam kali bersuluk, sikapnya secara syar’i masih tetap terbilang wajar. Hanya saja memang, ia semakin tegas menjaga jiwa dan nuraninya agar tidak terkotori oleh pengaruh keindahan dan hiruk pikuk dunia. Ia juga selalu menjaga agar tidak berlebihan baik dalam ucapan, tindakan, hasrat dan keinginan.
Yang pasti. berlama-lama bersama Badrul Munir akan membawa kita untuk merenungkan sebuah hadist Nabi Saw: “Betapa banyak amal ibadah yang tampak bersifat ukhrawi tapi sebenarnya duniawi….”