Drs. Cholisuddin Yusa, 45 thn – Pimpinan Yayasan Tebar Iman Jakarta
Cinta adalah indah. Keindahannya melebihi warna pelangi. Dan cinta adalah semerbak. semerbaknya melebihi wangi sekuntum melati atau aroma kesturi. Keindahan dan
keharuman inilah yang telah membuat para pecinta untuk mempertautkan hati dan rasa.
Begitulah Cinta, ketika kedua mata bertemu saling menatap pada sang pujaan, tubuh lunglai bagai gumpalan-gumpalan salju yang melumer tersengat terik mentari. Berjuta kerinduan sirna dengan pertemuan sesaat, lalu sukma tak kuasa menahan vibrasi jiwa.
Begitu pula dengan Cinta seorang hamba pada Tuhannya, ia bukan datang dari jenis kejadian yang bernama “keterjebakan” yang menggelar jalan para pecinta untuk meluncurkan kekaguman dan berakhir pada ketertarikan, bukan. Kidung cinta-Nya dapat datang pada taman hati setiap hamba yang Ia kehendaki, tanpa dibatasi ruang atau waktu.
Karenanya, dalam Kamus Cinta-Nya tak dikenal istilah “Cinta Buta” atau “Korban Cinta”, sebab ketika seorang hamba dapat mencintai-Nya, cinta itu bukan cinta si hamba melainkan cinta-Nya pada-Nya. Saat itu, hamba selaksa Cangkir yang dituangkan air. Air itu milik tuannya, bukan milik si Cangkir.
Jika setangkai Cinta dapat melahirkan kata-kata “Cinta Buta” atau “Korban Cinta” pastilah ia bukan cinta, tapi nafsu yang berselimut dan mengatasnamakan Cinta. Cinta yang demikian pasti bakal mewariskan kebutaan dan korban serta luka dari patahan-patahan hati. Duhai para penempuh Cinta, ketahuilah bahwa Cinta Allah itu tidak bisa dideskripsikan, dijelaskan dan dibatas-batasi kecuali dengan Cinta itu sendiri
Lalu bagaimana tasawuf mendudukan persoalan Cinta ? Dalam percintaan dengan Allah, seorang muslim harus memiliki Pertapaan, tapi apa yang dimaksud Rasulullah Saw dengan Pertapaan bagi seorang Muslim ? Berikut wawancara Ramly Izhaque dari Cahaya Sufi bersama Ust. Drs. Cholisuddin Yusa’, Ketua Yayasan Tebar Iman Jakarta, usai memimpin majelis dzikir di Masjid Jami’ Adz-Dzikra, Karang Tengah, Lebak Bulus, Jakarta Selatan beberapa waktu lalu:
Ketika seseorang secara materi berkecukupan, rumah ada (tak lagi ngontrak), prestasi melimpah ruah dan anak-anak sudah sukses (setidaknya dapat mandiri), prestasi atau karier apa yang perlu diraih nya lagi ? CINTA
Ada apa dengan cinta ?
Pertama, dengan cinta kita dapat mencintai pasangan hidup kita, kita dapat mencintai anak-anak kita, kita dapat mencintai keluarga kita dan kita dapat mencintai sesama, kita dapat mencintai Allah dan mencintai Rasulullah. Ini (cinta) lah yang harus kita upayakan. Saya fikir, kita tidak mungkin dicintai oleh orang lain, kecuali kalau kita benar-benar mencintai orang lain. Begitu juga, kita tidak mungkin dicintai Allah kalau kita tidak mencintai Allah.
Kedua, ketika kita bisa mencintai dan dicintai, itu bentuk prestasi ruhani yang paling bagus.
Melihat penjelasan Anda, saya tergerak untuk mengatakan bahwa cinta itu hakekatnya kata kerja, bukan melulu kata benda ?
Iya, saya setuju itu, sebab dalam cinta ada feedback langsung yang bersimbiosis. Ibarat kaca, kalau kita bercermin ditempat yang terang, maka kita akan tampak. Kalau bercermin ditempat yang gelap maka kita enggak akan tampak. Begitu juga disaat kita mencintai dengan cinta yang benar-benar terang, ketika orang melihat cinta kita, orang akan terus merespons. Hal ini senada dengan hadist Rasulullah yang menyebutkan, “Man ahabba liqaa Allaahi ahabballaahu liqaa-ahu, wa man lam yuhib liqaa Allaahi lam yuhibbillaahu ta’aala liqaa-ahu; Barang siapa mencintai pertemuan dengan Allah, maka Allah pun mencintai pertemuan dengannya. Dan barangsiapa tidak mencintai pertemuan dengan Allah, maka Allah pun tidak mencintai pertemuan dengannya.”
Idealnya seperti apa sich cinta yang harus kita miliki ?
Cinta yang kita miliki idealnya seperti cinta yang dimiliki Rasulullah Saw. Cinta Rasulullah kepada Allah benar-benar asyaddu hubban lillaah. Jadi, kita tidak perlu meragukan cinta Rasulullah kepada Allah.
Cinta Rasulullah kepada umatnya, disamping Rasulullah sangat dermawan, Rasulullah juga sangat perhatian kepada ummatnya dalam hal kesejahteraan materi, ilmu dan iman sahabat-sahabatnya. Hampir setiap malam Rasulullah menangisi umatnya dihadapan Allah, sampai-sampai Allah enggan mengadzab orang-orang kafir ketika Rasulullah ada didalamnya.
Kenapa bisa terjadi Allah enggan mengadzab orang-orang kafir disaat Rasulullah berada ditengah-tengah mereka ?
Hampir tiap malam juga, Rasulullah meminta sambil menangis kepada Allah agar umatnya yang belum mendapat hidayah diberi-Nya hidayah. Hal inilah yang membuat Allah “malu” mengadzab orang-orang kafir disaat Rasulullah ada ditengah-tengah mereka.