Syeikh Abu Nashr as-Sarraj
“Seorang hamba yang memiliki adab dalam shalatnya sebelum masuk waktu ` shalat maka ia seakan-akan sedang shalat, ketika mau melakukan shalat, berangkat
dari suatu kondisi ruhani yang tidak bisa ditinggalkan ketika ia sedang shalat.”
Sebab di antara etika sebelum shalat ialah seialu muraqabah dan menjaga hati dari berbagai bentuk bisikan, bersitan pikiran dari luar, lalu menepiskan ingatan segala sesuatu selain Allah Swt. Maka ketika ia hendak melakukan shalat dengan hati yang khusyu` dan hadirnya jiwa, maka seakan-akan ia berangkat dari suatu shalat untuk melakukan shalat yang lain.
Dengan demikian ia tetap dengan niat dan perjanjian yang telah ia lakukan ketika awal memasuki shalat. Ketika ia keluar dari shalat, ia kembali pada ‘ kondisi ruhani semula yakni dengan hati yang khusyu`, hadir, menjaga bersitan-bersitan pikiran dari luar dan muraqabah, sehingga seakan-akan ia tetap dalam shalat sekalipun ia sudah keluar dari shalat. Inilah adab (etika) dalam shalat.
Diriwayatkan dari Rasulullah saw yang bersabda:
“Seorang hamba dianggap berada dalam shalat sepanjang
ia menunggu shalat (yang lain).“ (H.r. Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah dan Anas).
Inilah adab yang dibutuhkan oleh seseorang yang menunggu dan hendak menjalankan shalat serta yang sedang shalat, sebagaimana yang telah saya jelaskan jika Anda bisa memahaminya. Insya Allah.
Saya pernah melihat orang ketika menjalankan shalat, wajahnya ‘ terlihat merah dan pucat ketika ia sedang bertakbir yang pertama, karena ia sangat takut akan Keagungan Allah Swt.
Saya juga melihat orang yang tak mampu menghitung rakaat shalatnya. Sehingga ia meminta kepada salah seorang temannya yang duduk di sampingnya untuk menghitungkan berapa rakaat ia shalat. Sebab ia berusaha menjaga hatinya agar tetap berada dalam perjanjian yang ia lakukan di awal kali memasuki shalat. Ia khawatir terjadi kesalahan dalam dirinya sebab ia tidak tahu lagi berapa rakaat ia melakukan shalat. Oleh karenanya ia minta bantuan orang lain untuk menghitungkan rakaat-rakaat yang telah ia lakukan, sehingga ia yakin.
Dikisahkan, bahwa Sahl bin Abduliah setiap kali usai shalat merasa lemah lunglai, sehingga hampir tidak mampu berdiri dari tempatnya. Namun tatkala waktu shalat yang lain tiba, kekuatannya pulih kembali. Kemudian ia berdiri di mihrab laksana pasak. Begitu selesai shalat ia kembali lemah seperti sediakala dan tak mampu berdiri dari tempat duduknya.
Saya juga melihat seseorang yang bepergian jauh melalui gurun pasir sendirian, sementara ia tidak pernah meninggalkan wirid-wirid sunnahnya, shalat malam, keutamaan-keutamaan dan adab-adab lain yang ia lakukan pada saat ia tidak dalam bepergian. Ia berkata, “Kondisi-kondisi ruhani kelompok (kaum Sufi) ini seyogyanya sama antara sedang dalam perjalanan dengan ketika sedang berada di rumah.”
Salah seorang saudara saya menemani dalam satu tempat, adat kebiasaannya, ketika habis makan ia langsung berdiri dan shalat dua rakaat, sehabis minum ia juga berdiri dan shalat dua rakaat, sehabis memakai pakaian ia shalat dua rakaat, ketika masuk dan keluar masjid ia shalat dua rakaat. Demikian juga tatkala ia marah atau senang ia shalat dua rakaat.
Sekelompok sahabat-sahabat kami kaum Sufi pernah bepergian bersama Abu Abdillah Ahmad bin Jabban r.a, mereka bercerita kepada saya tentang kebiasaan Abu Abdiliah, “Setiap kali perjalanan di gurun pasir telah mencapai satu mill, ia tidak akan duduk sebelum shalat dua rakaat terlebih dahulu, kemudian menyusul teman-temannya.”