BERADABLAH
KALA BERDO’A
“Apa doaku tidak diijabah ya?” gumamnya dalam hati.
“Kalau tidak diijabah, berarti aku harus berdoa yang lain saja… Siapa tahu lebih menguntungkan…” lanjutnya grememeng dalam benaknya.
“Hahaha… Optimis, Di… Optimis…!” celetuk Dulkamdi mengagetkan dirinya.
“Optimis bagaimana? Sudah mentok usaha dan perjuanganku, tapi gini-gini aja nasibku…”
“Maksudmu kamu ini protes pada Gusti Allah gitu, lalu kamu meragukan Dia, curiga padaNya… hahaha…”
“Enak aja kamu tertawa. Aku ini lho ya nglakoni. Enak kamu tinggal ngomong dan berteori…”
“Kan lebih baik berteori yang baik penuh optimis daripada ngedumel tidak karuan…”
Muka Pardi masih beringsut-ingsut.
“Kita ngopi saja, siapa tahu kita dapat ilham dari kopi ini. Jangan remehkan kopi, Di, si kopi tetap bertasbih walau di aduk-aduk dengan air mendidih… hehehe…”
“Kamu memang gila, Dul… Tahulah… Pikiranku sudah setengah di neraka nih…”
Kang Soleh tiba dengan beberapa sahabat barunya. Kelihatannya riang-riang gembira pagi itu, sembari
menyanyikan lagu anak-anak, “Naik-naik ke puncak gunung…”
“Yah, kita ini nggak ngerti kebutuhan kita. Yang ngerti kebutuhan kita ya Allah Sang pencipta kita…” Begitu kata Kang Soleh pada dua sahabatnya yang baru.
“Lalu apa makna berdoa?”
“Doa itu untuk menunjukkan dirimu bahwa dirimu benar-benar butuh padaNya, dan rasa butuh itu harus dijaga melalui doa. Kalau sudah tidak butuh nanti kamu menghamba selain Allah, menghamba egomu, nafsumu, khayalanmu… hahaha…” sambil menujuk ke jidat Pardi.
Pardi hanya melongo saja, mendengar ucapan Kang Soleh yang tak terduga.
“Kamu kan masih ingat to Dul, Di, dan kawan-kawan ini, bagaimana dulu ngaji Al-Hikam. Disana disebutkan:
“Janganlah pencarianmu (doa-doamu) sebagai sebab untuk diberi sesuatu dari Allah Swt, maka pemahamanmu kepadaNya menjadi sempit. Hendaknya pencarianmu (doa-doamu) semata untuk menampakkan wujud kehambaan dan menegakkan Hak-hak KetuhananNya.”
Nah, pencarian merupakan arah yang menjadi sebab terwujudnya kehendak yang harus ada. Pencarian, usaha, doa, ikhtiar merupakan rangkaian sebab-sebab menuju apayang ingin diraih. Termasuk disini adalah berdo’a.”
“Umumnya orang berdoa agar terwujud apa yang diinginkan. Berikhtiar agar tercapai apa yang dicita-citakan. Padahal dimaksud Allah Swt memerintahkan kita berdoa dan berupaya, semata-mata agar eksistensi kehambaan kita yang serba fakir, serba hina, serba tak berdaya dan lemah muncul terus menerus di hadapanNya. Bukan, agar kita bias mewujudkan apa yang kita kehendaki, karena hal demikian bisa memaksa Allah Swt menuruti kehendak kita. Pemahaman yang sempit tentang Allah swt, akan terus menerus berkutat pada sikap seakan-akan Allah-lah yang mengikuti selera kita, bukan kehendak kita ini akibat kehendakNya, perwujudan yang ada karena kehendakNya,bukan disebabkan oleh kemauan kita.” Kata Kang Soleh mirip orasi panjang lebar.
“Nah, kamu dengar Di…” kata Dulkamdi sambal berbisik. Lalu Kang Soleh melanjutkan, “Ketika manusia berdoa seluruh kehinaan dirinya, kebutuhan dirinya dan kelemahannya serta ketakberdayaannya muncul. Itulah hikmah utama dibalik berdoa. Ketika kita berikhtiar, pada saat yang sama kita menyadari betapa tak berdayanya kita. Sebab kalau kita berdaya, pasti tidak perlu lagi ikhtiar dan berjuang.
Di sisi lain, kita dituntut untuk terus menerus menegakkan Hak-hak KetuhananNya, bahwa Allah berhak disembah, berhak dimohoni pertolongan, berhak dijadikan andalan dan gantungan, tempat penyerahan diri, berhak dipuji dan dipatuhi, berhak dengan segala sifat Rububiyahnya yang Maha Mencukupi, Maha Mulia, Maha Kuasa dan Maha Kuat. Semua harus terus tegak di hadapan kita. Dan itu semua bisa terjadi manakala kehambaan kita hadir.”
“Ironi-ironi dalam ikhtiar dan doa kita sering terjadi. Kita lebih memposisikan sebagai “tuhan”, dengan banyak memerintah Tuhan agar menuruti kehendak kita, kemauan kita, proyeksi-proyeksi kita. Diam-diam kita menciptakan tuhan dan berhala dalam jiwa kita, agar dipatuhi oleh Allah Sang Pencipta ya, Kang?” celetuk sahabat baru Kang Soleh.
“Nah, inilah piciknya iman kita kepadaNya, yang sering memaksaNya sesuai dengan pilihan-pilihan kita, bukan pilihanNya. Karena itu hakikatnya, menjalankan perintah doa itu lebih utama dibanding terwujudnya doa kita (ijabah). Ikhtiar kita hakikatnya lebih utama daripada hasil yang kita inginkan. Perjuangan kita hakikatnya lebih utama dibanding kemenangan dan kesuksesannya. Ibadah lebih utama dibading balasan-balasanNya. Karena taat, doa, ikhtiar itu menjalankan perintahNya. Sedangkan balasan, ijabah, sukses, kemenangan, bukan urusan manusia dan tidak diperintah olehNya,” kata Kang Soleh.
“Hahaha… Banyak orang berdoa, beribadah, berikhtiar, tetapi bertambah stress dan gelisah. Itu semua disebabkan oleh niat dan cara pandangnya kepada Allah Swt yang sempit. Nah, ayo, Di, kita luaskan dadamu biar seluas alunalun dan stadion.” Goda Dulkamdi.
“Ya… Ya… Dul. Maksudnya, biar qalbumu yang menghadap Allah Swt, bukan nafsumu gitu…” Tangkas Pardi nggak mau kalah.
“Kamu semakin cerah dan cerdas, kawan!”
Dua sahabat itu semakin akrab saja. Dan Kang Soleh melanjutkan tuturnya.`
“Syeikh Abul Hasan asy-Syadzily, ra berkata:
“Janganlah bagian yang membuatmu senang
ketika berdoa, adalah hajat-hajatmu terpenuhi,
bukan kesenangan bermunajat kepada Tuhanmu.
Hal demikian bisa menyebabkan anda termasuk
orang yang terhijab.”
Bahwa kita ditakdirkan bisa bermunajat kepadaNya, seharusnya menjadi puncak kebahagiaan kita. Bukan pada tercapainya hajat kebutuhan kita. Kenapa kita bisa terhijab?
Karena kita kehilangan Allah Swt, ketika berdoa, karena yang tampak adalah kebutuhan dan hajat kita, bukan Allah sebagai Tempat bermunajat kita.
Semua yang hadir merenung sendiri-sendiri, bergumul dengan jiwanya.
(KHM Luqman Hakim, Kedai Sufi Jalan Cahaya)