ADAB VS AROGANSI INTELEKTUAL
“Dul, kemarin kedai Cak San ini didatangi oleh sejumlah mahasiswa jurusan akidah dan filsafat. Katanya mereka sudah melahap semua ilmu tasawuf. Karenanya mereka merasa tidak perlu lagi ada guru, tidak perlu mursyid dan bahkan cukup berguru kepada Tuhan saja…”
“Di… Biasa anak muda kan lagi suka berpetualang, nanti kalau sudah kesandung-sandung baru thumukthumuk datang kepada para pembimbing jiwanya,” timpal Dulkamdi.
“Tapi mereka ini sombong-sombong, sok intektual lah… Dan kaum sufi yang ada di desa-desa dianggap ketinggalan zaman, nggak tahulah mereka punya istilah kampus yang saya juga nggak ngerti…”
”Ya nggak apa-apa, cuma ketinggalan zaman. Istilah saja kok repot, Di….”
Dua sahabat itu langsung memesan kopi di kedai Cak San. Tiba-tiba segerombolan mahasiswa itu datang kembali, membuat Pardi dan Dulkamdi terjerengah.
“Saya mau ketemu Kang Soleh, apa ada ya?” “Tunggu saja, Mas. Nanti juga nongol. Mau berdiskusi, berdebat, atau mencari pencerahan, atau mau mencoba kedalaman ilmiyahnya?” kata Pardi nyerocos saja.
“Semuanya, Pak…” jawab salah satu diantara mereka.
“Kalau kamu menang, lalu kamu mau apa?”
“Kalau kami menang dan kalian kalah berdebat, kan berarti kalian harus mengoreksi semua cara pandang kalian…” katanya dengan nada yang cukup acuh dan menohok.
Pardi kelihatan padam mukanya. Dalam hatinya ia berkhayal, kalau kalah jadinya anak-anak muda ini nanti mau apa?
“Tapi kalau kalian kalah?”
“Ya, kami ambil pelajaran…!”
“Kita berdiskusi dulu dengan kami berdua saja, sebelum ketemu Kang Soleh, bagaimana?” tantang Pardi.
Mereka semua tertawa, dan manggut-manggut setengah meremehkan Pardi yang hanya makelar sepeda.
“Saya boleh tanya dulu, atau membuka diskusi?”
“Oh. Silakan Mas…” jawab Dulkamdi.
“Mas sudah pernah menemukan Allah?”
“Lhah! Kalian ini bagaimana? Memang Allah pernah hilang? Kok ditemukan?” Mereka kelihatan kaget dengan jawaban spontan Pardi.
“Allah itu yang bagaimana sih menurut anda?”
“Pertanyaan kalian saja sudah salah. Bagaimana anda menemukan kebenaran kalau cara bertanya anda sudah salah!”
“Salah bagaimana?”
“Pertanyaan “bagaimana” itu tidak layak sama sekali dihadapkan pada sebuah obyek yang namanya Tuhan. Jadi bagaimana orang yang selama ini tidak pernah kenal cahaya, bertanya tentang kegelapan? Karena selama ini anda berada di kegelapan?”
Para mahasiswa itu mulai bingung dan kelihatan semakin antusias. Mereka terdiam dan tercekam oleh ungkapan Dulkamdi yang tidak kalah filosofisnya. “Sekarang anda sudah kenal Allah?”
“Sudah dong!”
“Kalau kalian sudah kenal anda mau apa?” Tanya Pardi.
Sekali lagi pertanyaan Dulkamdi membuat mereka terkena pukulan telak…
“Hehehe…. Kalian diskusi dengan makelar di pasar sepeda saja Mas, jangan berdiskusi dengan Kang Soleh, nanti malah malu. Bagaimana anda mengenal dekat dengan Allah, sedangkan anda, pikiran anda, hati anda, batin anda tak punya sopan santun dengan Allah?” cerocos Pardi.
“Kok anda tahu kalau saya tidak sopan?”
“Karena orang yang menjaga adab dengan Allah, pasti tidak seperti kalian ini,”
“Seperti apa?”
“Ya pokoknya tidak seperti anda semua…”
Mereka mulai gerah, antara panas, emosi dan jengkel, bahkan juga hati kecilnya mulai terusik.
“Anda sudah mendengar ungkapan Ibnu Athaillah asSakndari tentang sopan santun?”
“Belum…!”
“Nah, kalau belum saya perdengarkan kata beliau. “Yang terpenting bukannya tercapainya apa yang engkau cari, tetapi yang penting adalah engkau dilimpahi rizki adab yang baik.”
Lalu Pardi melanjutkan ceramahnya bak seorang profesor di kampus. “Dalam ajaran thariqat Sufi, adalah terwujudnya apa yang diinginkan (sukses), tetapi lebih penting dari itu semua kita dikaruniai adab yang bagus. Baik adab dengan Allah, adab dengan Rasulullah Saw, adab dengan para Syeikh, para Ulama, adab dengan sahabat, keluarga, anak dan isteri, dan adab dengan sesama makhluk Allah Ta’ala. 60 | Seri Kedai Sufi Apa yang ada di sisi Allah Swt, tidak bisa diraih dengan berbagai upaya sebab akibat, namun kita harus mewujudkan adab yang baik di hadapanNya, karena dengan adab itulah ubudiyah akan terwujud. Allah Swt, berfirman: “Agar Allah menguji mereka, manakah diantara mereka yang terbaik amalnya.” (Al-Kahfi: 7), Allah tidak menyebutkan bahwa yang terbaik itu adalah yang terbanyak suksesnya, juga bukan yang terbaik adalah raihan besarnya. Rasulullah Saw, bersabda: “Taqwalah kepada Allah dimana pun engkau berada, dan ikutilah keburukan itu dengan kebajikan, sehingga keburukan terhapus. Dan bergullah dengan sesame manusia dengan akhlak yang baik.” (Hr. Imam Ahmad, dan At-Tirmidzy).
Seluruh proses adab itu adalah menuju keserasian dengan sifat-sifatNya, dan inilah yang disebutkan selanjutnya oleh Ibnu Athaillah:“Tak ada yang lebih penting untuk anda cari dibanding rasa terdesak, dan tidak ada yang lebih mempercepat anugerah padamu ketimbang rasa hina dan rasa faqir padaNya.” Sikap terdesak, hina, fakir, itulah yang membuat anda terus kembali kepada Allah Swt tanpa sedikit pun faktor yang menyebabkan rasa tersebut muncul. Dan sebaik-baik waktu tentu saja, —sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Atyhaillah dalam Al-Hikam pula— adalah waktu dimana anda menyaksikan sifat butuh anda kepada Allah, dan dikembalikan pada wujud hinamu di hadapanNya.”
Para mahasiswa itu mulai kelihatan menyerah. Satu sama lain saling memandang, diantaranya ada yang bergumam, “Wah kita mau KKN untuk memberi kuliah dunia Sufi, malah kita dikuliahi. Lagi apa yang dikatakan oleh Mas itu tadi tidak pernah kita dengar di bangku kuliah. Apa kita mondok saja ya di sini…?”
Pagi itu, Pardi dan Dulkamdi masing ingat katakata Kang Soleh, bahwa orang yang hanya membaca dan mendalami ilmu tasawuf tanpa berthariqat akan kosong mlompong, namun mengira mereka sudah ma’rifat. “Wah… wah…wah… Bener juga, kenyataannya sekarang ada didepan saya… Hehehe… Makanya anak-anak ini hatinya dikuasai nafsu intelektual, dan kesombongan ilmiyah. Wah dasar anak masih terhijab, jadinya begini ini…. Repot…Repot..
(KHM Luqman Hakim, dari Cahaya Ma’rifat, Cahaya Sufi)